Hal tersebut memang wajar, selain manusiawi, ketakutan dan kegetiran ini merupakan piranti lunak yang telah disiapkan oleh Allah SWT seperti dalam penggalan ayat: Wa lanabluwannakum bi syai-in minal khaufi wal-juu’i. Ketakutan dan kelaparan merupakan cobaan bagi manusia.
Secara kontekstual, cobaan tersebut lahir untuk mengokohkan eksistensi dan keberlangsungan manusia sebagai salah satu spesies di muka bumi yang berperan sebagai khalifah. Tanpa piranti lunak ini, proses evolusi mental manusia akan berjalan lembek. Jika Al-Qur’an menggunakan terma “begembiralah orang-orang yang sabar”, pada tataran teknis alamiah hal ini berarti, hanya manusia yang kuat mental dan fisik akan terus bertahan dan melanjutkan keberlangsungan spesiesnya di bumi ini.
Dampak Moral Maut Hitam
Orang-orang bukan takut oleh wabah, mereka benar-benar menakuti kematian. Sangat kontradiktif dengan ajaran yang selama ini mereka terima dari para agamawan yang sering membuat penghiburan kepada orang-orang bahwa kematian pertanda baik tentang awal keabadian. Hanya dengan berpartisipasi dalam keyakinan lah, orang-orang seolah dipaksa pasrah terhadap penularan bakteri yersinia pestis. Orang-orang mengharapkan masuk ke dalam sorga-Nya namun selalu berpikir ulang untuk meninggalkan dunia sesegera mungkin.
Orang-orang sangat menggantungkan diri kepada mukzijat dan keajaiban dari langit agar maut hitam segera sirna. Orang-orang yang terkena wabah dikumpulkan di dalam rumah-rumah ibadah. Mereka yang tidak mau mengikuti aturan ini akan ditangkap dan lalu dimasukkan ke dalam rumah ibadah, dipaksa menjalankan kebajikan Kristen sebagai bentuk pertobatan sebelum mereka dijemput kematian.
Sejumlah pertanyaan –sangat dilematis mucul dalam pikiran orang-orang Islam– ada apa dengan peristiwa ini, kerajaan Islam dihancurkan oleh bangsa barbar dan pagan? Bukankah Islam sebagai agama sempurna yang akan terus mengalami kegemilangan dari tahun ke tahun? Kenapa harus dikalahkan oleh bangsa pagan? Kenapa kerajaan Islam dikalahkan oleh bangsa buta huruf dan bengis, ribuah karya ulama yang kelak akan menjadi warisan tertinggi di bidang ilmu pengetahuan dihancurkan oleh mereka orang-orang bebal itu?
Bayangkan, diri kita tiba-tiba memasuki lorong waktu lalu terdampar di dua masa itu secara berurutan, pada saat penyerangan pasukan Mongol, kita bertindak sebagai penduduk Baghdad, selanjutnya terdampar di Avignon, wilayah selatan Prancis, mengalami langsung rangkaian peristiwa maut hitam, kita bertindak sebagai seorang penganut Kristen saat itu. Ketakutan akan menjalari diri kita, mental kita benar-benar jatuh ke titik nadir paling rendah.
Pertanyaan muncul dalam diri kita: kenapa umat Islam sebagai umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia ini dikalahkan oleh umat lain yang belum mengenal Tuhan? Pada fase selanjutnya muncul kembali pertanyaan, saat kita di Eropa, kenapa maut hitam menyerang kami, bukankah sebagai penganut Kristen yang saleh telah dijamin akan selamat dari ancaman dan marabahaya. Bukankah orang-orang akan diselamatkan karena keimanannya kepada Tuhan, seperti disebutkan dalam Perjanjian Baru: Abraham juga disebut selamat karena iman bukan perbuatannya (Roma 4:13).
Bagi umat Kristen, mereka meyakini maut hitam sebagai jalan untuk menyucikan diri dari segala dosa yang pernah dilakukan. Cara-cara pertobatan dilakukan di setiap wilayah Eropa dari pusat kota sampai ke pelosok-pelosok, mereka bertekad untuk meninggalkan kejahatan sebagai penebusan atas kesalahan di masa lalu. Gereja-gereja dipenuhi oleh requim dan pujian-pujian kepada Tuhan sebagai bentuk rekonsiliasi mereka sebelum dipanggil menghadap-Nya. Tindakan ini dilakukan untuk menghukum diri mereka sendiri, hukuman karena dosa-dosa yang pernah mereka perbuat. Peristiwa ini mengingatkan kita kepada umat kristen di era Santo Siprianus saat diterjang wabah Siprian.
Mereka mengakui diri diliputi oleh kesalahan masa lalu; kemunafikan, ilusi, dan kefanatikan terhadap kebenaran seolah hanya dimiliki oleh kelompoknya saja. Kesalahan masa lalu membayangi pikiran mereka, pernah menodai kemuliaan, memutarbalikkan apa yang ilahi dengan yang duniawi untuk merogoh tujuan yang tidak suci, Kekuatan ordo gerejawi saat maut hitam semakin menggila menjadi panutan mayoritas manusia. Semangat aksi penebusan dosa terjadi di Bumi Eropa. Semua telah kehilangan cara dan bagaimana seharusnya mereka menyikapi penularan bakteri, bukan hanya oleh rafalan jampi, juga oleh cara yang lebih rasional.
Baca: Wabah yang Mengubah Peradaban Manusia (Bagian 6)
Kota-Kota dengan Ratapan dan Linangan Air Mata
Berbagai cara dilakukan untuk melawan wabah. Kelompok yang berlindung di bawah naungan ordo pembawa salib ini kerap melakukan prosesi arak-arakan sambil bernyanyi, pandangan tertuju ke tanah, disertai dengan sikap menunjukkan rasa sesal dan duka mendalam. Atribut-atribut yang digunakan selama prosesi ini yaitu pakaian muram, salib berwarna merah disimpan di dada atau punggung. Prosesi ini disaksikan oleh orang-orang.
Ada kemiripan peristiwa semacam ini ketika dunia seolah diliputi oleh kepedihan, terjadi satu abad setelah maut hitam melanda Eropa. Ribuan Muslim dipaksa meninggalkan Andalusia, Cordoba, dan Toledo oleh penguasa Castillia dan Aragon dengan perasaan dipenuhi oleh rasa haru. Tahun 1492 M, merupakan fase awal negara-negara Eropa akan memasuki era renaissance, bagi dunia Islam, abad tersebut merupakan saat kepiluan dan kesedihan, Islam telah keluar dari Spanyol setelah selama satu abad lamanya menorehkan noktak emas peradaban di negara tersebut. Sesaat sebelum meninggalkan Granada, Sultan Muhammad XII membalikan tubuh menatap kota dengan linangan air mata sebagai salam perpisahan terhadap kota tersebut.
Cikal Bakal Sekularisme dan Feodalisme
Maut hitam merupakan malaikat pencabut nyawa bagi Eropa, populasi menurun, bangunan-bangunan dan tanah-tanah yang ditinggal mati oleh pemiliknya diambil alih oleh siapa saja yang pertama kali mengklain kepemilihan lahan. Orang-orang yang selamat dari maut hitam tiba-tiba tampil sebagai pemilik lahan luas, mengaku dirinya sebagai pemilik sah atas lahan dan bangunan, melahirkan orang-orang kaya baru (OKB). Sering kali orang-orang kaya baru tersebut dulu berasal dari kelompok menangah bawah namun selamat dari wabah. Kepemilikan lahan berhektar-hektar oleh orang-orang kaya baru di Eropa ini melahirkan tatanan baru: feodalisme.