Judul: Madrasah Ruhaniah ; Berguru pada Ilahi di Bulan Suci Ramadhan
Penulis : Jalaluddin Rakhmat
Tebal Halaman : 248
Penerbit : Mizan Pustaka
ISBN : 979-433-404-9
Peresensi : Dinno Munfaidzin Imamah
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu puasa
seperti diwajibkan pada umat sebelum kamu
supaya kamu semua menjadi orang-orang takwa (QS 2: 183)
<>
Sang Pembaharu Syaikh Siti Jenar pernah mengatakan bahwa Puasa merupakan tindakan revolusioner ruhani untuk mereduksi watak-watak kedzaliman, ketidakadilan, egoisme, dan keinginan yang hanya untuk dirinya sendiri. Buahnya adalah keberanian, kejujuran terhadap diri sendiri, orang lain dan kejujuran di hadapan Sang Allah tentang kenyataan dan eksistensi dirinya. Ia akan menjadi motor penggerak bagi ruh al-idhafi, sebagai efek kebeningan hatinya yang dengan itulah keseluruhan kehidupan akan ditunjukkan menuju ke arah al-Haqq, Illahi Rabbi.
Puasa akan melahirkan watak manusia yang pengasih dan penyanyang. Mengantarkan kesadaran untuk selalu ikut berperan serta mengangkat harkat dan derajat kemanusiaan, berperan aktif memerangi kemiskinan, dan selalu menyertai sesama manusia yang berada dalam penderitaan. Puasa adalah kesadaran batin untuk menjadikan hawa nafsu sebagai hal yang harus dikalahkan, dan kedzaliman sebagai hal yang harus ditundukkan. Oleh Syaikh Siti Jenar, puasa secara lahir disubstitusikan dengan kemampuan untuk melaparkan diri. Bukan sekedar mengatur ulang pola makan di bulan Ramadhan, tetapi mampu “ngelakoni weteng kudu luwe”, membiasakan diri lapar, bukan membiarkan kelaparan. Sehingga terciptalah sistem masyarakat yang terkendali hawa nafsunya. Dan tentu saja, Syaikh Siti Jenar tidak memaknai “kudu luwe” sebagai alasan lembeknya manusia secara fisik. Hal tersebut harus dikontekstualisasikan dengan kecukupan gizi yang harus terpenuhi bagi aktivitas jasmaniah. Yang terpenting adalah kemauan dan kesadaran untuk berbagi, untuk tidak hanya memuaskan apa yang menjadi tuntutan hawa nafsu terbesarnya. Dengan puasa, ruh itu diaktifkan.
Gelap-gulita di lautan yang dalam, yang diliputi ombak, yang di atasnya ada ombak pula, di atasnya lagi awan; gelap-gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya tiadalah ia dapat melihat, dan barangsiapa yang tiada diberi cahaya petunjuk oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun (QS 2: 183).
Untuk memperoleh cahaya yang terang diperlukan upaya. Sebagaimana diperlukan sekolah untuk mendidik manusia-manusia intelektual, maka diperlukan pula madrasah ruhaniah untuk menghasilkan manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniah ini ialah puasa. Pelajaran apakah yang diberikan pada madrasah ruhaniah yang bernama Puasa? Sebagian di antaranya ialah: ikhlas, pembersihan diri, ihsan, dan ibadah.
Pergerakan Puasa adalah operasi mendidik manusia untuk menajamkan mata batiniah kita, agar kita dapat menembus tirai kegaiban. Puasa adalah "akademi" Sang rajawali, meminjam analogi Syaikh Siti Jenar, yang melatih untuk menerbangkan ruhaniah kita agar bisa hinggap dalam pangkuan kasih sayang Sang Tuhan. Di dalamnya ada gerak dzikir, pikir dan parade amaliah, ada refleksi dan aksi. Ada peribadatan dan perkhidmatan untuk sesama manusia. Puasa adalah madrasah ruhaniah di bawah bimbingan Sang Allah.
Dalam buku Madrasah Ruhaniah; Berguru pada Ilahi di Bulan Suci karya cendekiawan muslim terkemuka, Jalaluddin Rakhmat, menyebut bahwa Puasa Ramadhan adalah 'madrasah ruhaniah,' artinya menjalani pelatihan untuk menggeser perhatian yang berlebihan pada ego, pindah dari rumah kita yang sempit menuju rumah semesta yang tak terbatas. Upaya spiritual penulis, bergerak, menjelajah dan menukik langsung makna terdalam batin puasa Ramadhan, baik dengan amaliah maupun penjelasan atas ‘teks-teks basah’ dari akumulasi pengetahuan Islam sepanjang sejarah yang sangat kaya dan ‘bernyawa’.
Demi mendapatkan makna terdalam puasa Ramadhan, yang pertama dilakukan adalah manusia harus berkhidmat baik pada Ramadhan, ibadah dan semua umat manusia. Kang Jalal, biasa di sapa juga menunjukan jalan dan makna batin bulan Ramadhan dari hari pertama hingga terakhir; rupanya ini bagian yang paling ‘mendebarkan’ dalam buku tersebut. Maklum, sebagai cendekiawan Islam, pakar studi komunikasi, pendidikan, dan agama-agama, beliau sangat disegani karena karya pemikirannya berpengaruh besar di dunia Islam, dan Indonesia yakni pencerahan pemikiran Islam.
