Opini

Problematika Pesantren Salaf Masa Kini

Ahad, 7 September 2008 | 23:00 WIB

Oleh KH Achmad Sadid Jauhari

Sangat bisa diterima sinyalemen bahwa pesantren adalah lembaga tertua di Nusantara, tapi masih sangat relevan untuk dipertahankan eksistensinya. Tetapi, situasi yang terus berkembang, maka tidak bisa tidak pesantren perlu modifikasi agar terus bisa dilihat manfaatnya untuk umat.

Pada masa lampau, jelas sekali peran pesantren dalam membentuk budaya bangsa, sehingga para alumninya sangat dirasakan manfaatnya di lingkungannya masing-masing, baik di tingkat lokal, regional bahkan nasional dan internasional.<>

Ilmu yang ditimba para alumni pesantren dari almamater pesantrennya masing-masing sangat cukup untuk bekal hidup bermasyarakat dan berjuang. Ini tentu ditunjang lebih tekunnya santri tempo dulu dan berkah para gurunya yang keikhlasan dan kedalaman ilmunya sangat mumpuni.

Suatu hal yang menakjubkan, bahwa umat Islam Nusantara yang terjajah selama 3,5 abad dan selalu kalah dalam pertikaian politik serta kekuasaan, tapi masih bisa mengembangkan dakwah Islamiyah-nya sehingga sensus penduduk menjadi mayoritas muslim dan transaksi dalam kehidupan masyarakat, baik ekonomi atau nonekonomi, juga sangat dipengaruhi teori fikih Islami. Ini tidak lepas dari perjuangan pesantren yang bertebaran di pelosok Tanah Air.

Kelompok santri memang kalah dalam perebutan kekuasaan dan politik, tapi masih berjaya dalam budaya. Konon, disebutkan bahwa ketika kolonial datang di Nusantara, penduduk muslim masih 20 persen. Tetapi, justru ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, umat Islam meningkat menjadi 95 persen. Ironisnya justru ketika kita sudah merdeka, umat Islam menerima tekanan-tekanan dari budaya, ekonomi, juga politik, sehingga populasinya mengalami degradasi. Dari sinilah pesantren harus intropeksi diri sendiri agar misi pendidikan, sosial dan dakwahnya tetap eksis.

Problematika Kurikulum

Kurikulum pesantren salaf yang cenderung berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita maklumi karena para dai pertama di Jawa memang berasal dari sana. Yang mencolok adalah penekanannya dalam bidang fikih yang sudah jadi dan tasawuf serta ilmu alat. Barangkali inilah yang memunculkan predikat pesantren salaf. Kemudian, predikat pesantren salaf didikotomikan dengan pesantren modern. Walaupun pada awalnya dikotomi itu juga rancu. Sebab, ada pesantren yang mengklaim dirinya modern dengan kurikulumnya yang berbeda dengan pesantren salaf, yaitu penekanan pada bahasa Arab/Inggris dan tidak mau fikih. Tetapi, (dulu) tidak mau memasukkan pendidikan formal (sekolah berafiliasi Departemen Pendidikan Nasional/Departemen Agama). Sementara, ada pesantren yang masih mangaku salafiyah, tapi malah sudah mendahului mengadopsi sekolah formal mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, baik yang berafiliasi ke Depdiknas maupun Depag.

Untuk saat ini, pesantren modern itu bisa dilihat hasilnya dengan menempatkan banyak kader alumninya di panggung karier dan politik tingkat nasional. Hal ini mungkin ditunjang kemampuan komunikasinya yang berbahasa Arab dan Inggris tersebut, walaupun dari sisi ketangguhan dalam bidang fikih belum memadai dibanding alumni pesantren salaf. Ini bisa dilihat dari forum bahsul masail yang nampak didominasi ahumni pesantren salaf yang biasanya lebih lokal.

Bila mendikotomikan kurikulum salaf (bila dipahami sebagai kurikulum agama) dengan kurikulum umum, juga masih ada sisa pertanyaan di sana. Sebab, sebenarnya pelajaran agama itu hanyalah Al-Quran, hadits, akidah, syariah dan pendukungnya. Sementara, nahwu, shorof, balaghoh (sastra Arab), manthiq, 'arudl, falak dan lain-lain, bukan ilmu agama. Sebab, mata pelajaran seperti itu juga diajarkan di sekolah-sekolah umum di Timur Tengah. Tetapi, karena di sini ditulis Arab dan dengan bahasa Arab, maka dianggap pelajaran agama.

