Pendidikan di Indonesia mengalami pergeseran transmisi akhir-akhir ini. Pembelajaran pada awalnya tatap muka, kemudian menjadi pembelajaran dari rumah atau masyhur disebut School from Home (SFH). Realitas yang dipandang menarik sekaligus menantang bagi berbagai pihak.
Pada mulanya, masyarakat cenderung asing terkait pembelajaran berbasis virtual. Alih-alih melaksanakan pembelajaran virtual, pembelajaran tatap muka saja menghadirkan beragam polemik. Isu yang acap kali diperbincangkan yakni kualitas pendidik dan peserta didik.
Pembelajaran berbasis virtual merupakan kebijakan insidental dalam merespons munculnya pandemi Covid-19. Lebih spesifik mengurai tentang pendidikan, secara faktual institusi pendidikan baik formal maupun non-formal dalam berbagai tingkat satuan pendidikan secara serentak melaksanakan pembelajaran berbasis virtual sebagai langkah antisipatif.
Problem PJJ
Menilik kendala pembelajaran berbasis virtual yang menjadi tren masif akhir-akhir ini, beberapa peneliti serta lembaga survei turut andil menyajikan hasil riset. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) mencatat 92% dari 2.201 siswa mengalami kendala selama pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Alasan pemicu tidak lain karena sarana-prasarana yang kurang memadai, kejenuhan dan kesulitan peserta didik dalam memahami materi ajar, keterbatasan pendidik dalam mengimplementasikan metode pembelajaran dan evaluasi.
Di samping itu, banyak orang tua yang tidak siap dan menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Kemudian, pendidik maupun peserta didik didera kesulitan dalam mengakses internet lantaran lemahnya koneksi maupun melambungnya harga paket data.
Merujuk pada kendala di atas, implikasi negatif pembelajaran virtual yaitu minimnya kesiapan pemerintah dalam menyediakan sarana yang memadai, terlebih di daerah Tertinggal, Terdepan, dan Terluar (3T). Tidak dinafikan, akses IT di wilayah barat dan timur mengalami kesenjangan yang nyata. Bukan tidak mungkin pembelajaran virtual ini menjadi transformasi pembelajaran yang paten kemudian hari.
Aspek belajar siswa perlu mendapat atensi. Smith (1970) dalam Nyayu Khadijah (2014: 58) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi proses belajar, yakni aktivitas individu saat berinteraksi dengan lingkungan, fisiologis individu, serta semua perubahan lingkungan di sekitar individu.
Oleh karenanya, lingkungan menjadi faktor eksternal yang mendominasi proses belajar peserta didik. Belajar di rumah dalam lingkungan keluarga boleh jadi menjemukan. Di lain sisi, beberapa pendidik mengajar dengan berorientasi pada penugasan dan mengesampingkan penyampaian materi.
Kesukaran yang dialami pendidik adalah objektivitas evaluasi dan asesmen. Sebab, keleluasaan peserta didik dalam mengakses internet tak terelakkan. Orang tua turut merasakan imbas dengan menjadi ‘guru dadakan’ yang dituntut serba bisa selama anaknya belajar dari rumah. Tanggung jawab berat bagi institusi, selain mengelola kurikulum dan anggaran adalah menjaga sinergitas hubungan antara orang tua, pendidik dan peserta didik.
Sebagaimana yang penulis alami saat mengajar PJJ di IAIN Kudus, terdapat pengalaman yang menarik sekaligus menantang. Sisi menariknya ialah dapat melaksanakan pembelajaran secara multitasking (menjalankan tugas ganda).
Adapun sisi menantangnya terkait penyesuaian media pengajaran. Mulai dari menyiapkan materi ajar hingga mengunggah video pengajaran. Fase terakhir banyak memakan waktu karena koneksi internet yang kurang mendukung di daerah domisili penulis. Pemberian tugas dan asesmen yang relevan agar kredibel dan bermanfaat juga menjadi tantangan tersendiri.
Dengan demikian, tak dapat disangkal bahwa Talaqqi (face to face) masih menjadi metode yang digadang paling efektif, khususnya dalam situasi sekarang ini. Metode talaqqi sendiri sudah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW, yakni ketika beliau memberikan pengajaran Al-Qur’an kepada para sahabat.
Jika dikatakan siap, realitanya masih dijumpai dampak problematik seperti uraian di atas. Jika dikatakan tidak siap, kompleksitas tantangan pendidikan di era virtual ternyata memberikan pengaruh positif. Mengingat pula kita dihadapkan pada Revolusi Industri 4.0.
Menurut Yudho Yudhanto dan Abdul Aziz (2019: 6), salah satu dari sembilan pilar krusial revolusi industri 4.0 yaitu Internet of Things (IoT). Maka antusiasme pendidik untuk menguasai IT sebagai upaya mendesain pembelajaran menjadi fenomena lazim. Di lain pihak, pemerintah menginisiasi program Guru Belajar dalam bentuk bimbingan teknis (Bimtek), Pendidikan dan Pelatihan (Diklat), dan pengimbasan yang menjadi langkah preventif agar Indonesia tetap eksis dan kompetitif.
Institusi pendidikan berinovasi menciptakan e-learning eksklusif yang sebelumnya memanfaatkan e-learning populer. Sementara regulasi yang ditawarkan oleh institusi terkait keterbatasan sarana prasarana yaitu mengadakan kunjungan door to door. Pemberian subsidi kuota gratis menjadi alternatif yang dipilih pemerintah untuk mengatasi masalah akses internet.
Jalan terang
Solusi yang tepat menjadi bagian urgen dari problem PJJ. Sedikitnya “jalan terang” ini dapat dilihat dari tiga perspektif. Pertama, bagi pemerintah, antara lain mengalokasikan anggaran untuk ketersediaan gawai di sekolah, bekerja sama dengan provider demi kemudahan koneksi, sosialisasi tantangan di era mendatang kepada orang tua sehingga pembelajaran virtual menjadi prioritas, serta Diklat bagi para pendidik Non-ASN.
Kedua, bagi pendidik, peserta didik dan orang tua yaitu peningkatan intensitas interaksi antara pendidik dan peserta didik agar naturalitas tatap muka tercipta, penerapan metode dan media pembelajaran yang atraktif, berorientasi pada transfer moral dan keilmuan, bukan transfer tugas yang memberatkan. Selanjutnya perlu kesadaran belajar peserta didik serta sinergitas pendidik dan orang tua selama proses belajar anak dalam mengembangkan tiga domain kemampuan, khususnya ranah afektif sebagai penguatan sosial-emosional.
Ketiga, bagi sekolah, di antaranya menyediakan sarana prasarana, memberi arahan dan bekerja sama dengan orang tua untuk mengawasi dan memotivasi anak, serta melaksanakan pelatihan internal bagi pendidik.
Wal hasil, setiap cobaan yang melanda bangsa Indonesia mengandung sisi positif dan negatif sebagaimana dua sisi mata uang. Untuk itu, menjadi perkara wajib bagi seluruh elemen yang terlibat dalam pendidikan, mulai dari pemerintah, pendidik, orang tua hingga lembaga pendidikan untuk saling bersinergi demi tercapainya pembelajaran efektif dan produktif bagi peserta didik. (*)
Nusaibah Makhtum
Dosen IAIN Kudus, Pemerhati Pendidikan