Oleh: Fariz Alniezar
Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama (NU) telah usai. Muktamar yang dihelat di Jombang “kampung halaman” NU ini sesungguhnya memiliki tema yang sangat menarik sekaligus memancing polemik. Tema panjang “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, sungguh telah menguras energi para akademisi, praktisi, dan bahkan<> pengamat serta pemerhati untuk mendudukkan secara epistemik apa sesunguhnya yang dimaksud dengan terminologi Islam Nusantara itu sendiri.
Terlepas dari perdebatan yang demikian hidup dan diskursif bahkan polemis tersebut, saya pribadi cenderung memilih untuk mengambil kesimpulan yang simpel dan tidak njlimet saja. Bagi saya Islam Nusantara adalah ekspresi keberislaman model masyarakat Nusantara. Itu saja tidak lebih.
Dengan kesimpulan yang saya dekapi tersebut, saya kemudian teringat Budayawan Radhar Panca Dahana dalam sebuah forum Orasi Ilmiah di STAINU Jakarta pada awal Mei yang lalu. Poin yang disampaikan Radhar yang berhasil saya catat dalam orasi Ilmiah Bertajuk “Kita adalah Islam Nusantara” tersebut bahwa Islam Nusantara adalah Islam bahari, yakni cara dan ekspresi kebaragamaan yang bertumpu pada kultur dan kebudayaan masyarakat pesisiran.
Kodrat Nusantara yang luas wilayahnya didominasi oleh lautan membuat kita menahbiskan diri menjadi negara maritim. Negara maritim, meminjam sejarawan Andrian B Lapian (2003) bukanlah negara yang terdiri dari gugusan pulau-pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke sebagaimana yang kita pahami selama ini. Sebaliknya negara maritim adalah negara yang luas wilayahnya berupa lautan yang ditaburi pulau-pulau. Perbedaan dua konbsepsi dan definisi tentang negara maritim ini sangat jelas, pada definisi pertama kedasaran utama yang ditanamkan adalah kesadaran daratan (pulau), sementara pada konsepsi kedua kesadaran utama dan yang terpenting yang ditekankan adalah kedasaran akan laut.
Kesadaran akan konsepsi bahwa Indonesia adalah negara maritim tersebut sangat penting untuk diutarakan demi membangunkan alam kesadaran kolektif bahwa kita adalah bangsa maritim yang hidup serta mewarisi kebudayaaan maritim. Salah satunya adalah cara beragama ala masyarakat maritim. Dalam catatan Nur Syam (2007) ekspresi kebaragamaan orang-orang maritim (pesisir) adalah ekspresi keberagamaan yang mengedepankan sikap dan watak keterbukaan sekaligus kesetaraan.
Dengan kenyataan seperti itu sesungguhnya salah satu pertanyaan penting yang patut diajukan kepada NU ihwal tema Islam Nusantara pada muktamar ke-33 mendatang adalah bagaimana visi serta komitmen pada persoalan kemaritiman selama ini atau bahkan untuk yang akan datang?.
Dari sekian banyak lembaga, lajnah, dan juga badan otonom NU sampai saat ini belum ditemukan sebuah lembaga khusus yang bertugas untuk menjadi kepanjangan tangan PBNU guna mengurus persoalan kemaritiman. Keadaan ini sungguh sangat patut disayangkan, sebab kita tahu bahwa selain NU terlahir di Surabaya yang merupakan basis masyarakat pesisir yang memiliki kultur maritim yang sangat kuat, warga serta basis masyarakat Nahdliyyin adalah mereka yang berprofesi sebagai nelayan yang hidup di sepanjang pantai utara pulau Jawa.
Dulu Gus Dur, sang begawan NU, saat menjadi Presiden berhasil membentuk departemen kelautan, yang kemudian hari tercatat sebagai warisan kesadaran yang luar biasa dalam kabinet-kabinet pemerintahan selanjutnya. Bahkan Mahbub Djunaedi (1996), Budayawan dan pendekar pena NU, sangat getol mengampanyekan kesadaran bahari, bahkan sejak tahun 1980-an. Dalam sebuah tulisannya ia menasehati anaknya agar mau untuk bercita-cita menjadi seorang bahariawan.
Persoalnnya mengapa NU alpa membentuk sebuah lembaga yang bertugas khusus untuk menangani persoalan kemaritiman? Jika menggunakan logika perbandingan mestinya NU saat ini sudah memiliki lembaga kemaritiman yang sebagaian tugasnya mengadvokasi dan melayani para nelayan, sebab di pihak lain NU saat ini telah memiliki lembaga pengembangan pertanian yang salah satu tugas dominannya adalah mengadvokasi dan juga mengawal hak-hak para petani.
Dalam pada itu, merujuk data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006 menyebutkan, ada sekitar 6,2 juta penduduk Indonesia terlibat dalam kegiatan perikanan. Sementara menurut data BPS berdasar data sensus Pertanian 2013 jumlah nelayan Indonesia hanya mencapai 1,6 juta rumah tangga. Pada kurun waktu enam tahun tersebut profesi nelayan mengalami penurunan yang cukup signifikan, padahal laut adalah basis utama perekonomian negara maritim seperti Indonesia ini. Keadaan yang sungguh patut untuk disayangkan.
Visi kemaritiman NU menjadi sangat penting untuk dikemukakan mengingat momentum muktamar ke-33 yang menjadikan Islam Nusantara sebagai tema dan narasi besarnya. Sebab kesadaran Islam Nusantara, sebagaimana dikatakan Radhar Panca Dahana di atas, adalah kesadaran yang meneguhkan dominasi pola pikir maritim dan kelautan di atas pola pikir daratan atau kontinental.
Memaknai visi kemaritiman bukan hanya terbatas persoalan nelayan semata, ada wilayah yang lebih luas yang selama ini nampaknya belum tersentuh dan luput dari perhatian NU. Visi kemaritiman bisa dimaknai minimal membantu Indonesia untuk bangkit sebagai negara maritim yang berkemauan keras mengembangkan ilmu-ilmu kelautan, mendorong dan memfasilitasi warga negara agar tertarik menjadi, meminjam istilah Mahbub Djunaedi, bahariawan.
Dengan visi kemaritiman yang luas dan mendalam tersebut kita tidak akan terjebak pada dangkalnya pemahaman akan kemaritiman sebagaimana yang sampai saat ini terjadi dan sedang kita alami. Sebab sebagaimana yang sedang berlangsung saat ini kemaritiman dimaknai hanya sebatas ribut-ribut soal tata niaga kapal penangkap ikan. Sambil tidak bisa maksimal menangkapi ikan di laut sendiri, yang kita lakukan kemudian hanyalah mengejar dan menangkap kapal-kapal asing pencuri ikan di lautan Indonesia. Lalu merampas hasil tangkapannya.
NU memiliki momentum dan peluang yang sangat besar untuk ikut ambil bagian membangun kesadaran maritim negara ini. Oleh karenanya, kemaritiman harus menjadi salah satu visi utama kepengurusan PBNU mendatang. Wallahu a’lam bishowab
* Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia dan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta