Opini

Potensi dan Posisi Pelajar dalam Dunia Pendidikan(?)

Kamis, 2 Mei 2013 | 22:30 WIB

*Farida Farichah
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah Amerika, India, dan Cina. Jumlah penduduk Indonesia 237,6 juta jiwa (SP, 2010). Angka tersebut didominasi remaja usia 10-24 tahun dengan jumlah 64 juta jiwa atau 27,6% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia.

<>

Besarnya jumlah remaja merupakan modal dasar untuk kemajuan Indonesia. Masa depan Indonesia ada di tangan mereka. Tidak sedikit prestasi anak negeri di dunia Internasional. Adalah Limiardi Eka S (SMAK Penabur Gading Serpong) dan Erwin Handoko Tanin (SMA Sutomo Medan) peraih medali emas dalam Olimpiade Fisika Asia ke-13 di India. Juara itu disusul satu perak dan satu perunggu. Pelajar Indonesia juga peraih juara umum di ajang olimpiade matematika kelas dunia, Wizard at Mathematics International Competition (WIZMIC 2011). Tidak sedikit anak negeri ini peraih medali emas di ajang kompetisi sains dan rancang robot. Tidak sedikit pula karya anak negeri ini yang membanggakan.

Ingatan segar kita pun tertuju Arrival Dwi Santoso siswa SMP 48 Bandung yang menciptakan ARTAV antivirus. Belum lagi kreativitas siswa SMP yang tahun kemarin meretas situs Presiden RI. Baru dua hari yang lalu mahasiswa UNIKOM Bandung berhasil meraih medali emas di ajang lomba robot tingkat internasional di Amerika Serikat. Dan masih banyak lagi deretan prestasi anak negeri ini. Prestasi yang tidak sedikit dan patut dibanggakan ini, merupakan bukti bahwa kualitas pelajar kita mampu bersaing di dunia internasional.

Panjangnya deretan prestasi pelajar kita tidak serta menunjukkan baiknya rapor pendidikan kita. Sederet prestasi itu diiringi dengan sederet permasalahan pendidikan dan pelajar itu sendiri. Akses pendidikan yang masih jauh dari kata ‘merata’ merupakan masalah utama pendidikan kita. Kebijakan pendidikan 20% anggaran belum benar-benar dirasakan siswa. Besarnya anggaran 20% juga belum dapat menaikkan kualitas pendidikan secara signifikan. Carut marutnya Ujian Nasional yang baru saja lewat minggu kemaren merupakan PR besar bagi kita bersama untuk menata pendidikan lebih baik. Sebagai rakyat awam, kita sangat heran bagaimana mungkin UN sebagai rutinitas tahunan dan sudah belasan tahun dilaksanakan masih menyisakan permasalan teknis. Ini menjadi pertanyaan besar. 

Permasalah lain adalah potret perilaku pelajar kita yang identik dengan tawuran, asusila, amoral, narkoba, dan sisi gelap lainnya. Berdasarkan penelitian dari Australian National University (ANU) dan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia tahun 2010 di Jakarta, Tangerang dan Bekasi (JATABEK) terhadap 3006 responden (usia 17-24 tahun), sebuah hasil menunjukkan 20,9% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah, dan 38,7% remaja mengalami kehamilan dan kelahiran setelah menikah. Dari data itu, terdapat proporsi yang relatif tinggi pada remaja yang melakukan pernikahan disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan. Sedangkan Badan Narkotika Nasional tahun 2012 melansir 32.743 tersangka penyalahgunaan narkoba. Sebanyak 1.944 dari angka itu adalah mereka yang berada pada kelompok usia 16-19 tahun. Sedangkan 5.057 darinya berasal dari pengguna usia 20-24 tahun.

Di sisi lain, jumlah kasus HIV AIDS yang dilaporkan per 1 Januari sampai 1 September 2012 adalah 15.372 untuk HIV dan 3.541 untuk AIDS. Sementara secara kumulatif, kasus HIV dan AIDS sampai dengan 30 September 2012 tercatat sebanyak 92.251 untuk HIV dan 39.434 untuk AIDS (KEMENKES, September 2012). Tahun 2011 LaKIP (Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian) melansir hasil penelitian bahwa 48,9% siswa SMP & SMA se-Jabodetabek bersedia terlibat aksi kekerasan terkait dengan agama dan moral. Sebanyak 14,2% membenarkan aksi pengeboman seperti yang dilakukan oleh Imam Samudera dan lainnya.

Inilah segudang permasalahan sosial pelajar kita. Permasalahan pelajar dan pendidikan bukan sekadar tanggung jawab pemerintah. Seluruh komponen masyarakat Indonesia memikul tanggung jawab yang sama. Sekarang, bukan waktunya saling menuding dan menghujat siapa paling salah atas semua permasalahan itu. Kini waktunya bagaimana berbuat untuk mengurangi permasalahan itu dan memperbaiki generasi yang akan datang. 

Bergerak bersama pelajar Indonesia adalah salah satu kunci bagaimana kita mengatasi permasalahan tersebut. Bergerak bersama pelajar adalah bagaimana kita menata masa depan pelajar dengan memosisikan pelajar tidak lagi sebagai obyek tetapi sebagai subjek. Keterlibatan pelajar dalam menyelesaikan masalah terkait pelajar akan sangat efektif mengingat mereka adalah bagian komponen yang sangat kreatif.

Pendidikan kita yang cenderung masih menganggap pelajar sebagai objek, harus mulai dipinggirkan bahkan dihilangkan. Sekarang saatnya kita duduk bersama dengan mereka untuk memberikan pemahaman agar mereka mengetahui dan peduli terhadap permasalahan mereka yang pada akhirnya solusi permasalahan tersebut bisa jadi dari mereka. Kini saatnya kita membangun paradigma dari pelajar, oleh pelajar, dan untuk pelajar. Pelajar adalah aset bangsa di mana masa depan negara ada di tangan mereka.

*Penulis adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (PP IPPNU)



Terkait