Tak bisa ditampik bahwa imajinasi merupakan dasar penting dari ideologi politik sebuah kelompok politik dan masyarakat bangsa pada umumnya. Sebagaimana ditulis Yasraf Amir Piliang dalam Transpolitika, Dinamika Politik di dalam Era Virtualitas (2005), imajinasi memiliki peran sentral di dalam sebuah masyarakat bangsa, karena melalui imajinasi sebuah kelompok politik atau masyarakat pada umumnya dapat melukiskan gambaran tentang dirinya.
Pun, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sebagai produk sebuah kesadaran kolektif, ia melintasi imajinasi zamannya. Ben Anderson, Sumpah Pemuda merupakan kesepakatan penting dalam perjuangan ke arah pembentukan Indonesia yang—setidaknya sampai masa Proklamasi 17 Agustus 1945—masih merupakan "imagined community", komunitas yang diimajinasikan atau dibayangkan.<>
Sumpah Pemuda memang telah berusia renta (80 tahun), namun gema nyaringnya terus berdentang dan mendentangkan imajinasi sebagian generasi masa kini. Dikatakan sebagian, karena memang tidak semua. Sebagian memeringatinya sebagai hari besar nasional yang sarat sejarah heroisme, sekaligus juga menangkap dan meneguhkan semangat yang dikandung sejarah itu. Sebagian yang lain hanya menjadikan peringatan itu sebagai romantisme sejarah tanpa greget penjiwaan. Sementara, yang lain apatis terhadap tanggal peringatan tersebut, apalagi menjadikannya spirit kebangsaan.
Begitulah kenyataan bangsa kita dalam menyambut hari-hari besar nasionalnya, termasuk Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober. Sebagian menyadari tanggung jawab estafet perjuangan para pendahulunya. Namun, sebagian yang lain dengan mudah dan tanpa merasa berdosa melupakan begitu saja perjuangan besar para pendahulunya yang melahirkan bangsa ini.
Aset bangsa dalam sejarah 28 Oktober, terdapat satu entitas yang tidak bisa diabaikan, yaitu pemuda. Tak bisa dipungkiri bahwa pemuda merupakan aktor sentral dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Di belahan bumi mana pun, pemuda selalu tampil di garda terdepan dalam melakukan perubahan-perubahan besar. Ini karena pemuda memiliki unsur-unsur kekuatan yang melekat dalam diri mereka, yaitu idealisme, kecerdasan, sikap kritis, kepekaan sosial, serta keberanian dan pengorbanan.
Karena itu, pelecehan dan penyia-nyiaan terhadap pemuda merupakan tindakan kontraproduktif yang hanya akan meruntuhkan masa depan bangsa ini sendiri. Pemuda mesti diberi ruang yang luas untuk melakukan kiprah besar. Pembaca tentu tak asing dengan iklan sebuah produk rokok: ‘Yang Muda yang Tidak Dipercaya’. Iklan itu, kalau kita mau merenungkan secara sadar, senyatanya merupakan sindiran bagi para tua negeri ini yang tidak menaruh kepercayaan terhadap para pemuda. Padahal, ketidakpercayaan bahkan pembungkaman terhadap suara pemuda adalah bumerang yang akan mematikan bangsa.
Pemuda adalah aset bangsa. Untuk itu, perhatian kepadanya tidak boleh setengah-setengah. Para tua harus bisa menjadikan pemuda berkarakter dan berintegritas tinggi. Caranya, dengan memberikan kesempatan pendidikan yang murah, baik dan berkualitas, sehingga ia menjadi manusia dewasa yang berkarakter, sehat jasmani dan rohani. Pemuda mesti dibiasakan dengan beragam tanggung jawab sosial kebangsaan.
Diakui bahwa peran dan fungsi pemuda sekarang berada pada fase ujian berat, fase kritis untuk tetap tampil menjadi tulang punggung bangsa dalam mengawal gerak reformasi. Pasalnya, posisi pemuda masih kurang dipercaya publik ketika masuk dalam jaringan resmi penyelenggaraan negara.
Selain itu, yang tak kalah penting, adalah keteladanan dari generasi tua. Keteladanan amat penting dalam rangkaian melahirkan generasi muda yang bersih, suci dan berdedikasi. Para tua hendaknya segera mengakhiri perilaku buruk yang dipertontonkannya, semisal, korupsi, kolusi, nepotisme, dan kemaruk kekuasaan. Sebab, apa yang dilakukan generasi tua biasanya akan mudah ditiru generasi muda. Jika terus demikian, jangan harap bangsa ini baik dan maju.
Jilid II ada pertanyaan yang bergulir kemudian. Pertama, bagaimana semangat Sumpah Pemuda 1928 direaktualisasi dalam format mengisi kemerdekaan? Kedua, bagaimana eksistensi idealisme pemuda bertahan dalam peran fungsinya mendukung penyelenggaraan negara yang bersih?
Dapat dijelaskan bahwa peran fungsi pemuda dirasakan semakin terdegradasi, mereka ditengarai ditumpangi banyak "ide pragmatisme". Di sini, eksistensi peran fungsi pemuda terlihat sangat rapuh untuk berhadapan dengan sistem politik negara yang korup, mereka terperangkap untuk mengusung isu-isu yang tidak populer dan kemudian cenderung memperkuat sistem korup yang berlangsung.
Banyak hal yang menunjuk ke arah itu. Pemuda masuk dalam organisasi politik, birokrasi negara dan dunia usaha justru larut dalam praktik korup, tidak berdaya berhadapan arus KKN yang serba canggih. Idealisme mereka luntur dalam badai realisme dan pragmatisme. Organisasi pemuda tak lebih dari sekadar jembatan politik bagi pemuda untuk masuk dalam jaringan elite penyelenggaraan negara.
Di sinilah sebetulnya tantangan berat bagi pemuda. Mampukah ia merancang platform perjuangan yang sama nyalanya dengan Sumpah Pemuda dalam rangka mengenyahkan penjajahan baru, yaitu, KKN, ketidakadilan, dan praktik kesewenang-wenangan penguasa.
Di samping keadan negara yang memang terpuruk, semangat kaum muda sekarang tak tampak menguat, justru kian mengendur akibat rapuhnya bangunan persatuan dan kesatuan mereka. Situasi pemuda sekarang tak dipungkiri jauh berbeda dengan masa 1928 atau masa peruntuhan rezim Orde Baru (sebagai masa yang terdekat).
Mahasiswa sebagai representasi kaum muda sekarang masih dalam posisi tanda tanya. Pada elemen-elemen gerakan terlihat jelas terjadi pengotak-kotakan. Mereka sibuk dengan perebutan kekuasaan di kampus. Gerakan mereka pun telah ternodai partai politik yang sarat kepentingan. Selain itu, banyak dari mereka yang apatis ketimbang yang peduli dengan realitas sosial.
Dalam kondisi ini, harapan munculnya suara kritis kaum muda yang dulu kuat menentang kebijakan pemerintah yang antirakyat semakin melemah. Mahasiswa yang katanya agen perubahan–karena terberai—akhirnya juga "impoten" ketika melawan arogansi dan oportunitas pejabat dan penguasa yang melupakan kesejahteraan masyarakatnya.
Untuk itu, loyalitas dan dedikasi posisi pemuda harus tetap berdiri tegak di atas nilai kebenaran dan keadilan. Karena, apa pun alasannya, fenomena kepemudaan kini relatif "termaterialisasi" di berbagai arena penyelenggaraan negara. Akibatnya, pemuda menjadi mandul tak berdaya dalam arus politik kapitalisme.
Saatnya para pemuda bangun dan sadar dari tidur panjangnya, kemudian merapatkan barisan untuk menyuarakan Sumpah Pemuda Jilid Dua: Berbangsa satu, bangsa yang berkeadilan; Berbahasa satu, bahasa kebenaran; dan Ber-Tanah Air satu, Tanah Air tanpa pemiskinan.
Penulis adalah Sekretaris Forum Kajian Lereng Merapi, Yogyakarta