Rabu 27 November 2024, pesta demokrasi kembali digelar. Usai pemilihan umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden, kini masyarakat Indonesia memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang digelar secara serentak di 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.
Semarak Pilkada sudah mulai kita rasakan dari jauh hari, baik di lingkungan sekitar kita, terdapat banyak baliho, spanduk, dan alat peraga kampanye lainnya yang terpasang. Pun kemeriahan kegiatan kampanye terbuka, yang menghadirkan ribuan massa. Di ranah media sosial, keriuhan Pilkada juga tak kalah ramai. Masing-masing pasangan calon menebar pesona dengan berbagai gagasan dan janji manis, pun dengan pendukungnya yang saling adu komentar dan unggah konten di media sosial, meskipun sudah memasuki masa tenang.
Tentu, dinamika dan kemeriahan Pilkada tahun 2024 ini dapat kita lihat dari sisi positif, sebagai sebuah iklim yang baik dalam sistem demokrasi bangsa ini. Bagaimanapun, rakyat berhak memilih pemimpin mereka yang terbaik dengan cara yang demokratis. Oleh karena itu, Pilkada sebagai wahana aspirasi rakyat mesti dikawal kesuksesannya.
Menurut pengamatan penulis, dalam konteks Pilkada ini setidaknya ada tiga pilar penting yang dapat mendukung kesuksesan Pilkada yang menjunjung asas layaknya Pemilu, yakni prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tanpa mengecilkan peran dari berbagai pihak lain, apabila tiga pilar ini menerapkan prinsip-prinsip tersebut, niscaya Pilkada akan berjalan sukses tanpa ada kecurangan dan ketidakadilan.
Penyelenggara yang Berintegritas
Pilar pertama yakni penyelenggara pemilu maupun pilkada, yang menjadi elemen penting dalam kesuksesan pelaksanaan pemilu maupun pilkada. Di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, penyelengaraan Pemilu dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Masing-masing lembaga tersebut memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan tersendiri, di sisi lain terdapat peran saling mengimbangi di antara ketiganya.
Ketiganya merupakan satu kesatuan fungsi yang bertugas menyelenggarakan seluruh jenis Pemilu, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres); pemilihan anggota legislatif (pileg), meliputi anggota Dewan Perwakilan Rayat (DPR), anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan Kabupaten/Kota; dan pemilihan kepala daerah (pilkada).
Penyelenggara pemilu dituntut untuk selalu menjaga integritas, di tengah jalannya tahapan pemilu maupun pilkada. Sebab, integritas yang dipegang teguh oleh para penyelenggara pemilu, menjadi salah satu penentu demokrasi dapat berjalan dengan baik.
Begitu pentingnya peran penyelenggara ini, jangan sampai justru menjadi perusak demokrasi. Seperti yang pernah dikatakan Mahbub Djunaidi : "Demokrasi itu bisa dibunuh di dalam lembaga demokrasi oleh para demokrat dengan cara-cara yang demokratis."
Paslon yang Jujur
Pilar kedua yakni para pasangan calon (paslon) yang diusung dari partai politik maupun independen, yakni mereka yang akan ikut berkontestasi dalam pilkada. Sudah menjadi rahasia umum, bila di Indonesia para kontestan pilkada, selain adu gagasan, adapula yang tidak pede dengan elektabilitas mereka, dan kemudian memberikan sejumlah uang (serangan fajar) ataupun bantuan kepada masyarakat, dan berharap dengan pemberian tersebut masyarakat mau memilih mereka.
Tentu ini menjadi persoalan yang cukup pelik. Sebab, ditinjau dari segi agama maupun hukum negara, praktik semacam ini tidak diperbolehkan. Praktik ini mencederai demokrasi. Tak bisa dipungkiri, politik uang mendistorsi proses demokrasi dengan menggantikan pilihan rasional pemilih dengan imbalan materi. Suara rakyat tidak lagi didasarkan pada visi dan misi calon pemimpin, melainkan pada jumlah uang yang mereka berikan.
Maka, seorang paslon yang jujur dan memiliki gagasan dan visi yang jelas, semestinya tidak akan tergiur dengan praktik semacam ini. Ia bisa mengoptimalkan gagasan dan kampanye baik dengan cara turun langsung ke masyarakat maupun di media sosial dengan cara yang menarik. Masyarakat, tentu akan dapat menilai, mana para pemimpin yang memiliki visi dan gagasan yang jelas, tidak hanya sekadar janji belaka.
Pemilih yang Cerdas
Sebagai pilar terakhir, yang tidak kalah penting, yakni para pemilih, yakni rakyat yang memiliki suara untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Para pemilih yang cerdas, objektif dalam memilih mana calon pemimpin mereka. Tidak akan mudah tergiur dengan bujukan uang ataupun sembako. Selama masyarakat masih memaklumi adanya politik uang, pemimpin atau wakil rakyat yang korup akan terus ada.
Maka, kesadaran politik dari masyarakat ini menjadi sebuah hal yang sangat penting. Meminjam dari Paulo Freire, perlu dibangun kesadaran kritis. Kesadaran kritis adalah kemampuan seseorang untuk merefleksikan keadaan dirinya, menyadari masalah, dan mencari solusi untuk memperjuangkan gagasannya.
Pada akhirnya, tiga pilar ini akan sangat menentukan kesuksesan pilkada. Apakah kamu saat ini menjadi penyelenggara, pihak yang ikut berkontestasi, atau masyarakat yang memiliki hak pilih? Di tanganmu lah terdapat kunci kesuksesan pilkada. Atau sebaliknya justru kita yang menjadi perusak demokrasi seperti yang dikatakan oleh Mahbub? Saat inilah pembuktiannya.
Ajie Najmuddin, anggota PPK Banyudono Boyolali