Opini

Peran Orang Tua dalam Mengawasi Media Sosial

Kamis, 30 Maret 2017 | 02:00 WIB

Peran Orang Tua dalam Mengawasi Media Sosial

ilustrasi: iconfinder

Oleh Durrotul Firdaus
Internet menjadi salah satu teknologi informasi yang fenomenal saat ini. Pertumbuhan penggunaan Internet yang pesat juga terjadi di Indonesia, beberapa tahun ini jumlah pengakses Internet di Indonesia mengalami peningkatan yang tajam. Sebagai gambaran, APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) pada 2014 menyebutkan, pengguna Internet di Indonesia mencapai 88,1 juta. Angka tersebut naik dari 71,2 juta dari tahun sebelumnya.

Berdasarkan hasil riset Yahoo di Indonesia yang bekerja sama dengan Taylor Nelson Sofres pada tahun 2009, pengguna Internet terbesar adalah usia 15-19 tahun, sebesar 64 persen. Sementara berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia 0-8 tahun tergolong usia anak-anak dan sementara 15-19 termasuk golongan remaja. Sebanyak 53 persen dari kalangan remaja itu mengakses internet melalui warung internet, sementara 19 persen mengakses via telepon seluler. Sedangkan data terbaru di tahun 2015 cenderung terbalik dengan data tahun 2009, seiring dengan banyaknya pengguna internet yang memiliki gawai (smartphone), sehingga pengguna internet saat ini lebih banyak mengakses lewat seluler dibanding warnet.

Perkembangan teknologi bagai pisau bermata dua. Manfaat yang dihasilkan selaras dengan ancaman bahaya yang mungkin ditimbulkan apabila digunakan tidak semestinya. Mengawali tahun 2010, media massa  di Indonesia mulai dari televisi, surat kabar, tabloid, dan radio menginformasikan tentang kasus kriminal yang melibatkan salah satu situs jejaring sosial yang sedang marak digunakan remaja di Indonesia, seperti Facebook, Blackberry massanger, Twitter, Instagram, Line, Whatsapp. Sebagai contoh, kejahatan yang marak diberitakan di media massa berkaitan dengan penggunaan facebook oleh remaja adalah penipuan, prostitusi online, human trafficking, dan pencemaran nama baik (Juju, 2010:73).

Kasus terbaru yang kian marak beberapa saat lalu ialah kasus 2 akun gadis yang memiliki follower Instagram menyaingi jumlah follower istri presiden ke-5 RI, Ani Yudhoyono. Ketika ditelusuri akun Instagram yang ramai dikunjungi oleh netizen tersebut ternyata berisi konten yang menyedihkan. Akun tersebut menampilkan gaya hidup yang bebas, kebiasaan pacaran, dan budaya hura-hura. Diantara netizen memberikan komentar yang mendukung, memberikan pujian, dan juga ada yang menyudutkan pelaku, dan sebagian menyalahkan orangtua pelaku. Disini ada dua fenomena yang kita tangkap. Pertama, adalah pergaulan bebas anak yang kurang pengawasan dari keluarga. Kedua, sisi negatif penggunaan media sosial untuk mengekspresikan diri. Miris melihatnya, apalagi bagi orangtua yang memiliki anak-anak yang menuju masa pubertas.  

Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul yang umumnya adalah individu atau organisasi yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, dan keturunan. Begitu pula dengan situs dunia maya juga memiliki fungsi menunjukkan jalan dimana para penggunanya berhubungan karena kesamaan sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga. Melalui media sosial, kita juga dapat menjalin komunikasi dengan teman-teman ataupun relasi  baru. Layanan di media sosial ini merupakan sistem berbasis web menyediakan kumpulan cara yang beragam bagi penggunanya untuk dapat berinteraksi seperti memperbarui profil pribadi, memperbarui status, berkirim komentar, chatting, mengirim pesan, video, blog, dan diskusi grup.

Anak-anak dan remaja saat ini merupakan golongan masyarakat yang hidup di era digital (digital native). Sementara itu, generasi orangtua dari mereka saat ini masih cenderung menjadi penduduk pendatang digital (digital immigrant). Akibatnya, kesadaran akan potensi negatif yang mengancam anak-anak dan remaja tidak disadari dan diseriusi oleh kalangan dewasa. Anak dan remaja dapat digambarkan sebagai digital native, merupakan kalangan serupa penduduk asli di dunia digital saat ini. Mereka lahir dan tumbuh di era digital yang menjadikan mereka memiliki cara berpikir, berbicara, dan bertindak berbeda dengan generasi sebelumnya yang diibaratkan sebagai digital immigrant.

Adapun kalangan orangtua saat ini diasosiasikan sebagai digital immigrant atau penduduk pendatang yang masih berusaha beradaptasi di dunia digital sebagai salah satu hasil dari perkembangan teknologi yang baru, orangtua sebagai digital immigrant dituntut untuk melakukan adaptasi secara instan terhadap teknologi yang marak digunakan oleh anak remajanya. Kurangnya pengetahuan orangtua terhadap situs jejaring sosial karena perbedaan persepsi yang ada diantara orangtua dan remaja. Persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimulus indrawi. (Rakhmat, 2005:51). 

Sebagai orangtua yang tergolong ke dalam digital immigrant, mereka mempersepsikan bahwa hadirnya media sosial saat ini tidak ditujukan oleh orangtua yang tidak banyak berinteraksi dengan kemajuan teknologi seperti anak remaja mereka. Persepsi orangtua dalam memahami media sosial yaitu bahwa teknologi seperti media sosial pantasnya digunakan bagi anak muda. Seperti orangtua yang merasakan bahwa ketidaktahuannya akan apa itu media sosial selain karena merasa gagap teknologi juga rasa malu jika dipandang sebagai orangtua yang terlalu gaul dan akrab dengan media baru.

Anggapan dari lingkungan yang juga tidak memahami media sosial menjadi pemicu kurangnya pengetahuan mengenai teknologi ini. Orang tua yang tidak gagap teknologi  tentunya dapat memberikan pengarahan kepada anak tentang manfaat dan tujuan penggunaan media sosial yang positif. Selain itu pemahaman tentang teknologi akan mempermudah orangtua dalam memberikan pengertian kepada remaja mengenai esensi menggunakan teknologi baru dengan bijaksana. Bukan hanya itu, orangtua yang dekat dengan perkembangan anak, dan memahami perkembangan jaman akan mudah mengawasi dan memberikan arahan positif bagi pergaulan anak-anaknya di dunia nyata maupun dunia maya.  

Penulis adalah Aktivis IPPNU, mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung


Terkait