Pustaka

Al-Quran sebagai Fundamen Toleransi

Ahad, 27 April 2008 | 23:00 WIB

Judul buku: Al-Quran, Kitab Toleransi; Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme
Penulis: Zuhairi Misrawi
Pengantar: Abdurrahman Wahid & A. Syafi'i Ma'arif
Penerbit: Fitrah Jakarta
Cetakan: 1, 2008
Tebal: xxxiii + 526 halaman
Peresensi: Muhammadun A.S.

Hubungan antaragama dalam dua dekade tarakhir, khususnya pasca Tragedi 11 September 2001, masih dicekam berbagai tragedi berdarah yang terus melayangkan nyawa manusia tak berdosa. Tragedi demi tragedi terus menyeruak di belahan dunia. Timur Tengah menjadi saksi bisu betapa darah terus mengalir di tengah konflik horisontal antarsaudara sendiri. Eropa juga ketir-ketir dengan hantu tragedi bom bunuh diri yang bisa datang sewaku-waktu. Sementara, di Asia, konflik berdarah juga tak kunjung berakhir. Indonesia juga tak lepas. Tragedi Situbondo, Poso, Maluku, dan kerusuhan medio Mei 1998 adalah saksi bahwa persaudaraan sejati hanya isapan jempol.<>

Seorang pemikir muda galau dan risau dengan kondisi tersebut. Karena bekal pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok, ragam golongan, dan lintas agama, Zuhairi menarik napas kegalauan dan memuntahkannya dalam sebuah karya brilian, Al-Quran, Kitab Toleransi. Zuhairi yang dilahirkan dari rahim kaum tradisionalis (baca: Nahdlatul Ulama/NU), mampu melakukan terobosan pemikiran yang melampaui khazanah tradisionalismenya. Buku ini menjadi bukti otoritas keilmuannya dalam membedah diskursus toleransi yang tertancap dalam kitab suci Al-Quran.

Zuhairi melakukan penjelajahan khazanah keilmuan Al-Quran, sehingga menghasilkan sintesis pemikiran yang memukau: Al-Quran sebagai kitab toleransi. Penjelajahannya dalam samudera keilmuan Al-Quran bisa terlihat dari pembacaan kritisnya atas Jami'ul ahkam karya Al-Qurtubi, al-Tafsir al-Kabir wa al-Mafatih al-Gaib karya al-Razi, Tafsir al-Kasysyaf karya al-Zamakhsari, juga Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi.

Bagi Zuhairi, Al-Quran itu menghadirkan mutiara yang berisi nilai-nilai kemanusiaan universal. Menyitir pemikiran al-Ghazali, al-Syatibi, al-Thufi, al-Syaukani, dan lainnya, ia melihat bahwa paradigma substansi dan tujuan diturunkannya Al-Quran sebagai sumber syariat adalah kesadaran sosial, kesadaran antroposentris, dan kesadaran humanis. Bahkan, al-Syatibi, lanjut penulis, substansi yang dituturkan Al-Quran bukan hanya menjaga jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan, tetapi juga menjungjung tinggi agama-agama dan kepercayaan lain.

Dari sinilah penulis melakukan penjelajahan dalam lintasan diskursus Al-Quran mengenai toleransi. Satu per satu ayat dalam Al-Quran kemudian dianalisis penulis untuk membuktikan komitmen Al-Quran mengawal toleransi. Ayat-ayat itu, antara lain, tentang tidak ada paksaan dalam agama (adamul ikroh fi al-din), satu umat, beragam nabi, kitab Taurat dan kitab Injil sebagai pentunjuk dan cahaya, kesetaraan umat beragama, kebebasan beragama, larangan menebar kebencian dan kekerasan, penghargaan Islam atas pemuka agama Kristen, anjuran mengucapkan selamat Natal, ahlu al-kitab sebagai orang-orang saleh, mengutamakan jalan damai, Nabi Muhammad sebagai teada praksis kasih sayang, dan Tuhan sebagai sumber kasih sayang.

Tema-tema ayat toleransi itu diblejeti dengan pendekatan multidisipliner, tidak hanya aspek normatif-teologis, tetapi juga dengan pendekatan sosiologis-antropologis-historisnya. Inilah yang bisa membuat pembaca kaya akan khazanah pemikiran yang multiperspektif. Semua tema ihwal ayat toleransi tersebut dibungkai dalam landasan tiga paradigma; inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme. Inklusivisme mendasarkan pemikiran pada keterbukaan, pluralisme mengandaikan keragaman sebagai sunnatullah, sesuatu yang secara alamiah harus terjadi, dan multikulturalisme mendedahkan bahwa berbagai kebudayaan masyarakat hadir saling melengkapi, menyapa, dan berdialog.

Tiga landasan paradigmatik inilah yang digunakannya memotret ayat toleransi tersebut. Tiga landasan yang digunakan penulis, sepertinya merupakan hasil pergulatannya dengan berbagai kalangan lintas agama dan lintas golongan. Khususnya pergaulannya dengan Dr Milad Hanna, Dr Yohanna Qoltah, Franz Magnis-Seseno, dan Pendeta Martin Lukito Sinaga. Dengan Milad Hanna, ia mencerap berbagai pemikiran toleransi di Mesir, sekaligus belajar ragam kebudayaan yang telah membentuk struktur kehidupan Mesir.

Dan, di negeri Piramid yang plural itulah sebenarnya ia memulai petualangan intelektualnya dalam membingkai pemikiran bahwa Al-Quran sebagai basis landasan toleransi. Gagasannya juga diamini Buya Syafi'i Ma'arif dalam pengantarnya bahwa Al-Quran merupkan fundamen toleransi yang sangat kaya dan luar biasa. Oleh Buya Syafi'i, Zuhairi dilihat telah mengkristalisasikan sebuah hadits bahwa Al-Quran adalah hidangan Tuhan di muka bumi. Zuhairi menjadikan Al-Quran sebagai hidangan toleransi yang kaya dengan percikan pemikiran ulama klasik dan kaya dengan getar-getar problematika kontemporer. Sebuah gagasan dialektik mengusung toleransi dalam kitab suci.

Berlandaskan spirit toleransi yang begitu paradigmatik, Zuhairi ingin merajut kembali persadaraan kemanusiaan yang selama ini terkoyak oleh konflik berdarah. Khususnya relasi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, yang dalam berbagai belahan dunia terus menyimpan "dendam sejarah" yang terus membara. Padahal, ketiga agama tersebut mewarisi nilai-nilai agung yang sangat mulia. Sangat ironis, bagi Zuhairi, kalau nilai agung justru dicampakkan, bahkan dijadikan tameng untuk melakukan penindasan, pembunuhan, dan penistaan dengan sesama. Umat Islam, Kristen, Yahudi, dan seluruh agama di dunia harus kembali menebarkan panji-panji toleransi, sehingga kekerasan atas nama agama bisa terkikis, pembunuhan atas nama agama terhapus, dan berbagai konflik horisontal berbau agama bisa berakhir.

Peresensi adalah Pengelola Perpustakaan Al-Hikmah, Pati, Jawa Tengah


Terkait