Sueznya Abdurrahman Wahid
Oleh A. Mustofa Bisri
Kota Suez kota sepi
Kota Suez kota kering
Dengan angin suara kami beriring
Dendang membelah hati
<>Kau yang jauh dari kami
kota Suez beri gamitan padamu
Kami beri lagu untukmu
Lagu sunyi hati kami
Ode Buat Gus Dur
Oleh D. Zawawi Imron
I
Aku tak tahu, kata apa yang pantas kami ucapkan
untuk melepaskan, setelah engkau bulat
menjadi arwah
<>Setiap daun kering pasti terlepas dari tangkai
bersama takdir Tuhan
Untuk itu kami resapi Al-Ghazali
bahwa tak ada yang lebih baik
daripada yang telah ditakdirkan Allah
Karena itu kami rela
mesti tak sepenuhnya mengerti
karena yang terindah adalah rahasia
II
Bendera dinaikkan setengah tiang
Tapi angin seakan enggan menyentuhnya
apalagi mengibarkannya
Biarkan bendera itu merenung
menafakkuri kehilangan ini
yang bukan sekadar kepergian
Bendera itu diam-diam meneteskan juga
air mata, yang didahului tetesan embun di ujung daunan
Semua membisikkan doa
seperti yang kucapkan setelah kau dikuburkan
Bendera itu seperti tak punya alasan
untuk berkibar, seperti kami yang tak punya alasan
untuk meragukan cintamu
kepada buruh pencangkul yang tak punya tanah
atau kepada nelayan yang tidak kebagian ikan
Cintamu akan terus merayap
ke seluruh penjuru angin
dan tak mengenal kata selesai
III
Di antara kami ada yang mengenalmu
sebagai pemain akrobat yang piawai
sehingga kami kadang bersedih
dan yang lain tersenyum
Yang kadang terluput kulihat
adalah kelebat mutiara
yang membias sangat sebentar
Hanya gerimis dan sesekali hujan
yang menangisi momentum-momentum yang hilang
padahal kami tahu
momentum tak kan kembali
dan tidak akan pernah kembali
IV
Matahari besok akan terbit
mengembangkan senyummu
lalu dilanjutkan
oleh bibir bayi-bayi yang baru lahir
Merekalah nanti yang akan bangkit
membetulkan arah sejarah
Selamat jalan, Gus Dur!
Selamat berjumpa dengan orang-orang suci
Selamat berkumpul dengan para pahlawan
Karena engkau sendiri
memang pahlawan
Durrahman
Oleh Joko Pinurbo
Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.
Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”
Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.
Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.
(2010)
Karena Ayahku
Oleh Inayah Wahid
Kalau aku orang dermawan, itu karena ayahku yang mengajarkan
Kalau aku jadi orang toleran, itu karena ayahku yang menjadi panutan
Kalau aku jadi orang beriman, itu karena ayahku yang menjadi imam
Kalau aku jadi orang rendah hati, itu karena ayahku yang menginspirasi
Kalau aku jadi orang cinta kasih, itu karena ayahku memberi tanpa pamrih
Kalau aku bikin puisi, ini karena ayahku yang rendah hati
Tafakur Bagi Gus Dur
Oleh Adhi M Massardi
Pada Rabu terakhir di tahun yang ragu
Aku mendengar kabar dingin angin
Lalu orang-orang menyebut namamu
Dalam nyanyian yang tak mungkin
Tapi pada Kamis terakhir tahun yang penuh tangis
Seribu Malaikat berdzikir mengiringi langkahmu
Seribu Bidadari mengikatkan selendangnya pada teralis
Dan aku hanya bisa menggumam: “O, Guruku…”
Kebijakanmu adalah cermin kebajikanmu
Kebesaranmu adalah cermin kesabaranmu
Bahkan ketika angin tak lagi membawa pesan penyair
Kau tetap lebih suka menyapa orang-orang tersingkir
Bunga mekar di taman
Bunga gugur di taman
Engkau duduk di singgasana
Engkau pergi dari sana
O, alangkah lekasnya waktu
Tapi engkau pergi
Setelah meninggalkan api kecil di hati kami
Yang tak akan pernah mati
Dan kami akan terus melangkah
Mengikuti jejakmu
Agar Tanahair kami penuh berkah
Selamat Ulang Tahun ke 71, Gus
Oleh WS. Budi S.T.
Ketika orang-orang diam saja,
Engkau sudah berbicara,
Kala orang mulai berwacana,
Dikau telah berbuat nyata,
Dan saat orang ikut-ikutan,
Sampeyan berani pasang badan.
Hati nurani sampeyan begitu peka,
Pada setiap bentuk ketidakadilan,
Secara spontan sampeyan membela,
Dengan ikhlas penuh ketulusan.
Gus,
Andai sampeyan masih di Ciganjur,
Usia sampeyan tepat tujuh satu,
Kita bisa makan bareng tumpengan,
Dan Bu Sinta cium pipi kiri dan kanan.
Namun kini sampeyan sudah pindah,
Ke rumah asri Gusti Allah,
Apakah disana ulang tahun dirayakan?
Dan handai-taulan ramai berdatangan?
Gus,
Sedang apa sampeyan sekarang?
Duduk santai sambil sarungan?
Atau asyik berbincang-bincang?
Dengan proklamator dan para pahlawan?
