Oleh HA Helmy Faishal Zaini
Sayyid Muhammad Haqqi An-Nazili dalam kitab Khazinatul Asrar mengatakan bahwa salah satu shalawat yang mustajab (dikabulkan) adalah Shalawat Tafrijiyah Qurthubiyah, yang disebut orang Maroko dengan Shalawat Nariyah. Dinamakan Nariyah karena jika umat Islam mengharapkan apa yang dicita-citakan dan juga diinginkan, atau ingin menolak yang tidak disukai, sebagaimana dituturukan dalam buku tersebut, mereka berkumpul dalam satu majlis untuk membaca shalawat Tafrijiyah Qurthubiyah ini sebanyak 4.444 kali, tercapailah apa yang dikehendaki dengan cepat.
Soal pendapat sebagian orang yang berkata bahwa Sholawat Nariyah adalah Sholawat orang yang ‘merindukan neraka’ sesungguhnya hal itu tidaklah tepat sama sekali. Menyitir pendapat Abdullah al-Ghummari, sesungguhnya penamaan nariyah itu terjadi karena adanya tashif atau perubahan dari muasal kata yang sebenarnya taziyah. Keduanya, Nariyah dan Taziyah memiliki kemiripan dalam tulisan Arab. Perbedaan hanya terletak pada titik huruf. Di Maroko sendiri—tempat Shalawat ini berasal-- shalawat ini dikenal dengan shalawat Taziyah, sesuai nama kota pengarangnya.
Untuk keselamatan Bangsa
Tidak syak lagi, sebagaimana tertera dalam banyak kitab terkait kemujaraban Shalawat Nariyah, maka dengan mengharap keberkahan yang ditimbulkan darinya, segenap Nahdliyin berbondong-bondong secara serentak membaca Shalawat Nariyah yang tujuan utumanya adalah untuk mengharap keselamatan bangsa.
Krisis yang sedang melanda berbagai sektor, utamanya ekonomi, politik, dan keamanan, membuat kita semakin prihatin. Hidup menjadi sangat mencekam. Ancaman kerusuhan dan demonstrasi yang cenderung mengarah kepada anarkisme muncul di mana-mana.
Kondisi yang seperti itu sesungguhnya mengingatkan kita pada penyair besar WS. Rendra yang pernah mengatakan bahwa masyarakat Indonesia tak ubahnya rumput kering. Tersulut api sedikit saja, ia akan dengan mudah terbakar. Seperti itulah kita hari ini. Kondisi kita memang senyampang dengan yang dikatakan WS Rendra. Masyarakat menjadi mudah tersulut emosinya. Masyarakat menjadi mudah terpancing amarah. Dengan begitu benih pertikaian dan permusuhan menjadi merajalela. Lalu di mana Tuhan akan menurunkan rahmat jika masyarakatnya sedemikian amarah?
Shalawat Nariyah, pada titik tertentu, ia bisa dimaknai sebagai sebuah upaya untuk ‘mendinginkan’ hati dan nurani masyarakat Indonesia. Pada masyarakat yang ‘dingin’ akal dan nuraninya, rahmat dan berkah Tuhan diharapkan akan berlimpah.
Dalam banyak kesempatan kita sering medengar istilah baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Di sanalah sesungguhnya cita-cita membangun negeri yang aman dan tenteram itu digantungkan. Dalam istilah di atas negeri yang ideal adalah negeri yang bukan saja baik (walfare), namun lebih dari itu juga diampuni Tuhan.
Kalimat wa rabbun ghafur ini menarik untuk dikaji mengingat kebanyakan kita diam-diam banyak yang berpemahaman bahwa membangun negara tidak ada hubungannya sama sekali dengan Tuhan. Negara adalah urusan duniawi, sementara Tuhan adalah urusan privat yang biasanya menyangkut hal-ihwal ubudiyah. Pandangan seperti ini sesungguhnya tidak tepat. Sebab jelas membangun negara itu pararel dengan urusan ilahiyah. Hal ini sama persis dengan kekurangtepatan kita yang diam-diam memisahkan antara konsep hablum minannas dengan hablum minallah sebagai dua konsep yang berdiri sendiri-sendiri. Padahal dua konsep tersebut paralel dan berhubungan satu sama lainnya.
Dalam pada itu penting untuk diingat sejarawan Edward Gibbon dalam bukunya yang bertajuk The History of the Decline and Fall of the Roman Empire pernah mengungkapkan bahwa adanya degradasi moralitas yang salah satunya ditandai dengan semakin menjamurnya gejala hidup mewah dan juga berlebihan merupakan penyebab utama dari kehancuran sebuah negara. Lebih jauh, Gibbon berkesimpulan bahwa tanda utama kemunduran sebuah peradaban adalah ketika terjadi disparitas yang begitu tinggi antara kaum elite dan rakyat biasa. Gejala itu nampaknya sudah kita temui akhir-akhir ini. Jika melihat pola hidup para elite negeri ini, tentu yang terbayang di benak kita adalah citra kemewahan yang sangat serta gaya hidup yang lebih mementingkan ”libido duniawi”.
Kita sangat berharap krisis yang demikian ini tidak berkelanjutan. Ia harus kita amputasi. Meminjam bahasa KH. A Musthofa Bisri, agar kita selamat hidup di dunia ini nampaknya bagi manusia seperti kita terlalu muluk untuk diajak mempraktikkan hidup zuhud. Manusia sekarang ini, bisa hidup sederhana saja sudah sangat luar biasa. Dan Shalawat Nariyah kita jadikan sebagai alas utama sekaligus tonggak awal bagi kita semua untuk bertekad menuju kehiduan yang lebih baik, yang lebih sederhana, dan lebih optimis menatap masa depan.
Alakullihal, menarik merenungkan surat yang dikirim oleh KHR Cholil As’ad Syamsul Arifin dari Sitibondo kepada PBNU beberapa tempo lalu. Dalam surat panjang tersebut Kiai Kharismatik tersebut menulis seperti ini dan kutipan ini sangat menarik perhatian penulis:
“Sungguh Al-Faqir merasa sangat antusias ketika mengetahui bahwa PBNU telah mengistruksikan pembacaan 1 Miliar Saolawat Nariyah secara serentak. Al-Faqir ikut berdoa semoga kegiatan dimaksud, selain diterima oleh Allah SWT juga bisa menjadi salah satu solusi bagi persoalan yang menimpa kita, warga NU dan Indonesia secara keseluruhan.
Bukan tanpa alasan kalau Al-Faqir merasa antusias dan ikut bergembira. Sejak belasan tahun silam, Guru Al-Faqir, Alm. Kyai Ahmad Sufyan, sudah mencita-citakan bahwa Sholawat Nariyah bisa merata secara nasional dan, yang paling penting, dilakukan dengan penuh kesungguhan. Sekalipun, katakanlah, belum benar-benar mencicipi manisnya bershalawat.”
Surat tersebut dikirim langsung oleh putra almarhum KHR As’ad Syamsul Arifin dalam rangka merespon positif program pembacaan Shalawat Nariyah sebanyak 1 Miliar yang diselenggarakan sebagai rangkaian peringatan Hari Santri tahun 2016. Pembacaan Shlawat Nariyah tersebut akan dilaksanakan serentak dari Sabang sampai Merauke pada tanggal 21 Oktober mendatang.
Selamat memabaca Shalawat Nariyah dan semoga kiat diberi kekuatan dan keberkahan yang melimpah. Wallahu a’lam bis showab
H A Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)