Menyoal Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam tentang Ahli Waris Pengganti
Sabtu, 12 Juni 2021 | 14:00 WIB
Berpegang kepada Kompilasi Hukum Islam saja masih belum cukup untuk membagi harta warisan menurut hukum Islam.
Seorang pengacara datang ke tempat kerja kami. Ia menyampaikan tujuannya untuk meminta kami menjadi saksi ahli di persidangan yang sedang memproses pembagian warisan kliennya. Permasalahan yang dihadapi dan meminta kami untuk memberikan kesaksian adalah bisa tidaknya seorang cucu menerima harta warisan kakeknya, sementara sang kakek yang telah meninggal dunia masih memiliki anak yang lain di samping anak yang menjadi orang tua dari cucu tersebut.
Lawan dari klien pengacara tersebut memahami bahwa seorang cucu tidak bisa begitu saja menerima warisan manakala masih ada anak dari orang yang meninggal dunia. Ada aturan tertentu yang menjadikan seorang cucu bisa mendapatkan harta warisan bila masih ada anak dari orang yang meninggal. Sementara sang pengacara dan kliennya memiliki pemahaman bahwa secara mutlak seorang cucu secara otomatis dapat memperoleh bagian warisan sebagai ganti dari orang tuanya yang telah meninggal lebih dahulu.
Maka terjadilah diskusi antara kami dan pengacara tersebut. Ia kukuh mempertahankan pemahamannya dengan berdasar kepada Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang pada ayat (1) menyatakan “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173”.
Atas dasar pasal inilah sang pengacara memahami bahwa seorang anak bisa menggantikan orang tuanya yang telah meninggal dalam memperoleh harta warisan. Baginya hak ini dapat diperoleh tanpa syarat apa pun selain yang disebutkan dalam Pasal 173 yang secara garis besar menjelaskan tentang seorang ahli waris terhalang mendapatkan warisan, yakni karena membunuh si pewaris (mayit) dan karena secara memfitnah mengadukan si pewaris atas tuduhan melakukan tindak kejahatan berat.
Atas dasar pasal ini pula sang pengacara memahami bahwa meskipun si mayit masih memiliki anak yang lain, seorang cucu tetap dapat memperoleh warisan sebagai ganti dari orang tuanya yang telah meninggal lebih dahulu dari si mayit yang harta warisnya akan dibagi.
Pemahaman ini dikuatkan dengan ayat (2) pada pasal yang sama yang menyebutkan bahwa “bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti”. Artinya, selain ahli pewaris pengganti juga masih ada ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang digantikan oleh si pengganti. Dalam pemahaman ini baik ahli waris pengganti maupun ahli waris yang sederajat dengan ahli waris yang digantikan sama-sama memiliki bagian warisan secara mutlak. Dalam kasus pengacara ini, selain cucu masih ada ahli waris lain yang sederajat dengan orang tuanya cucu tersebut, yakni anak-anak dari sang kakek/nenek yang meninggal dunia.
Pemahaman seperti ini juga dapat terjadi pada kasus di mana seorang yang meninggal dunia yang memiliki ahli waris beberapa saudara kandung dan salah satunya telah meninggal lebih dahulu dalam keadaan memiliki seorang anak atau lebih. Maka anak dari saudara yang meninggal ini secara mutlak dapat memperoleh warisan dari orang yang meninggal belakangan (pakde, budhe, om, atau tantenya).
Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang kurang pas dan sering terjadi di masyarakat.
Lalu mengapa pemahaman seperti ini bisa terjadi? Apakah ketentuan Kompilasi Hukum Islam dalam mengatur pembagian warisan tidak sesuai dengan ketentuan hukum fiqih yang ada?
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa aturan-aturan yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam baik yang mengatur tentang perkawinan, warisan, atau wakaf adalah aturan-aturan yang memuat poin-poin pokok saja. Kompilasi Hukum Islam tidak memuat aturan secara rinci dan detail sebagaimana dibahas oleh para ulama dalam berbagai kitab fiqih.
Termasuk dalam hal ini ketika Kompilasi Hukum Islam menyampaikan Pasal 185 yang mengatur tentang ahli waris pengganti. Di dalamnya hanya memuat garis besar dan aturan pokoknya saja tanpa disertai dengan penjelasan yang lebih rinci.
Ini menjadikan pembacanya yang awam fiqih mengambil pemahaman dan kesimpulan yang tidak utuh. Ia hanya memahami bagian terluarnya saja tanpa tahu bagian dalamnya yang sangat rinci dan detail.
Padahal bila kita pelajari lebih lanjut di dalam kitab-kitab fiqih, pembagian warisan bagi masing-masing ahli waris memiliki ketentuan yang cukup banyak dan terperinci. Ketentuan-ketentuan ini harus diperhatikan secara cermat agar tidak terjadi kesalahan dalam pembagian warisan.