Ikhtiar mengikat makna batin puasa itu, pembaca mula-mula diajak membersihkan jiwa untuk menyambutnya, memperlebar atau memperkaya aspek puasa, baru ujungnya boleh berharap Sang Tuhan mau menyingkap diri-Nya kepada makhluk-Nya. Dalam istilah kang Jalal, artinya orang tersebut telah kembali kepada Sang Tuhan, mereka telah mudik ke kampung halaman yang abadi. Demi menolong agar memperoleh makna batin, manusia selayaknya meniru kebiasaan Sang Tuhan, sebagaimana kata Nabi Muhammad SAW, "Carilah dalam dirimu sendiri sifat-sifat Tuhan." Harus diakui, hal ini memang gampang ditulis dan diucapkan namun ternyata sulit dilakukan. Seperti ungkapan Syaikh Siti Jenar,“ Kebenaran sejati lebih dekat dari urat leher manusia, di tengah-tengah tarikan nafas kehidupan, di tengah keramaian dan keheningan’’.
Buku ini adalah sebuah invitation kepada pembaca, masyarakat Islam Indonesia dan dunia Islam untuk merenungkan kembali sabda Nabi Muhammad saw,“Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh apa pun dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. Sabda Nabi di atas mengungkapkan tentang puasa yang dilepaskan dari dimensi ruhaniahnya. Puasa seperti itu boleh jadi bermanfaat untuk kesehatan tubuh dan kebugaran jasmani, tetapi tidak bermanfaat untuk kemuliaan akhlak dan ketinggian ruhaniah. Puasa seperti itu tidak naik ke langit tinggi, tetapi berkubang dalam lumpur duniawi (hubb ad-dunya).
Sesuai dengan judulnya, buku ini menjadi peta jalan (roadmap) kepada masyarakat Islam Indonesia di tengah prahara dan cambukan badai di Republik ini, yang sekian lama tidak berkiblat kepada Sang Tuhan, tapi berkiblat kepada jaring-jaring bendawi (kapitalisme). Di bulan suci Ramadhan ini, buku ini sangatlah bermanfaat juga sebagai ‘Tantra-Bhairawa’ para pencari Sang Allah, dengan tujuan menjadikan manusia di alam semesta ini sebagai adimanusia (Khalifah Allah di Muka Bumi).
Karya cendekiawan Islam ini terdiri dari 4 bab yaitu bab 1 (Bab 1: Takhalli: Bersihkan jiwa sambut puasa, puasa dan perkembangan ruhani: dari Freud hingga Muthahhari, Bab 2: Tahalli: Hiasan Insan di Bulan Ramadhan, puasa dari syariat ke hakikat, hakikat puasa: tunduk pada kehendak Ilahi, Bab 3: Makna batiniah hari-hari Ramadhan, Bab 4: Tajalli: Khalifah Tuhan di Muka Bumi, Idul Fitri dan amalannya, menjaga kesucian pasca-Ramadhan, serta do’a harian Ramadhan.
Semoga dengan buku ini, seperti harapan penulis, andaikan empat pelajaran Puasa yakni ikhlas, pembersihan diri, ihsan, dan ibadah dilanjutkan oleh kaum Muslim, dunia tidak akan kehabisan orang-orang suci. Keempat kualitas ini akan sanggup memberikan keharuan imani pada kegersangan intelektual, timbangan keadilan pada kepongahan kekuasaan, kelembutan kasih-sayang pada kekasaran kekayaan, keutuhan insani pada kemanusiaan yang bercacat. Dan mencetak masyarakat Islam Indonesia dan dunia Islam yang sedang berpuasa di bulan Suci ini memiliki ‘kesadaran rajawali’, yakni kesadaran yang diperoleh seorang penempuh (salik) selama tahap-tahap perjalanan ruhani melampui kedudukan (maqamat) menuju Kesatuan Sang Allah (Tauhid). Merasakan getar-getar cinta (hubb) seorang pecinta (muhibb) untuk mengarahkan pandangan, hanya kepada Kekasih (Mahbub) yakni al-Haqq, Illahi Rabbi.
Ya Allah, bimbinglah kami di bulan Ramadhan, untuk menyambungkan persaudaraan kami dengan kebajikan dan ketulusan; untuk berhubungan dengan tetangga kami dengan kebaikan dan pemberian; untuk membersihkan kekayaan kami dari harta yang haram; untuk mensucikannya dengan mengeluarkan zakat; untuk mendekati orang yang menjauhi kami; untuk menyadarkan orang yang mendzalimi kami; untuk berdamai dengan orang yang memusuhi kami, selama kami tidak dimusuhi karena-Mu dan untuk-Mu; untuk mendekati-Mu di bulan itu dengan amal-amal suci, yang membersihkan kami dari dosa dan menjaga kami dari perbuatan yang tercela. Rabbana taqabbal minna, innaka antas sami’ud du’a!
* Pengurus Besar PB PMII-Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia & Mahasiswa FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta