Oleh Warsa
Beberapa bulan lalu, penulis pernah menulis sebuah artikel
Akang dan Amang dalam Tradisi Pesantren Sunda dan diterbitkan oleh website Nahdlatul Ulama (www.nu.or.id). Membicarakan pesantren dan santri memang tidak akan pernah ada habisnya, tidak pernah usang selama pranata pendidikan keagamaan ini tetap bertahan.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri. Penetapan ini dilatarbelakangi oleh semangat Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy'ari bersama sejumlah kiai besar lainnya. Bukan hanya itu, penetapan hari santri tidak terlepas dari peran santri dan pesantren sebagai dua entitas transformasi ilmu pengetahuan dan 'pendobrak' jendela masuknya negara ini ke alam kemerdekaan.
Sejarah telah mencatat, negara ini pernah memiliki tokoh-tokoh besar dan tidak sekadar dibesar-besarkan. Hadratussyekh Mbah Hasyim, KH Ahmad Dahlan, dan A. Hasan. Ketiga tokoh ini merupakan sederetan ulama dengan basis kesantrian yang telah berhasil membuka cakrawala dialog baik secara internal antar umat juga secara eksternal dengan umat lain yang ada di negara ini.
Pemikiran besar ketiga tokoh ini sulit untuk diilustrasikan dengan kalimat apa pun yang jelas hal paling penting yang patut dicontoh oleh siapa pun dari mereka tidak pernah keluar saling menyalahkan. Pandangan-pandangan selalu dilakukan secara dialogis. Rasanya Islam dan keislaman Indonesia sulit untuk berkembang jika ketiga tokoh ini lebih memilih bersikap eksklusif terhadap pemikiran masing-masing.
Ketiga tokoh ini mendirikan pranata keagamaan (organisasi keagamaan) bukan didasari oleh semangat mendirikan perpecahan (firqah). Pendirian tiga organisasi besar; NU, Muhammadiyah, dan Persis dilatarbelakangi oleh semangat keilmuan semata di mana Islam dan ajarannya harus ditranformasikan berdasarkan tempat, milieu, dan basis cara pandang umat.
Nahdlatul Ulama lahir untuk menjawab bagaimana transformasi ajaran Islam dilakukan kepada masyarakat akar rumput (tradisional). Sudah tentu, para kiai dan ulama yang berada di barisan NU ini cenderung menyampaikan pandangan-pandangan dan ajaran Islam secara sederhana kepada masyarakat. Agar masyarakat mudah memahami ajaran, tidak bertele-tele dan bergelut dengan dalil-dalil, sangat praksis.
Meskipun cara penyebaran atau transformasi keislaman kepada masyarakat (kaum tradisional) dilakukan oleh para kiai NU secara sederhana tetapi melalui pendirian pondok-pondok pesantren telah diterapkan standar yang cukup ketat ketika transformasi Islam tersebut dilakukan kepada para santri. Dhofier (2011) dalam Tradisi Pesantren menyebutkan bagaimana juga pesantren merupakan lembaga tersendiri meskipun bersentuhan langsung dengan masyarakat tetapi memiliki tradisi tersendiri.
Metodologi transformasi keislaman yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan sudah tentu berbeda dengan para kiai Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah didirikan untuk menjawab persoalan kaum perkotaan (urban) waktu itu. Transformasi keislaman dilakukan melalui pendekatan dialogis dalam mengutarakan dalil-dalil, bahkan retorika sebab seperti itulah ciri masyarakat perkotaan. Pendidikan menjadi sasaran utama pendirian Muhammadiyah ini.
Melihat fakta sejarah seperti di atas, adalah sangat wajar jika tokoh-tokoh besar seperti Mbah Hasyim dan Kiai Dahlan telah dapat mencetak banyak santri yang tidak kalah kualitasnya dari kedua tokoh ini.
Hal yang patut dicontoh dari tokoh-tokoh besar terutama para kiai dan santri di negara ini adalah semangat toleransi dan keterbukaan mereka terhadap pemikiran. Orang-orang besar yang telah mendirikan organisasi besar memang selalu bersikap saling peduli dan tidak merasa "guminter" atas tokoh lainnya. Untuk itulah, Hiroko Horikoshi menyebutkan bahwa kiai –santri memiliki peran besar terhadap perubahan sosial dan kultural di masyarakat ini.
Konsekuensi sederhana dari pengalaman kebangsaan para tokoh besar bagi para santri di era milenial seperti sekarang yaitu sikap ittiba' terhadap cara-cara dan perilaku yang telah dicontohkan oleh mereka. Minimal dapat mengakui secara obyektif terhadap peran orang lain yang telah mentransformasikan keislaman di negara ini. Para santri tidak pernah dituntut oleh para kiai agar 'grasa-grusu' dalam menilai fenomena sosial yang bersifat dinamis. Pintu dialog harus tetap dipilih untuk menghasilkan pandangan dan pikiran yang lebih jernih.
Gus Dur dapat dijadikan rujukan oleh para santri bagaimana beliau menekankan pentingnya kecerdasan emosional dan spiritual dalam menghadapi setiap fenomena sosial dan kultural yang selalu bersifat dinamis, labil, dan cenderung semakin kompleks.
Kalimat "Gitu aja kok repot…" merupakan ajakan dari seorang Gus Dur untuk bersikap selalu tenang, lembut, dan berpikir sebelum bertindak. Apalagi di era milenial yang memiliki ciri; labil, penuh ketidakpastian, kompleks, dan ketidakjelasan ini sudah tentu para santri dituntut agar mendahulukan sikap 'tabayun' dan berpikir jernih terhadap persoalan yang ada.
Dari sisi penguasaan teknologi dan informasi pun perlu peningkatan yang lebih terarah. Pesantren tentu saja bukan sekadar lembaga yang hanya menghasilkan kaum sarungan yang hanya memahami ilmu-ilmu keagamaan saja, juga diharapkan mampu menguasai berbagai hal bersifat kekinian.
Ulama-ulama terdahulu (salaf) patut dijadikan rujukan dalam hal ini. Imam Al-Ghazali tidak sekadar memahami satu bidang ilmu, beliau menguasai filsafat, kedokteran, fiqih, matematika, dan sejumlah ilmu terapan lainnya.
Penulis adalah Guru MTs Riyadlul Jannah, Sukabumi