Gus,
Tolong diskusikan masa depan negeri ini,
Dengan seluruh pahlawan negeri.
Sampaikan resep yang mujarab,
Agar para elitenya sadar bertobat,
Rakyatnya sehat berjiwa kuat,
Rohaniwannya ikhlas bermartabat.
Gus,
Sampaikan permohonan kepada Gusti,
Semoga anak-anak negeri ini,
Hidup lurus berbudi pekerti,
Bekerja keras setulus hati,
Rajin jujur dan mawas diri,
Giat belajar berjiwa besar,
Rukun harmonis penuh empati,
Tahu malu anti korupsi.
Semoga Kebajikan Tuhan merakhmati,
Shanzai,
Amen,
Sadhu-Sadhu-Sadhu,
Omitofo,
Rahayu-Rahayu-Rahayu,
Amiin, Amiin, ya Rabbal 'Aalamiin.
Jakarta, 04 Agustus 2011.
Lelucon Menjelang Kematian
Oleh Agus Noor
: Gus Dur
1/
Aku ingin mendengar leluconmu, sebelum mati. Engkau pun bercerita perihal kerbau.
Syahdan, seekor kerbau muncul di depan istana. Para penjaga heboh, dan segera melapor pada Presiden. “Apa yang harus kami lakukan?” tanya penjaga. “Jangan gegabah. Kita mesti hati-hati, pada apa yang belum kita mengerti,” jawab Presiden. “Pasti saya akan ambil keputusan, tapi nanti.”
Dan kau, juga aku, pada akhinya tahu: seorang penyair pernah mengatakan, hidup hanya menunda kekalahan. Maka, bagi Presiden itu, hidup hanya menunda keputusan.
2/
Maut, yang berdiri di sisi ranjang pun tertawa. Bahkan, menjelang mati pun kamu masih lucu. Lalu perlahan disentuhnya, ruhmu.
“Bukan kematian benar menusuk kalbu,” katamu, seperti pada bait puisi. “Tapi, bila boleh menawar, saya tak ingin mati hari ini. Sekarang 25 Desember, bukan? Hari yang ranum dan bahagia. Saya tak ingin siapa pun yang merayakan kelahiran Tuhan, berduka karna kematian saya.”
Maut terasa fana. Dalam mati pun, ada yang terasa lebih berharga.
Inilah puisi untuk Gus Dur yang dibacakan pada puncak perayaan Tahun Baru Imlek Nasional 2561 di Jakarta Convention Center, yang dihadiri oleh Presiden SBY, Sabtu (20/2).
Selamat Beristirahat Gus, Semoga Sampeyan Tidak Melupakan Kami
Gus, sudah 53 hari sampeyan pulang, ke rumah Gusti yang Maha Sempurna, Maha Hangat, Maha Murah Senyum, Maha Welas Asih, dan maha bijaksana...
Kami berharap Gus, semoga saja sampeyan kerasan, damai, nyaman, tenteram, dan bisa beristirahat dengan tenang ....
Sesungguhnya Gusti Allah sangat sayang sama penjenengan Gus. Beliau memantau terus kerja dan karya-karya sampeyan yang tulus, ikhlas, lurus, total dan tak pernah mau istirahat...
Meski diberi sakit, sampeyan tetap nekat jalan-jalan, menyapa kawan, menyambagi lawan, menjaga silaturrahmi, tanpa memandang pengkat dan golongan...
Meski diberi kegelapan pandangan, sampeyan juga tak mau diam dan duduk manis, tak lelah berkeliling negeri, membela yang tertindas, menguatkan yang lemah, tanpa pandang warna, tak peduli bendera...
Meski sering ditinggal sendirian, sampeyan juga tak pernah gentar, kalau yakin diri sampeyan benar, tetap tegar berdiri sendiri di depan, tak undur meski hanya selangkah, dengan tabah dan penuh keyakinan...
Sampeyan juga tak peduli ditelikung lawan dan kawan, tak ambil pusing dan dengan enteng sampeyan malah maju terus dan pasang badan, sambil sesekali berkata, gitu aja kok repot!
Gus, kini penjenengan dipaksa pulang ke rumah Gusti, beliau sangat sayang sama sampeyan, ingin sampeyan benar-benar istirahat melepaskan beban, sambil sesekali menemani Gusti minum kopi...
Selamat beristirahat Gus, temani Gusti yang Maha Bijak, agar beliau senang, setidaknya masih ada orang Indonesia yang sebaik sampeyan...
Namun Gus, sesekali bujuk beliau agar mau menolong Indonesia, agar negara kita dapat maju dengan perkasa, elitnya sadar mana yang inti dan mana yang variasi, serius dan kompak bekerja demi negara, meninggalkan
remeh-temeh tiada guna, fokus pada solusi dan kerja nyata...
Gus, sembuhkan juga rabun hati yang menimpa sebagian anak bangsa, yang tak bisa membedakan mana milik pribadi dan mana milik bersama, sehingga korupsi nanti tinggal cerita di buku-buku sejarah lama...
Oya Gus, kalau Gusti mulai bosan, mengkel dan marah melihat ulah para elit kita, tolong sampeyan hibur dengan guyonan maha dahsyat, agar Gusti terpingkal-pingkal, luluh hati dan mau mengampuni dosa-dosa
kita...
Gus, Selamat beristirahat, kini saatnya sampeyan hidup sejahtera, di samping Gusti junjungan kita.