Sebagai contoh kita bisa mengambil sebagian penjabaran yang disampaikan oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya Raudlatut Thâlibîn wa ‘Umdatul Muftîn. Dalam menentukan bagian warisan seorang cucu secara mendetail Imam Nawawi menuliskan sebagai berikut:
إِذَا اجْتَمَعَ أَوْلَادُ الصُّلْبِ وَأَوْلَادُ ابْنٍ أَوْ بَنِينَ، فَإِنْ كَانَ فِي أَوْلَادِ الصُّلْبِ ذَكَرٌ، لَمْ يَرِثْ أَوْلَادُ الِابْنِ، وَإِلَّا فَإِنْ كَانَ وَلَدُ الصُّلْبِ بِنْتًا، فَلَهَا النِّصْفُ، ثُمَّ يُنْظَرُ فَإِنْ كَانَ وَلَدُ الِابْنِ ذَكَرًا، فَالْبَاقِي لَهُ. وَإِنْ كَانُوا ذُكُورًا، أَوْ ذُكُورًا وَإِنَاثًا، فَالْبَاقِي بَيْنَهُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ. وَإِنْ كَانَ وَلَدُ الِابْنِ بِنْتًا، فَلَهَا السُّدُسُ، وَإِنْ كُنَّ بَنَاتٍ، فَالسُّدُسُ بَيْنَهُنَّ. وَإِنْ كَانَ وَلَدُ الصُّلْبِ بِنْتَيْنِ فَصَاعِدًا، فَلَهُنَّ الثُّلُثَانِ، وَلَا شَيْءَ لِبَنَاتِ الِابْنِ
“Apabila berkumpul anak-anak kandung dan para cucu dari anak laki-laki atau dari para anak laki-laki, maka bila di antara para anak kandung itu ada yang laki-laki maka para cucu dari anak laki-laki itu tidak mendapatkan warisan. Namun bila di antara anak kandung itu tidak ada anak laki-lakinya, maka bila anak kandung itu satu orang anak perempuan ia mendapatkan bagian setengah. Kemudian dilihat, bila cucu dari anak laki-laki itu satu orang laki-laki maka sisa harta waris diberikan (semua) kepadanya. Bila cucu dari anak laki-laki itu berupa beberapa orang laki-laki, atau laki-laki dan perempuan maka sisa harta waris dibagi di antara mereka di mana laki-laki mendapat dua bagian perempuan. Bila cucu dari anak laki-laki berupa satu orang perempuan maka ia mendapat bagian seperenam. Bila cucu dari anak laki-laki itu berupa beberapa orang perempuan maka bagian seperenam itu dibagi di antara mereka. Sedangkan bila anak kandung (si mayit) berupa dua orang perempuan atau lebih maka mereka mendapatkan bagian dua per tiga dan tidak ada bagian sedikitpun bagi para cucu perempuan dari anak laki-laki.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn wa ‘umdatul Muftîn (Beirut: Al-Maktab Al-Islami, 1991), juz VI, hal. 13)
Dari penjabaran Imam Nawawi di atas—dalam hal bisa atau tidaknya cucu menerima warisan—bisa dipahami beberapa poin sebagai berikut:
- Hanya cucu dari anak laki-laki yang bisa mendapatkan warisan.
- Cucu tidak bisa mendapatkan warisan bila masih ada anak si mayit (orang meninggal) yang berjenis kelamin laki-laki.
- Cucu bisa mendapatkan bagian warisan bila anak si mayit hanya berjenis kelamin perempuan.
- Jumlah anak perempuan si mayit menentukan bisa atau tidaknya cucu perempuan mendapatkan warisan.
- Cucu perempuan yang terhalang mendapat warisan dapat mengambil bagiannya sebagai ashabah bila ada cucu laki-laki.
Setidaknya lima poin itu bisa menjadi contoh bahwa ada banyak persyaratan dan ketentuan bagi seorang cucu untuk bisa mendapatkan harta warisan kakeknya. Maka tidak secara mutlak pengganti ahli waris bisa mendapatkan harta warisan. Ada banyak syarat dan ketentuan yang mesti diingat dan diperhatikan.
Dari sini penulis hendak menyampaikan bahwa berpegang kepada Kompilasi Hukum Islam saja masih belum cukup untuk membagi harta warisan menurut hukum Islam. Persoalan warisan adalah satu persoalan yang dibahas oleh para ulama fiqih secara mendetail. Mereka membahasnya dalam berbagai kitab secara panjang lebar dan sangat terperinci. Sementara Kompilasi Hukum Islam memaparkan masalah warisan ini hanya dalam 23 pasal saja (Pasal 171 sampai dengan Pasal 193).
Menurut hemat penulis, siapa pun yang ingin mempelajari ilmu hukum waris dalam agama Islam atau ingin membagi warisan sesuai hukum Islam, ia tak cukup bila hanya membaca dan mempelajari Kompilasi Hukum Islam. Ia mesti juga mempelajari hukum waris dari berbagai kitab fiqih yang ditulis oleh para ulama, agar pemahamannya utuh dan tidak setengah-setengah.
Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai Penghulu di lingkungan Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.