Banyak orang bertanya, apa beda Nahdlatul Ulama (NU) dan Front Pembela Islam (FPI)? Apa pula persamaannya? FPI ditulangpunggungi para habaib. Untuk urusan ta’dzim kepada habaib, orang NU tidak ada duanya. Sejak kecil, para santri dididik menghormati keturunan Rasululllah. Di Pekalongan, kota kelahiran saya, ‘salim’ dengan habib merupakan berkah luar biasa. Karena itu, jika sowan atau bertemu habib, salamannya tidak cukup cium tangan sekali, tetapi berkali-kali, dibolak-balik. Kalau tidak percaya, datang ke Pekalongan, sowan ke Habib Luthfi atau Habib Baqir. InsyaAllah akan jumpa bahwa yang salaman ke habib dengan cara tangan dibolak-balik itu bukan hanya santrinya, tetapi juga kiainya. Para kiai NU sangat menghormati habib, termasuk Gus Dur. Dulu, ketika Ketua MUI KH Hasan Bisri meragukan eksistensi keturunan Rasulullah di Indonesia, Gus Dur membela para habaib.
Salah seorang yang diyakini sebagai keturunan Rasululullah itu bernama Habib Rizieq Syihab (HRS), pendiri Front Pembela Islam (FPI). Apa semua habib sama? Pasti tidak! Ada yang mendukung pola dakwah HRS, ada juga yang tidak. Belakangan, NU dan FPI sering bersitegang di lapangan. Kenapa ini terjadi? Titik temu dan titik beda NU dan FPI bisa dilihat dari tiga matra, yaitu âmaliyyah, fikrah, dan harakah.
Pertama, secara ‘amaliyyah ubûdiyyah, tradisi NU dan FPI sama: sama-sama pelaku tradisi, sama-sama ‘pengamal bid’ah’. NU qunut, FPI qunut. Tarawih–nya sama-sama 20 rakaat. Sama-sama gemar shalawatan, tahlilan, dan ziarah kubur. Shalawatannya sama-sama pakai kata ‘sayydina’. Jelas kedua-duanya bukan penganut Islam puritan. Karena itu, FPI pasti tidak cocok dengan aliran Islam yang mengusung agenda purifikasi. Dalam soal ini, FPI akur dengan NU dan ‘bentrok’ dengan Wahabi, HTI, Islam modernis, dan aliran lain yang agendanya adalah memberantas TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat).
Kedua, secara fikrah, FPI akur dengan NU dalam fikrah dîniyyah (pemikiran keagamaan), tetapi ‘bentrok’ dengan NU dalam fikrah siyâsiyyah (pemikiran politik). Dalam fikrah dîniyyah, NU dan FPI sama-sama pengikut ajaran Abu Hasan al-Asy’ari dalam tawhid, pengikut Imam Syafi’i dalam fikih, dan al-Ghazali dalam tasawuf. HRS, dalam berbagai kesempatan, menegaskan dirinya sebagai penganut Asy’ari dan menyerang i’tiqad Salafi-Wahabi. Oleh para pengikut Wahabi, HRS juga kerap dituduh Syi’ah, sama seperti KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum PBNU. Dalam fikrah siyâsiyyah, FPI berseberangan dengan NU. NU menyatakan NKRI final, dalam bentuk sekarang. HRS menginginkan NKRI Bersyariah. Agendanya seperti Piagam Jakarta. Dalam isu ini, FPI ‘bentrok’ dengan NU dan punya titik temu dengan sejumlah ormas Islam yang mendukung agenda formalisasi syariat Islam, entah itu HTI, Wahabi, atau sebagian partai eks-Masyumi yang mengusung isu formalisasi syariat Islam.
Ketiga, dalam harakah (gerakan), NU dan FPI cenderung ‘bentrok.’ Dakwah NU mengusung prinsip tawassuth (moderasi), tasâmuh (toleransi), tawâzun (proporsional), dan i’tidâl (tidak berat sebelah). NU juga meyakini prinsip التدريج في التشريع yaitu alon-alon, bertahap dalam dakwah dan mengamalkan syariat Islam. NU mengayomi budaya dan meyakini syariat Islam bisa diterapkan secara swadaya oleh masyarakat, tanpa legislasi dan campur tangan negara. Pemberlakukan syariat Islam yang perlu campur tangan negara, seperti hudud, bisa diganti dengan hukuman lain yang bisa diterima semua pihak. Dalam harakah, FPI punya titik temu dengan gerakan Islam transnasionalyang mengusung agenda formalisasi syariat Islam. FPI juga resisten dengan adopsi budaya lokal sebagai medium dakwah. Karena itu, HRS dengan keras menolak diskursus Islam Nusantara dan memelesetkannya dengan istilah yang kurang sedap.
Ala kulli hâl, dari tiga matra, satu setengah FPI cocok dengan NU, satu setengah yang lain FPI berbeda dengan NU. Namun, dibanding kepada ormas Islam puritan, FPI lebih dekat secara ‘amaliyyah' dengan NU dan karena itu punya potensi untuk beraliansi strategis. Di sebuah tayangan youtube, yang direkam dari ceramah beliau, HRS bilang FPI bukan orang lain. FPI adalah anak NU yang bandel. Jika HRS sekarang cenderung ‘bersahabat’ dengan Islam puritan, saya merasa itu bentuk dari aliansi taktis untuk tujuan politis. Namanya aliansi taktis, suatu saat akan bubar, jika tujuan politisnya hilang atau bertolak belakang.
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)