Pesantren Babakan setelah 30 tahun lalu adalah kombinasi antara kelestarian tradisi lama dan inovasi pada hal-hal baru. (Foto ilustrasi: Kemenag/Elik Ragil)
Tahun 1990 saya meninggalkan Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon. Setelah enam tahun mesantren di Pesantren Assalafie yang diasuh oleh KH Syaerozi kemudian saya melanjutkan belajar ke Yogyakarta. Pesantren Assalafie di masa beliau dikenal sebagai pesantren yang sepenuhnya salaf, hanya fokus pada pengajian kitab kuning dan semua santri diarahkan agar belajar di Madrasah al-Hikamus Salafiyah (MHS). Karena itu tidak banyak santri yang sekolah negeri atau sekolah formal, seperti MTs dan SMP, dan seterusnya.
Saya pribadi beruntung pernah belajar di salah satu pesantren tertua di Cirebon ini. Sebab, saya bisa belajar dan mendalami kitab kuning yang di kemudian hari terasa manfaatnya. Berkat pendidikan yang saya peroleh di Pesantren Assalafie, saya bisa mengikuti dengan cukup mudah saat saya melanjutkan di jenjang perguruan tinggi baik di strata satu (S1) hingga strata tiga (S3).
Kini, Pondok Pesantren Assalafie diasuh bersama oleh putra-putri beliau. Tampak perubahan dialami oleh pesantren tersebut. Pesantren ini telah memiliki sekolah formal sendiri, tingkat tsanawiyah dan aliyah dan bahkan sedang mengajukan pendirian sekolah tinggi.
Keterbukaan pesantren dengan membuka unit pendidikan formal menunjukkan bahwa pesantren terus bertransformasi sesuai dengan perubahan dan kebutuhan zaman. Di Pesantren Assalafie kajian kitab kuning masih terjaga dengan baik, dan bahkan kajiannya sudah menggunakan teknologi. Ini tentu bagian dari cara al-muhafadhah ‘alal qadimish shalih. Namun, dengan transformasinya, pesantren ini juga telah mengambil produk peradaban modern untuk pelayanan lebih baik kepada santri yang hidup dalam kemajuan. Saya memahaminya sebagai breakdown dari al-akhdzu bil jadidil ashlah.
KH Syaerozi, Potret Seorang Kiai Alim dan Penyabar
Kiai Syaerozi belajar di banyak pesantren. Selain belajar kepada ayahandanya sendiri, beliau tipikal santri kelana yang haus akan ilmu. Beliau sempat belajar kepada Syekh Masduqi Lasem Rembang dan sejumlah masyayikh Pondok Sarang seperti Mbah Yai Zubair, ayahanda Mbah Maimoen Zubair, dan masyayikh lainnya.
Pengalamannya berkelana dan berguru kepada banyak ulama ini membentuk kealiman dan karakter Kiai Syaerozi yang penyabar dalam mendidik para muridnya. Kealiman beliau dibuktikan dengan sejumlah karya tulis yang diwariskannya. Di antaranya adalah Bad’ul Adib sebuah karya nadham dari kitab Mughni Labib, kitab Syarh Al-Luma’ (ilmu ushul fiqih), Khulashah fi Ilmil-Musthalah (ilmu hadits), dan Rasa’il fil Adabil-Ziyarah.
Beliau juga merupakan sosok kiai yang istikamah dalam mengaji. Kepada beliau saya sendiri mengaji sejumlah kitab. Salah satunya adalah saya mengkhatamkan ngaji kitab Tafsir Jalalain. Sebuah kitab tafsir yang ditulis oleh Syekh Jalaludin al-Mahalli dan Syekh Jalaludin al-Suyuthi.
Generasi Penerus Kiai Syaerozi
Kiai Syaerozi merupakan menantu dari KH Abdul Hannan. Beliau menikahi salah satu putri gurunya, Nyai Hj Tasmi’ah Hannan. Dari pernikahannya ini Kiai Syaerozi dikaruniai tujuh putra dan putri. Yaitu, Nyai Hj Surotul Aini Syaerozie (istri KH Ahmad Mufid Dahlan), KH Azka Hammam Syaerozie, KH Yasif Maemun Syaerozie, Nyai Hj Ila Mursilah Syaerozie (istri KH Lukman Hakim), KH Aziz Hakim Syaerozie, KH Abdul Muiz Syaerozie, dan KH Arwani Syaerozi.
Sebagaimana tertuang dalam laman assalafiebabakan.com, Pondok Assalafie kini memiliki metode membaca kitab kuning tersendiri. Pada tahun 2016 Kiai Yasif Maemun Syaerozi, salah satu putra Kiai Saerozi berhasil menyusun metode Auzan. Selain itu, Kiai Luqman Hakim, salah satu menantu Kiai Syaerozi pada tahun 2014 juga telah berhasil membuat metode menghafal Al-Quran. Sebuah metode yang diharapkan dapat memudahkan para santri dalam menghafal Al-Quran.
Setelah lebih dari tiga puluh tahun yang lalu meninggalkan Pondok Pesantren Assalafie Babakan, saya semakin yakin akan perkembangan pesantren ini. Di bawah asuhan putra-putri beliau, pondok pesantren Assalafie akan terus maju.
Kang Mufid, Kang Hammam, Kang Yasif, Nyai Ila dan Kang Lukman, Kang Aziz, Kang Muiz, dan Kang Wawan semoga terus sehat, panjang umur, dan istikamah dalam menemani para santri. Salam takzim kula kangge panjenengan sedaya.
Waryono Abdul Ghofur, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag RI