Musibah yang menimpa Sumiati dan Kikim sekali lagi menampar wajah Indonesia. Walau sudah terlambat, kita harus berseru ”Cukup!” Ini sudah cukup.
Dari waktu ke waktu, persoalan tenaga kerja Indonesia (TKI) selalu klasik dan berputar-putar di wilayah yang itu-itu juga. Di satu sisi, para TKI kita sebut pahlawan devisa. Namun anehnya, di sisi lain para pahlawan ini diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi. Di bandara, koruptor bisa melenggang bebas di karpet merah, sementara TKI harus ”disterilkan” melalui terminal dan lawang khusus.<>
Kita sering menilai TKI dari segi ekonomi yang merendahkan martabat kemanusiaan. Secara salah kaprah kita mengamini ungkapan negara lain mengekspor produk, Indonesia mengekspor babu. Ungkapan ini sungguh melecehkan sumbangsih besar para TKI. Bahwa sumbangan devisa dari TKI sangat besar adalah fakta yang sama-sama kita ketahui.
Khazanah Nusantara
Sumbangsih lain yang sering luput adalah peran TKI sebagai duta kebudayaan. Saya takjub menjumpai banyak TKI yang bekerja merawat anak kecil atau orang tua dengan cara dan khazanah nusantara. Sejumlah TKI yang Muslim bahkan kerap menidurkan bayi dalam gendongan dengan menyenandungkan selawat dan puji-pujian pada Tuhan.
Hari-hari ini, dengan mata telanjang, kita menyaksikan TKI di Saudi direndahkan kemanusiaannya justru di negeri tempat Nabi Muhammad lahir dan berjuang melawan perbudakan. Sejumlah kezaliman terhadap TKI dibiarkan terus terjadi dan malah cenderung menumpulkan kepekaan kita untuk peduli. Akal sehat dan nurani kita terganggu.
Pada 1983 saya bertanya pada Jenderal (Purn) Achmad Tirtosudiro, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. Waktu itu nasib TKI sudah memprihatinkan, sementara Pemerintah Indonesia seperti pura-pura tak tahu. Misalnya saja, saya masih tak yakin hingga sekarang apakah Pemerintah memedulikan nasib ratusan TKI yang tinggal di kolong jembatan di daerah Jeddah. Saya bertanya, ”Apa yang bisa dilakukan kedutaan terhadap nasib TKI?” Pak Tirtosudiro menjawab dengan apologetik, tetapi akurat, “Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena ini kebijakan dari Jakarta.”
Lengkaplah sudah ironi TKI. Sementara pemerintah Arab Saudi memang susah diajak berembuk, Pemerintah Indonesia sendiri tidak pernah sungguh-sungguh menjamin nasib TKI, kecuali memeras keringat mereka. Betapapun mudah saya mengerti mengapa bisa terjadi, musibah yang menimpa TKI sama sekali tidak bisa saya maklumi. Ironi TKI tak bisa dimaklumi karena banyak hal.
Pertama, sudah sekitar dua dekade wacana nota kesepahaman Indonesia-Arab Saudi digaungkan. Namun, hingga kini hal itu ibarat menanti pepesan kosong. Di dalam negeri, kita saksikan DPR terus menunda pengesahan RUU Perlindungan TKI yang dianggap bukan prioritas. Sedang pemerintah Saudi terus berdalih penjaminan nasib TKI tak perlu nota kesepahaman. Bersamaan dengan itu, jaringan mafia TKI juga masih leluasa beroperasi memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat akar rumput.
Kedua, penelantaran TKI di Saudi sekian lamanya adalah pengingkaran atas hak warga. Pelanggaran hak yang bersifat pasif ini bertentangan secara mendasar dengan kaidah tasharuff al imam ‘ala al raiyyah manuthun bi al mashlahah. Segala kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Karenanya, penyedotan devisa dari saku TKI yang dilakukan pemerintah sambil mengingkari hak warga negara para TKI jelas tak bisa dibenarkan.
Ketiga, pemerintah kerap menyebut bahwa pilihan menjadi TKI adalah hak warga negara yang menyangkut kebebasan menentukan penghidupan layak. Namun, dalam kenyataannya, seseorang menjadi TKI sering bukan karena kemerdekaan pilihan. Menjadi TKI justru merupakan keterpaksaan akibat impitan ekonomi di kampung halaman. Islam menganjurkan, min sa’adati islaamil mar-i an yakuuna rizquhu fi baladihi, pencarian seorang mukmin tergelar di tanah airnya. Kini, ungkapan subur sarwa tinandur-murah sarwa tinuku (serba subur-serba murah) hanya tinggal ungkapan yang semakin jauh dari kenyataan.
Maka, lonjakan jumlah TKI tidak lain merupakan akumulasi dari kegagalan agenda menyejahterakan rakyat. Mestinya pemerintah punya beritikad kuat, misalnya, menarik dana BLBI yang dikemplang. Dana BLBI cukup untuk membuka lapangan kerja setidaknya bagi 10 juta jiwa.
Keempat, sebagian pihak sering menyederhanakan tragedi demi tragedi yang menimpa TKI di Arab Saudi sekadar akibat dari perbedaan budaya. Penyederhanaan ini batal oleh kenyataan bahwa watak banyak penduduk Saudi justru tidak berbudaya. Pengalaman empat belas tahun tinggal di Arab Saudi membuat saya bisa memastikan berbagai wujud kejahiliyahan baru di negeri minyak ini.
Gemar memperbudak
Salah satu karakter yang umum di kalangan orang Saudi ialah gemar memperbudak, tetapi tidak mau diperbudak. Manusia dianggap milik yang bisa diperlakukan manasuka. Watak ini bertahan dan mengakar selama berabad-abad. Peradaban Islam di Timur Tengah nampaknya belum berhasil melanjutkan misi kenabian Muhammad dalam menghapus perbudakan.
Sebagai Muslim tentu saya merasa malu mengapa perlakuan tak manusiawi bisa terjadi di Arab Saudi. Hal yang jauh berbeda justru saya saksikan, misalnya, di Taiwan, yang memperlakukan TKI lebih bermartabat. Di mata orang Taiwan, para TKI bekerja dalam konteks profesi, sementara di Saudi, TKI dianggap sebagai budak yang dimiliki. Di Saudi jangankan mencari perlindungan ke kedutaan, nyaris semua TKI di Saudi yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak diijinkan majikannya bisa mengakses dunia luar.
Permasalahan tidak dibayarnya gaji TKI juga menjadi masalah yang kerap kali terjadi. Padahal Rasulullah juga telah bersabda, “Berikan upah pekerja sebelum kering keringatnya.” Hadis sahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dan kenyataan ini semakin menjauhkan Saudi dari nilai-nilai yang telah diajarkan atau disabdakan Rasulullah.
Kita tahu bahwa selama ini kecenderungan pemerintah menangani permasalahan TKI seringkali reaksioner dan minimalis. Kalaupun hari ini pemerintah belum bisa berbuat banyak, maka apa yang bisa dituntut dalam waktu dekat ini sederhana saja: penghentian segera pengiriman TKI ke Arab Saudi. Dalam hemat saya, langkah ini ialah yang paling tepat jika mempertimbangkan kompleksitas masalah yang ada. Bagaimanapun, pemerintah harus mendahulukan keselamatan satu nyawa, bahkan jika harus dibandingkan satu trilyun suntikan devisa. (*)
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
dimuat halaman Opini Harian KOMPAS, Sabtu, 27 November 2010