Solo, NU Online
Menjelang Isya’, puluhan anak putri berjejer antri, mereka menunggu dengan sabar datangnya giliran membaca. Begitu tiba giliran mereka, lantunan ayat suci Al-Qur’an keluar dari mulut mereka dengan indahnya.
<>
Begitulah, salah satu rutinitas yang dijalani santri-santri Pondok Pesantren Tahfidz Wa Ta’limil Qur’an (PPTQ) Masjid Agung Surakarta.
Pesantren yang didirikan KH Umar Sahid pada tahun 1983, menjadi salah satu tujuan penting para santri penghafal Al-Qur’an di Solo dan sekitarnya. Dahulunya pondok ini didirikan oleh Kiai Umar, dengan dasar ketika beliau berkunjung ke luar daerah, banyak imam masjid yang tidak fasih bacaannya.
Di belakang masjid Agung, kebetulan juga terdapat lembaga Pendidikan Guru Agama (PGA), yang sekarang menjadi MAN 2 Surakarta, yang notabene siswanya berasal dari daerah-daerah.
Maka muncullah ide untuk mendirikan pondok pesantren Al-Qur’an, yang tujuannya untuk membina secara intensif, mengkaji, membaca, dan menghafalkan sesuai tajwid para siswa PGA tersebut. Harapannya setelah kembali ke daerah masing-masing sudah berbekal ilmu Al-qur’an dan ilmu pengetahuan.
Awalnya santri yang mengaji di PPTQ masjid Agung masih santri kalong, yang berasal dari sekitar pesantren. Pada tahun ketiga, pihak pengurus mulai merintis format pondok yang bertahan dan berkembang sampai sekarang. Para guru pun mulai didatangkan, diantaranya KH Muthohar Al-Hafidz, KH. Moh. Dasuki, TA, KH Muh. Ishom, dan Kiai Sofyan.
Keberadaan pondok tersebut, pada awalnya juga sempat muncul pertentangan antara beberapa tokoh. Namun, seiring berjalannya waktu, kiprah para santri yang mulai nampak di masyarakat, membuat PPTQ Masjid Agung Surakarta menjadi semakin diperhitungkan.
“Santri-santri yang hafidz banyak dibutuhkan masyarakat, sehingga beberapa tokoh yang semula menentang kemudian menjadi sadar akan pendirian pondok,” ujar salah satu pengajar pondok, Muh Muhtarom, ketika ditemui NU Online di kediamannya beberapa waktu lalu (9/2).
Dan memang, hingga saat ini pondok yang diasuh KH Ibrahim Asfari ini masih tetap berdiri. Kiprah para santrinya juga semakin terlihat, mewarnai perkembangan dakwah di daerah Solo Raya. (Ajie Najmuddin)