Opini

Santri dan Rajutan Merah Putih

Ahad, 21 Oktober 2018 | 02:30 WIB

Oleh Nur Faizin

Bulan Oktober ini bulan istimewa. Setidaknya bagi kalangan muda, khususnya santri di seluruh pelosok negeri. 22 Oktober sebagai Hari Santri dan 28 Oktober yang diperingati sebagai Hari Sumpah Pemuda menjadi momentum kita menapaktilasi perjuangan anak bangsa dalam merawat ke-Indonesiaan kita, khususnya santri.  

Ada anggapan membangun sebuah peradaban sepertinya mudah bagi suatu bangsa, tetapi untuk merawatnya butuh kerja keras dan kerja cerdas seluruh elemen. Kita tak dapat memungkiri bahwa peran santri sangatlah besar dalam membangun peradaban yang bernama Indonesia ini.

Tentu ini juga disokong oleh pelbagai elemen lain. Paling tidak, khususnya mereka yang skeptis terhadap peran santri, dapat menelisik lebih jauh pada semangat perjuangan masyarakat santri dalam mempertahankan kemerdekaan. 

Resolusi jihad menjadi cikal bakal kaum sarungan bahwa peran kaum muda santri dari seluruh pelosok, khususnya di Jawa Timur sebagai lokasi pertempuran, sedemikian besar rela mengorbankan jiwa dan raga demi keutuhan NKRI. Begitu dahsyat semangat dan gelora kaum santri dibawah komando Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Seluruh lasrkah perjuangan dibawah bendera NU bersatu padu mempertahankn rajutan merah putih. 

Walau kini sudah 73 tahun berlalu. Semaian perjuangan kiai dan santri dalam laskar Hizbullah tentu dapat kita semai di dalam setia elemen kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau para pejuang dulu mengangkat senjata, kini saatnya kita mengangkat persaudara dan persatuan dalam meningkatkan taraf kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Bahwa semangat tersebut dirayakan, diuri-uri, dan direfleksikan. Di tubuh Gerakan Pemuda Ansor sendiri, yang notabene badan otonom NU, bulan Oktober dimanfaatkan untuk merajut kembali semangat merah putih seluruh elemen bangsa dalam bentuk Kirab Satu Negeri dan Apel Banser se-Indonesia di Yogyakarta pada Jumat (26/10) mendatang. 

Kirab GP Ansor tak hanya bertujuan politik kebangsaan, lebih dari itu juga ingin meleburkan dakwah Islam yang bercirikan tawasuth (tidak ekstrim kiri atau kanan), tawazun (seimbang), ta’adul (bersikap adil), dan tasamuh (toleran). Keempat sikap ini yang selalu digaungkan GP Ansor dan kalangan nahdliyin ke mana-mana dalam rangka ber-Islam dan mencintai tanah air seperti diajarkan Rasulullah SAW. Bukan Islam yang marah, tapi Islam yang ramah. 

Sikap tawazun membuat membuat kami menanggapi setiap perbedaan dengan akal sehat. Namun kami tidak segan-segan jika ada sekolompok orang menjadi kerikil pengusik toleransi dan keutuhan NKRI. Kepadanya, meminjam bahasanya Gus Yaqut Cholil Qaumas, tidak segan-segan kami 'gebukin'.

GP Ansor dan seluruh elemen santri tidak mau identitas kebangsaan kita terkoyak akibat perbedaan pandangan politik, fanatisme, dan ekstremisme. Semangat santri, sebagaimana dileburkan dari semangat Resolusi Jihad, ialah semangat saling menguatkan simpul seluruh elemen bangsa. 

Menjadi Indonesia

Kirab Satu Negeri tidak ada tendensi politik parsial, kecuali hanya menguatkan politik kebangsaan. Inilah cara GP Ansor sebagai entitas santri santri menyemarakkan ke-Indonesiaan kita. Menguatkan merah putih kita. Menjadi Indonesia seutuhnya. 

Resolusi jihad atau seruan jihad mempertahankan kemerdekaan melawan sekutu di Surabaya memunculkan perang rakyat selama empat hari tanggal 26 hingga 29 Oktober 1945. Perang ini perang cinta tanah air melawan kedzaliman, kejahatan, dan penjajahan. 

Kita sudah mafhum bahwa mempertahankan kecintaan pada bangsa dan negara adalah fardu ‘ain atau wajib bagi setiap individu. Bagaimana bisa segelintir orang mengatakan sistem pemerintahan Indonesia thagut dan tidak berdasarkan asas ke-Islaman, senyampang mereka belum pernah membela rakyat, membela bangsanya sendiri, dan berada di medan pertempuran melawan penjajah? Di sinilah sesat pikir kalangan ekstremis yang bercita-cita mengubah haluan Indonesia. 

Kalangan santri telah berbuat untuk bangsa ini sejak sebelum merdeka. Santri tidak hanya tinggal diam dan duduk manis belajar di pesantren. Sejak dahulu santri ikut bergelirya melawan penjajah. Tak sedikit dari kalangan santri menjadi korban.

Kami Gerakan Pemuda Ansor secara tegas menolak dan melawan segala tindakan intoleransi dan radikalisasi yang hendak merongrong kebhinekaan kita. Kita ini sama; satu Indonesia. Begitulah tagline yang coba ditanamkan kalangan muda NU di tengah-tengah ikatan sosial masyarakat. 

Sebagai santri kami ingin menguatkan, sebagaimana dikatakan KH Musthofa Bisri (2018), sikap kesatria dan toleran yang lahir dari jiwa besar. Jiwa besar dalam ber-Islam, berkebangsaan, dan ber-kerakyatan coba kami galakkan semata-mata meneruskan semangat cinta santri dan kiai pada republik ini. 

Apa yang dilakukan kalangan santri hanya ingin menyampaikan bahwa kita sebagai pemuda berbangsa dan bertanah air tak ingin jahitan merah putih terkoyak oleh oknum yang ingin merubah haluan Indonesia. Keutuhan dan perdamaian di bumi pertiwi menjadi ghoyah (tujuan). NKRI harga mati.


Penulis adalah Seknas BAANAR GP Ansor dan Korwil Densus 26 Madura


Terkait