Oleh Fariz Alnizar
Tiga tahun lalu, pada sebuah kesempatan halakah kebangsaan tentang isu khilafah yang mempertemukan NU dan Muhammadiyah, Kiai Said Aqil Siroj mengatakan bahwa kalau NU dan Muhammadiyah berkumpul, maka 65% urusan negara ini dipastikan selesai. Semua hadirin tertawa, termasuk Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Namun, sayangnya Mu'ti tidak membalas umpan lambung Kiai Said itu pada forum tersebut. Alih-alih, Mu'ti malah membalasnya di forum yang lain beberapa hari kemudian.
Di acara diskusi dan peluncuran rilis riset SMRC tentang isu khilafah yang diadakan sekitar beberapa hari setelah halakah NU-Muhammadiyah itu dihelat, Mu'ti mengawali presentasinya dengan mengatakan: "Kemarin Pak Said Aqil mengatakan di PBNU bahwa kalau Muhammadiyah dan NU bersatu, maka 65% urusan negara bisa dipastikan selesai. Pak Said ini ndak tahu kalau 65 itu di dunia perkuliahan nilainya baru C." Tawa hadirin pecah. Mu'ti terkekeh. Semua bergembira.
Cerita di atas penting saya sampaikan dalam rangka ingin mengatakan bahwa tidak sepenuhnya benar jika dikatakan Muhammadiyah itu ormas yang serius dan tidak lucu. Aslinya Muhammadiyah itu lucu, cuma ada problem 'gagal branding' saja tampaknya. Kira-kira begini, kalau dalam khazanah kuliner, Muhammadiyah itu mirip biskuit Khong Guan yang isinya rengginang. Megah tapi menipu, maaf maksud saya mengecoh. Kelihatan serius tapi ada lucu-lucunya.
Maklum, barangkali kader-kader Muhammadiyah memang hidup dalam iklim akademik yang biasa dengan kultur didaktis: khas anak sekolahan. Kondisi yang demikian ini menyebabkan kader-kadernya menjadi tampak selalu lebih serius daripada yang seharusnya. Iklim didaktis, jikapun berhasil mencetak manusia lucu, paling banter lucunya hanya di bibir saja.
Sementara NU, tentu saja tidak semukabalah dengan Muhammadiyah. Ada perbedaan antara keduanya. Anak-anak NU lahir, hidup, dan bertumbuh di iklim pesantren, sebuah iklim yang ketat dalam prinsip namun luwes dalam cara. Bahasa akademiknya: anak-anak NU bisa berdansa di atas kaidah. Istilah Robin Bush disebut dengan 'tradisionalis radikal'. Makanya rekam jejak kiprah politik dan pandangan kebangsaannya sulit ditebak dan kerap mengecoh.
Berbeda dengan iklim sekolahan dan juga perguruan tinggi, iklim pesantren sangat memungkinkan melahirkan manusia-manusia konyol, ngocol dan lucu, bukan saja dalam perkataan, namun juga dalam perilaku dan tindakan. Konyol. Ndagel. Absurd. Stok perilaku humoris seolah tidak pernah habis. Saldo kelucuan seakan tidak pernah ludes. Selalu tumbuh dan bersemai.
Misalnya begini: perkara mikropon yang tidak bunyi di forum Muktamar. Peserta Muktamar berkali-kali mematut-matutkan jarinya. Nihil. Mikropon tetap tidak bisa mengeluarkan suara. Dari arah yang berlawanan sekonyong-konyong seorang panitia lari dengan sigap membawa mikropon nirkabel (wireless) dan menyodorkannya kepada peserta itu.
Tidak disangka, bukan malah berterimakasih, sang peserta justru malah melotot. Nyali panitia menciut. Bingung. "Sampiyan jangan coba-coba membohongi saya. Mikropon yang ada kabelnya saja ndak bisa bunyi, apalagi yang ndak ada kabelnya. Jangan cem-macem, Sampiyan!"
Di forum yang sama, sekali tempo saya menyaksikan sendiri bagaimana daya adaptasi orang-orang NU yang luar biasa. Kemampuan untuk mendayagunakan potensi yang ada di sekitar, sungguh di atas rata-rata. Di tengah hiruk pikuk yang demikian ramai, tampak seorang laki-laki membawa gelas plastik yang berisi secangkir kopi kemebul.
Dengan langkah kaki yang meyakinkan, lelaki itu berjalan menuju mesin pendingin ruangan portabel. Ya, AC portabel itu di tangan orang NU diberi tugas di luar tupoksi yang diamatkan oleh pabrikannya. Di tangan orang NU AC portabel ditugaskan untuk mendinginkan kopi yang masih kemebul.
Orang NU, kalau lihat lantai bersih bawaannya selalu kepingin melepas alas kaki. Barangkali di alam bawah sadar mereka terpatri bahwa yang bersih biasanya suci atau identik dengan kesucian.
Sekali waktu ada segerombolan orang NU dari daerah datang ke kantor PBNU di Jakarta. Melihat gedung PBNU yang bersih mereka tiba-tiba ramai-ramai melepas sendal di depan lift. Mereka masuk lift bareng-bareng. Menuju lantai yang dituju. Selesai acara, pulang. Turun lift dan sendal mereka hilang. Mereka dilanda kebingungan kolektif. Linglung berjamaah.
Tiba-tiba seorang anggota rombongan ambil suara lirih. "Sendal baru ditinggal sebentar saja sudah digasak dan hilang. Dasar orang NU. Kalau pas begini rasanya pingin pindah saja ke Meikarta, eh Muhammadiyah maksudnya."
Begitu, kira-kira.
Fariz Alnizar, ahli linguistik, aktivis NU, dan dosen di Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).