Opini

Pembubaran Ormas Anti-NKRI dan Kebebasan Berserikat

Kamis, 6 April 2017 | 01:29 WIB

Oleh Pandu Dewanata
Penolakan atas pawai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Tulungagung, Jawa Timur menjadi perhatian publik baru-baru ini. Sabtu, 1 April 2017, 200 personel Banser Tulungagung dan Trenggalek membubarkan pawai HTI yang hendak menuju ke Surabaya untuk mengikuti kirab. Bahkan ketegangan antara GP Ansor-Banser dan HTI tidak hanya terjadi kali ini saja, pada Tahun 2016 di Jember kejadian yang hampir serupa juga terjadi. 

Wacana untuk membubarkan HTI yang dimunculkan GP Ansor-Banser Jatim dua hari yang lalu menjadi mengemuka juga di media massa cetak dan elektronik. Abid Umar Faruq selaku Satkorwil Banser Jatim mengemukakan bahwa HTI merupakan organisasi makar yang tidak mengakui dan menolak Pancasila dan UUD 1945 (Detik, 2/4/2017). Tentu kekhawatiran GP Ansor-Banser cukup dapat dipertimbangkan karena menyangkut ideologi negara dan keutuhan bangsa. Namun di sisi lain wacana tersebut mendapat respon negatif dari berbagai kalangan. 

Tulisan ini memang tidak secara khusus membahas HTI dan pergerakannya, namun membahas ormas anti-NKRI secara umum. Karena terdapat keraguan soal pembubaran ormas anti-NKRI dimungkinkan secara hukum. Selain itu terdapat juga keraguan mengenai benturan antara jaminan kebebasan berserikat dalam UUD 1945 dan pembubaran ormas anti-NKRI. Untuk itu tulisan ini berusaha menjawab keraguan-keraguan tersebut berdasarkan aspek hukum.

Kebebasan Berserikat dalam UUD 1945 & UU Ormas

Kecenderungan berorganisasi dalam perkembangannya menjadi salah satu kebebasan dasar manusia yang diakui secara universal. Tanpa adanya kemerdekaan berserikat seseorang tidak dapat mengekspresikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya. 

Dalam UUD 1945 terdapat dua pasal yang menjamin kebebasan berserikat. Pertama, Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Kedua, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Jika ditarik kesimpulannya, kedua pasal ini sama-sama menjamin kemerdekaan berserikat namun hanya Pasal 28 yang menetapkan kemerdekaan berserikat dengan undang-undang.

Sebagai bentuk dari jaminan kebebasan berserikat terdapat UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas yang mengatur mengenai pelaksanaan kebebasan berserikat oleh ormas. Tidak hanya hak dari ormas maupun hal-hal yang bersifat administratif, namun juga kewajiban, pembatasan, dan larangan. Sebagai contoh pada Pasal 2 UU Ormas menggariskan bahwa setiap ormas yang ada di Indonesia tidak boleh mempunyai asas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. 

Secara umum kebebasan berserikat memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan publik, mencegah kejahatan, melindungi kesehatan dan moral, serta melindungi hak dan kebebasan yang lain. Lebih tegas, Sam Issacharoff menyebutkan bahwa negara berwenang melarang atau membubarkan suatu organisasi yang mengancam demokrasi, tatanan konstitusional/dasar negara, serta masyarakat (Sam Issacharoff, 2006: 6). 

Artinya negara demokratis tidak hanya menjamin hak kelompok tertentu, namun juga menjamin dan melindungi dasar negara di sisi lain. Namun pembubaran ormas harus dilakukan secara hati-hati agar tidak mencederai kebebasan berserikat sendiri. Secara prosedural pembubaran ormas diputus terlebih dahulu oleh pengadilan untuk menjamin keadilan.

NU Harus Bersikap

Dalam Pasal 59 ayat (2) UU Ormas disebutkan larangan-larangan untuk ormas sebagai berikut : 
a. melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan;
b. melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia;
c. melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau
e. melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahkan ayat (4) menegaskan bahwa Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila. Apabila dilihat sekilas Pasal 59 ayat (2) huruf c dan Pasal 59 ayat (4) UU Ormas dapat menjadi dasar hukum untuk membubarkan ormas anti-NKRI.

NU dan Nahdliyin memiliki tugas luhur untuk menjaga keutuhan Indonesia. Dalam menghadapi ormas anti-NKRI, NU telah menunjukkan tindakan-tindakan nyata. Bukan tidak mungkin tindakan hukum bisa dilakukan NU di kemudian hari. Penulis berpendapat bahwa Nahdliyin harus berhati-hati dalam menafsirkan hukum, karena memahami pasal-pasal dalam suatu undang-undang tanpa membaca penjelasannya akan menimbulkan kesalahpahaman. Penjelasan Pasal 59 ayat (4) menyebutkan hanya Atheisme dan Komunisme/Marxisme yang dianggap bertentangan dengan Pancasila. Sedangkan Pasal 59 ayat (2) huruf c harus dimaknai bahwa ancaman kedaulatan NKRI harus didahului dengan adanya aksi-aksi separatis atau memisahkan diri dari NKRI. Pun demikian dari seluruh poin-poin yang tertera dalam Pasal 59 ayat (2) UU Ormas, dimana sebuah pelanggaran atas larangan harus disertai dengan perbuatan. 

Bagaimana NU harus bersikap? NU beserta warganya harus terlibat aktif dalam mengawasi pergerakan dari ormas yang disinyalir anti-NKRI. Mungkin saat ini belum terdapat ancaman nyata yang dirasakan oleh masyarakat, namun bukan berarti potensi ancaman tidak akan muncul di masa yang akan datang. 

Sebelum adanya putusan pembubaran ormas dari Pengadilan Negeri terdapat permohonan pembubaran ormas yang diajukan oleh kejaksaan. Pengajuan oleh kejaksaan hanya dapat terlaksana ketika terdapat permintaan tertulis dari menteri Hukum & HAM. Menurut penulis NU maupun Nahdliyin dapat  menunjukkan bukti-bukti bahwa suatu ormas telah melakukan tindakan yang dilarang dalam UU Ormas kepada menteri Hukum & HAM. Disinilah NU sebagai masyarakat sipil harus terlibat apabila ancaman tersebut telah terjadi.

Namun semua pihak harus tetap menghormati proses hukum yang berjalan, karena kewenangan untuk membubarkan ormas anti-NKRI ada di tangan negara. Tentu penafsiran hukum dari menteri Hukum & HAM, jaksa, dan hakim yang dapat dibenarkan di mata hukum. Sehingga NU dan nahdliyin tidak perlu ikut gaduh dalam mengatasi kondisi demikian sebagai sikap kita meneladani teduhnya kyai-kyai NU. Wallahu a’lam bishshawab.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Unpad dan anggota KMNU Padjadjaran


Terkait