Komisi X DPR: Pembelajaran Tatap Muka di Sekolah Tidak Boleh Ada Paksaan
Selasa, 9 Maret 2021 | 13:30 WIB
Jakarta, NU Online
Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Syaiful Huda menekankan satu catatan penting jika rencana pembelajaran tatap muka di sekolah dilaksanakan pada Juli mendatang. Ia menegaskan, tidak boleh ada unsur paksaan untuk sekolah membuka pembelajaran tatap muka.
“Satu hal yang menjadi catatan penting adalah bahwa orang tua punya hak untuk tidak menyekolahkan anaknya dan sekolah harus tetap melaksanakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Itu skemanya memang begitu. Sifatnya tidak boleh ada paksaan,” ungkap Syaiful, dikutip NU Online dari Kompas TV pada Selasa (9/3).
Karena tidak boleh ada paksaan, Huda menekankan agar kebijakan pembelajaran tatap muka di sekolah itu dikembalikan pada kesanggupan dinas terkait dan satuan pendidikan di daerah untuk mengambil langkah inisiatif.
“Tapi sekali lagi, anak-anak memang secara psikologis sudah bermasalah karena tidak lagi mendapatkan suasana sekolah. Saya ingin pada poin itu, karena sudah hampir satu tahun setengah sekolah tidak membuka pembelajaran tatap muka,” ujar Politisi Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) ini.
“Saya ingin mengambil satu poin bahwa memang anak-anak butuh mendapatkan suasana sekolah. Saya menyebutnya siswa kembali sekolah, walaupun seminggu sekali. Nggak ada masalah. Sekalipun risikonya masih besar, tapi itu hanya untuk sekolah yang sudah siap,” ujar Syaiful.
Hal tersebut diungkapkan Syaiful juga lantaran positivity rate di Indonesia masih belum memenuhi standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Jika ingin membuka pembelajaran tatap muka di sekolah, WHO menganjurkan agar lebih baik positivity rate berada di bawah angka lima persen.
Namun, berdasarkan penjelasan Presiden Joko Widodo tentang perkembangan penanganan Covid-19 di Indonesia pada Kamis (4/3) lalu, positivity rate di Indonesia masih berada di angka 18,6 persen per 2 Maret 2021. Angka tersebut mengalami penurunan sejak akhir Januari 2021 yang positivity rate di Indonesia mencapai angka 36,19 persen.
Menanggapi angka positivity rate di Indonesia yang masih jauh dari standar WHO untuk membuka pembelajaran tatap muka di sekolah itu, Syaiful menyatakan bahwa kebijakan tersebut harus kembali diserahkan pada kesiapan seluruh sekolah.
“Mau tidak mau (tatap muka di sekolah) harus dikerjasamakan atau disinergikan juga dengan Satgas Covid-19 di daerah masing-masing. Termasuk opsi atau skema setengah hari atau tidak harus itu. Karena salah satu semangatnya adalah supaya anak-anak kita tidak kehilangan suasana sekolah,” ungkap Syaiful.
Karena itu, menurut Syaiful, pembelajaran tatap muka di sekolah hampir bisa dipastikan tidak bisa dilakukan secara serentak. Sebab di dalam SKB 3 Menteri tentang Pembelajaran Tatap Muka, pemerintah daerah diberikan kewenangan soal siap atau tidaknya membuka sekolah.
“Jadi hampir pasti tidak ada logika keserentakan. Di dalam SKB 3 Menteri itu memang diatur sepenuhnya siap tidaknya tergantung kewenangan daerah, dalam hal ini kabupaten/kota,” ujar Syaiful.
Tak hanya itu, pemerintah daerah juga harus berkoordinasi dengan sangat efektif untuk memastikan kesiapan sekolah dan persetujuan orang tua atau wali murid. Syaiful meyakini bahwa tingkat antisipasi dan kehati-hatian, baik sekolah maupun orang tua, sudah sangat teruji.
“Karena itu, ketika Januari kemarin pemerintah menargetkan dibuka (pembelajaran tatap muka di sekolah pada Juli mendatang), tapi faktanya dengan kearifan masing-masing daerah, akhirnya mengambil opsi untuk tidak membuka sekolah tatap muka,” pungkas Syaiful.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad