Opini

Puasa dan Budaya Literasi

Sabtu, 17 Juni 2017 | 11:29 WIB

Puasa dan Budaya Literasi

ilustrasi: ist

Oleh Sholihin Hasan
Iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq. Artinya; Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.

Ayat di atas merupakan ayat pertama dari lima ayat Surat Al-‘Alaq yang turun sebagai wahyu pertama. Ayat itu diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril pada malam 17 Ramadhan saat Nabi Muhammad Saw sedang berkhalwat di Gua Hira’. Ketika itu beliau memasuki usia 40 tahun.

M Quraish Shihab dalam kitab tafsir Al-Mishbah menyebutkan, kata iqra’ terambil dari kata kerja qara’a yang berarti bacalah. Iqra’ juga berarti  menghimpun, menyampaikan, menelaah, membaca mendalami, meneliti, dan mengetahui ciri-ciri sesuatu. Perintah iqra’ mencakup telaah terhadap alam raya, masyarakat dan diri sendiri, serta bacaan tertulis, baik suci maupun tidak suci.

Perintah iqra’ yang turun 14,5 abad yang lalu akhir-akhir ini kurang mendapat perhatian dari mayoritas umat Islam di Indonesia. Berdasarkan survei yang dilakukan beberapa lembaga internasional menunjukkan bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia kalah jauh dengan negara-negara lain.

Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan, budaya literasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012 menempati posisi terburuk kedua. Posisi Indonesia berada diurutan ke 64 dari 65 negara yang disurvei.

Empat tahun setelah penelitian PISA, ternyata posisi budaya literasi bangsa ini belum mengalami perubahan signifikan. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Central Connecticut State University (CCSU) di New Britain, Conn, Amerika Serikat tahun 2016, menempatkan literasi di Indonesia pada peringkat ke 60 dari 61 negara dalam The World’s Most Literate Nations. 

Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan betapa lemahnya budaya literasi masyarakat Indonesia. Rendahnya budaya literasi di Indonesia salah satunya disebabkan karena budaya masyarakat adalah budaya menonton, budaya dongeng dan cerita, bukan budaya membaca.

Anak-anak sekolah lebih senang bermain game ketimbang pergi ke perpustakaan. Masyarakat lebih senang membicarakan materi pembicaraan yang berdasarkan katanya, katanya dan katanya, ketimbang berdasarkan sumber ilmiah atau dari ayat-ayat suci.

Tingginya budaya menonton masyarakat terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa tahun lalu. Dimana jumlah waktu yang digunakan anak Indonesia untuk menonton televisi adalah 300 menit per hari. Jumlah waktu menonton anak-anak Indonesia terlalu besar jika dibandingkan dengan anak-anak di Australia yang hanya 150 menit per hari dan di Amerika yang hanya 100 menit per hari.

Untuk mendorong minat baca di kalangan siswa, di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, pernah mewajibkan para siswa membaca buku 15 menit sebelum jam belajar dimulai.

Pentingnya Literasi

Literasi biasa dipahami sebagai kemampuan membaca dan menulis. Menurut Unesco, literasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menerjemahkan, menciptakan, mengkomunikasikan dan memperhitungkan, menggunakan bahan tertulis maupun tercetak yang berhubungan dengan berbagai konteks.

Kemampuan literasi sering menjadi pembuka bagi datangnya keberhasilan. Hubungan lingkaran setan antara status kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan sesungguhnya berkaitan erat dengan budaya literasi.

Ketika budaya literasi menguat, maka impact-nya lambat laun akan menghilangkan status kebodohan. Dengan sirnanya status kebodohan, maka status keterbelakangan juga ikut sirna. Bahkan, impact dari kuatnya budaya literasi akan mampu memperbaiki taraf hidup, serta kemajuan suatu bangsa.

Unesco pernah melakukan penelitian berjudul Literacy for Life, menemukan adanya hubungan erat antara lemahnya budaya literasi (illiteracy) dengan kemiskinan. Negara-negara yang tingkat literasinya rendah, rata-rata adalah negara miskin. 

Momentum Puasa

Umat Islam yang saat ini tengah melaksakan ibadah puasa Ramadhan perlu merenungi kembali makna perintah iqra’. Apakah perintah iqra’ sudah dilaksanakan dengan baik dan menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari? Kalau pun sudah, apakah iqra’ memiliki pengaruh dalam kehidupan nyata?

Ramadhan adalah momentum penting untuk memperbaiki atau meningkatkan budaya literasi. Sebab, bagi umat Islam di Indonesia, khususnya umat Islam di Jawa, momentum Ramadhan identik dengan budaya literasi.

Beberapa tradisi Ramadhan yang terkait dengan literasi antara lain tradisi tadarus Al-Qur’an. Tradisi ini biasanya digelar selepas shalat Tarawih. Hampir di setiap masjid dan mushalla, selalu dilaksanakan kegiatan tadarus. Baik dengan metode koor, sorogan maupun long march.

Kegiatan tadarus dilaksanakan antara satu hingga dua jam setiap malamnya. Yakni, pukul 20.00 hingga pukul 22.00. Selama Ramadhan biasanya khatam membaca al Qur’an antara dua hingga empat kali khataman. Bahkan ada yang lebih, lima atau enam kali.

Kegiatan tadarus tidak hanya dilaksanakan di masjid dan mushalla, tetapi tadarus juga dilaksanakan di rumah, sekolah, kampus maupun kantor. Organisasi sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatkan pun tak ketinggalan melaksanakan kegiatan tadarus berjamaah.

Selama Ramadhan juga semarak dengan kegiatan ceramah agama dan kajian agama. Ceramah agama tersebut biasanya dilaksanakan selepas jamaah shalat isya’ atau tarawih, dan setelah jamaah shalat subuh. Ceramah agama yang ditempatkan di dua waktu ini biasanya sifatnya pendek atau dikenal dengan ceramah kuliah tujuh menit (kultum).

Kajian agama pun marak dilaksanakan di pondok-pondok pesantren. Mulai ba’da subuh hingga larut malam dilakukan kajian kitab kuning. Kajian kitab kuning ini dilakukan para kiai, ustadz dan para santrinya. Berbagai macam kitab kuning dikaji selama Ramadhan. Mereka mengambil waktu khataman baca kitab kuning antara 17 hingga 21 Ramadhan. 

Momen buka puasa bersama sering dijadikan media dilaksanakannya kajian agama atau kultum. Buka puasa bersama dengan kajian agama dengan durasi waktu agak panjang biasanya dilaksanakan di masjid-masjid atau mushalla. Sedangkan untuk buka puasa di kantor, sekolah, perusahaan, kampus maupun organisasi sosial kemasyarakatan biasa didahului dengan ceramah agama agak singkat.

Berbagai kegiatan di atas menunjukkan bahwa kegiatan literasi umat Islam selama Ramadhan meningkat jika dibandingkan di luar Ramadhan. Karena kegiatan-kegiatan seperti itu tidak dijumpai di luar Ramadhan.

Suasana religi tersebut diperkuat tampilan media cetak dan elektronik. Koran, majalah, radio, situs internet dan televisi memberikan ruang khusus selama Ramadhan.

Pertanyaanya, kegiatan baca Al-Qur’an begitu marak, kajian dan ceramah agama digelar di mana-mana, tetapi mengapa literasi bangsa Indonesia dinilai masih terpuruk? 

Hal ini dikarenakan kemampuan literasi umat Islam hanya berhenti pada kemampuan membaca. Kemampuan literasi belum sampai pada kemampuan mengidentifikasi apalagi memahami. Kemampuan literasi belum sampai menghasilkan karya atau produksi.

Tadarus al Qur’an hanya berhenti pada kegiatan membaca. Masih berkutat pada aplikasi penerapan ilmu tajwid, makharijul huruf, ketartilan bacaan, serta merdu dan tidaknya suara. Tadarus Al-Qur’an belum dikembangkan menjadi kegiatan pendalaman melalui kajian tafsir. 

Melalui kajian tafsir akan diperoleh pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai penafsir. Dari pendalaman ayat-ayat tersebut akan diperoleh pemahaman. Dari pemahaman tersebut umat Islam diharapkan bisa melakukan identifikasi pesan moral dari kandungan ayat untuk selanjutnya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Maraknya ceramah agama selama Ramadhan ini juga berhenti dengan selesainya materi ceramah. Minim program tindak lanjut. Masyarakat masih cenderung mendengarkan atau mencari penceramah yang lucu dan memiliki selera humor tinggi. Mengenai isi materi menjadi persoalan belakangan.

Penceramahnya juga cenderung melayani selera masyarakat ketimbang melakukan pencerahan dan melakukan program tindak lanjut. Bahkan, materi ceramah sering diulang-ulang. 

Itulah mengapa masyarakat Indonesia oleh lembaga Programme for International Student Assessment dan Central Connecticut State University dinilai kemampuan literasinya rendah. Karena kemampuan literasinya baru taraf membaca dan mendengarkan.

Untuk menguatkan kemampuan literasi, maka maraknya kegiatan tadarus, kajian agama, dan ceramah agama selama Ramadhan ini hendaknya tidak berhenti di tempat. Gelombangnya sedikit di naikkan. Tadarus tidak sekedar membaca, ceramah tidak sekedar mendengarkan, tetapi sedikit ditingkatkan menjadi memahami maknanya dan selanjutnya mengaplikasikan dalam kehidupan nyata.  

Penulis adalah mahasiswa program doktor UIN Walisongo Semarang, sekaligus dosen STAI Almuhammad Cepu


Terkait