Opini

Pesantren, NU, Indonesia (bagian akhir)

Rabu, 31 Januari 2018 | 04:49 WIB

Oleh Binhad Nurrohmat

Pulau Jawa bukan pusat dan sumber segalanya. Juga bagi sejarah eksistensi pesantren dan Nahdlatul Ulama (NU). Termasuk dalam dinamika keindonesiaan. Pesantren dan warga NU tersebar di banyak pulau. Negara kepulauan ini tak terpisahkan lautan, namun justru terhubungkan olehnya. Tak heran julukan lain negeri ini adalah "Tanah-Air" -- bukan "Tanah dan Air".

Pandangan romantik, superior dan heroik kepada Jawa sebaiknya segera ditautkan dengan realitas signifikan wilayah-wilayah lain di negeri kepulauan ini. Jawa tak pernah sendirian. Jawa adalah bagian dari pulau-pulau lainnya beserta segala dinamikanya.

Asal-usul NU tak bisa melepaskan "peran misterius" namun sungguh menentukan dari seorang kiai masyhur dari Madura yang adalah guru besar para pribadi yang kelak menjadi kiai-kiai terkemuka di Jawa dan tokoh-tokoh resmi pendiri organisasi NU.

Pesantren Kademangan diasuh oleh Syaikhona Cholil Bangkalan, Madura. Kiai Hasyim Asy'ari, Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Romli Tamim adalah sebagian nama yang pernah berguru di Kademangan.

Dulu Pesantren Kademangan lazim ditempuh dari Jawa lewat jalur laut dengan berperahu yang dapat merapat di pelabuhan Kamal, Bangkalan, Madura. Para pejabat pada masa kini tak jarang naik helikopter agar lebih cepat mencapainya. Sejak Suramadu menjembatani Jawa dan Madura, mencapai pesantren ini bisa tanpa berlayar atau sewa helikopter.

Pada awal dekade 1920 banyak kiai pesantren resah menghadapi situasi. Kitab kuning, ajaran salaf, tahlil dan maulid diejek kalangan lain yang seakidah -- konon di-back up oleh kaum kolonial. Para kiai hendak menyikapi situasi ini melalui organisasi agar lebih efektif. Pertemuan demi pertemuan para kiai digelar membincang masalah dan menyepakati solusi. Namun tak kunjung berbuah kesimpulan nyata dan dimufakati bersama.

Kiai Cholil merasakan semua keresahan itu. Dua kali beliau mengirim utusan, Kiai As'ad Syamsul Arifin, ke Jombang untuk menyampaikan pesannya untuk Kiai Hasyim -- kala itu dipandang sebagai figur ulama yang kharismatik. Yang pertama pesan berupa tongkat dan beberapa ayat Surat Thaha. Pesan yang kedua berwujud tasbih serta bacaan zikir asmaul husna "Ya Jabbar, Ya Qahhar".

Tatapan simbolik atas dua pesan Kiai Cholil Bangkalan itu menarik dan fundamental untuk diulik.

Dua pesan Kiai Cholil ini merupakan "hulu visi spiritual" bagi organisasi NU yang dibentuk dan digerakkan oleh para muridnya. Setahun sebelum NU resmi berdiri, Kiai Cholil wafat.

Ayat-ayat Surat Thaha itu memuat penggalan kisah Nabi Musa. Nabi Musa punya tongkat yang ia gunakan untuk merontokkan daun-daun dari pohon dan semak untuk pakan ternak dan digunakan untuk keperluan teknis lainnya. Tongkat itu bisa menjelma ular besar atas kehendak Allah. Saat menghadapi daya sihir para juru tenung Firaun, lemparan tali-tali juru tenung istana itu menjadi kawanan ular, dan tongkat Nabi Musa yang menjelma ular besar segera melahap ular-ular para juru tenung sang tiran Mesir itu.

Apa konteks simbolik pesan-pesan itu pada situasi tatkala Kiai Cholil menyampaikannya kepada Kiai Hasyim pada 1920an dan masa sekarang?

Ada dua tokoh berseberangan ideologi yang tersirat melalui ayat-ayat Surat Thaha itu. Musa dan Firaun. Media pertarungannya adalah ular.

Pada 1920an, ideologi-ideologi bertarung di Jawa dan pulau lainnya melalui organisasi dan partai politik semisal Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormas agama berhaluan radikal-fundamental. Singkatnya, ideologi-ideologi politik modern dan gerakan-gerakan Islam puritan kian mendesak eksistensi Muslim tradisional.

Tongkat merupakan simbol senjata kaum Muslim tradisional, perangkat untuk berpegangan atau bertahan menghadapi "ular-ular" ideologi yang melata dan mengincar mangsa. Dimensi muamalah dan horisontal tersiratkan dari pendaran simbolik tongkat Musa itu.

Pesan kedua Kiai Cholil untuk Kiai Hasyim punya makna simbolik berdimensi ilahiah dan vertikal. Tasbih merupakan butiran-butiran bulat tersambungkan tali yang melingkar sempurna. Suatu keutuh-paduan yang integratif. Tasbih identik dengan zikir. Zikir bukan semata mengingat Allah. Zikir adalah juga melupakan yang selain Allah. Suatu totalitas teologis.

Dan dua bacaan asmaul husna yang berarti "Yang Maha Memaksa" dan "Yang Maha Perkasa" itu merupakan sifat-sifat Allah yang mengisyaratkan kehendak dan kekuasaan absolut.

Tatapan simbolik atas pesan-pesan itu merupakan upaya menggerakkan sesuatu yang mengemuka pada masa lalu -- silakan dikoreksi jika ini dinilai keliru. Inti simbolik pesan-pesan itu adalah integrasi kemanusiaan (muamalah-horisontal) dan ketuhanan (ilahiah-vertikal) yang diemban oleh NU sebagai amanah.

Pesan non-verbal (tongkat dan tasbih) dan pesan verbal (ayat dan zikir) itu merupakan "hulu visi spiritual" dari Kiai Cholil yang tak lain adalah sinyal awal yang perlu dicermati lagi konteks ruang-waktunya saat ini.

Dinamika dunia dan manusia terus mengaliri sungai ruang dan waktu. Mengingat hulu sungai merupakan refleksi yang bisa berguna bagi perahu yang berlayar ke arah muara, laut serta samudera. Refleksi ini bisa serupa daun, ranting, dahan dan batang pohon tak lupa akarnya.

Bila masih percaya masyarakat dan negara merupakan kumpulan individu-individu, maka warga NU yang amat banyak populasinya merupakan faktor yang mestinya berpengaruh signifikan atas dinamika keindonesiaan. Lain kata, NU punya tanggung jawab besar atas perjalanan keindonesiaan minimal lantaran eksistensi serta dinamika sosiologis serta keagamaannya.

Dalam konteks yang amat lapang dan kompleks itu, bisa muncul celah-celah pertanyaan. Bagaimanakah kompleksitas dinamika pesantren, independensi NU dan relasi keduanya bagi keindonesiaan? Apakah ketiganya merupakan butiran-butiran tasbih yang integratif? Pertanyaan-pertanyaan ini butuh ruang-ruang tersendiri untuk menghampiri dan menelisiknya lebih memadai -- semoga terlaksana lain kali.

Penulis adalah pegiat sastra, tinggal di Jombang, Jawa Timur


Terkait