Dengan bekal pengetahuan umum yang ditulis Arab itulah barang kali para alumni pesantren salaf dulu sangat bisa berkiprah di lingkungannya. Tetapi, setelah Indonesia ini merdeka dan bahasa Indonesia yang ditulis dengan huruf latin menjadi bahasa resmi negara, ditambah bahasa asing selain bahasa Arab, terutama bahasa Inggris, sangat berpengaruh di lingkungan ilmiah di negara ini. Maka, mau tidak mau, kita rasakan bahwa itu sangat berdampak bagi menyempitnya ruang gerak kiprah alumni pesantren salaf di masyarakat. Apalagi setelah munculnya peraturan pemerintah dan undang-undang, khususnya Undang-undang Dosen dan Guru, sangat memukul bagi kiprah pengabdian alumni pesantren salaf di bidang pendidikan formal.

Barangkali berangkat dari sinilah Depag harus menyiasati dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 untuk menolong kiprah para alumni pesantren salaf agar ruang gerak pengabdiannya di masyarakat lebih leluasa. Intinya, diupayakan agar bagaimana alumni pesantren salaf itu memperoleh penyetaraan dengan sekolah formal dalam dampak masyarakat sipil. Untuk itu, memang diperlukan standar kurikulum nasional di pesantren salaf ditambah beberapa mata pelajaran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat di negeri ini.

Problematika Kualitas dan Kuantitas Pesantren Salaf

Hal yang sangat memprihatinkan di kalangan pesantren salaf adalah degradasi kualitas pendidikannya. Sebab, kualitas ilmu kiai dan para ustaznya juga banyak yang menurun. Belum sisi lain yang lebih kita kenal sebagai "berkah", juga sangat berkurang karena kadar kualitas keikhlasan kiai dan para ustadznya juga merosot. Apalagi bila pesantren salaf itu berganti ‘kelamin’ menjadi pesantren formal. Secara umum, jelas sekali degradasi kualitas kemampuan kitab kuningnya, bahkan juga sampai ke budaya para santri yang masih menetap di pesantren itu juga ikut berubah.

Inilah tantangan berat bagi pengasuh pesantren salaf, khususnya yang sudah mengalami regenerasi. Turunnya kualitas kiai dan para ustaz akhirnya juga berdampak merosotnya kuantitas santri. Seringkali ada kebijakan jalan pintas untuk mempertahankan eksistensi pesantren tersebut, dengan berganti ‘kelamin’ tadi (dari pesantren salaf ke pesantren formal).

Tetapi, sekarang secara umum sangat dirasakan kemerosotan kuantitas pesantren salaf, juga pesantren formal di mana-mana. Ada yang mencoba melaksanakan penelitian dalam kasus ini. Akhirnya menyimpulkan beberapa penyebab, di antaranya, sebagai berikut:
  1. Banyaknya alumni pesantren yang mendirikan pesantren sendiri-sendiri;
  2. Tekanan ekonomi bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sementara, animo pesantren yang banyak dari kalangan tersebut;
  3. Lembaga pesantren dulu dinilai sebagai lembaga pendidikan termurah. Tetapi, setelah adanya dana Biaya Operasional Sekolah bagi lembaga pendidikan formal, maka pesantren terkesan lebih mahal;
  4. Bagi pesantren yang sudah mengalami regenerasi, umumnya kualitas pengasuhnya mengalami kemunduran, baik dari sisi keilmuan maupun keikhlasan;
  5. Banyak alumni pesantren masa kini yang kurang kuat terhadap godaan duniawi, sehingga kurang bisa mencerminkan akhlak yang baik yang merupakan target utama produk pesantren;
  6. Keterlibatan para kiai dalam panggung politik praktis yang sering kali menimbulkan kesimpulan berbeda dari hasil ijtihad siyasiy mereka. Sehingga menyebabkan sebagian umat ada yang berburuk sangka dan tidak simpati lagi;
  7. Dan, memang barang kali sudah menjadi suratan Ilahi sebagaimana yang disabdakan Rasulullah bahwa agama ini “asing” dan akan kembali “asing”.
Penulis adalah Wakil Katib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama


Terkait