Buku karya Ahmad Baso ini menceritakan bagaimana ilmu politik Indonesia tergerus sedikit demi sedikit yang menyebabkan keterputusan dengan tradisi dan kehilangan identitasnya. Semua itu bermula dengan adanya penjajahan. Menurut Baso, penjajahan bangsa asing, bukan hanya menyebabkan penderitaan rakyat di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, melainkan juga menyebabkan kita kehilangan ilmu politik asli bangsa Indonesia warisan leluhur. Dan penjajah mengisi kekosongan ilmu politik bangsa ini dengan ilmu politik mereka hingga dewasa ini. Indikasinya banyak kitab, buku yang dicuri dibawa oleh penjajah ke negaranya, sehingga banyak generasi kita selanjutnya terputus pengetahuan politiknya dengan tradisinya dan tanah airnya.
<>
Tentunya di jaman penjajahan masih ada kitab politik Nusantara, kitab politik pesantren yang bisa diselamatkan. Tentunya masih ada politisi yang menjaga tradisi pengetahuan politik kebangsaan Nusantara. Mereka ini bukan hanya menyelamatkan kitab, tradisi tersebut, melainkan juga melakukan perjuangan, melawan penjajahan dalam segala bidang, perang fisik, perang politik, mempertahankan nilai sosial dan budaya di masyarakat.
Menurut Baso dalam buku ini, mereka ini teridentifikasi sebagai para Walisongo, penyebar agama Islam aswaja di Nusantara. Para wali ini pulalah kemudian yang menjadi pemula pendirian pondok pesantren, mengajarkan bentuk-bentuk gerakan perlawanan terhadap penjajahan, pelawanan fisik dan perlawanan metafisik. Dan ini diajarkan dan diteruskan kepada syekh, kiai, ustadz dan rakyat.
Bentuk perlawanan fisik, salah satunya adalah uzlah. Jadi ketika wilayah pesisir dikuasai penjajah, mereka membentuk kuasa sendiri di pedalaman. Ketika kota pedalaman dikuasai penjajah pula, mereka membangun peradaban dan jaringan di desa dan di gunung.
Di desa dan gunung tersebut mereka mempertahankan sekaligus memperjuangkan politik kebangsaan, politik pesantren-aswaja menghadapi penjajah. Di desa dan gunung tersebut pula mereka membentuk sebuah peradaban, jaringan, masyarakat baru dengan melakukan koalisi dengan masyarakat Cina dan Eropa yang mempunyai kesamaan ide kebangsaan adalah mengelola hidup bersma secara baik jauh dari pada merusak.
Mereka membentuk kuasa tandingan, dengan memunculkan masyarakat, negara, kekuasaan dan raja tandingan-baru. Baso dalam buku ini mencontohkan gerakan politik kaum santri adalah dengan terbentuknya kekuasaan Pakubuwono II walaupun hanya beberapa saat. (Hlm 228-229)
Sementara itu bentuk perlawanan metafisik, adalah kekuatan ramalan. Mereka mengaksarakan dan mengoralkan ramalan tersebut pada rakyat Indonesia. Salah satunya adalah kekuatan ramalan Jayabaya menyebar di kalangan priyayi dan rakyat jelata. Ramalan tersebut bermuatan politik, kritik atas kondisi sosial-ekonomi kolonialisme, serta memberi harapan kepada rakyat akan masa depan kebangsaannya.
Lantas apa isi dan visi politik pesantren? Baso menunjukkan bahwasannya dalam Babad Jaka Tingkir dijelaskan mengenai visi politik pesantren adalah ilmu politik ditujukan bukan untuk melayani penguasa, tapi mewakili suara rakyat dan menerjemahkan kebebasan politik mereka. Baso lantas menjustifikasinya, bukankah itu demokrasi? Pesantren sudah lama memunculkan ide kedaulatan rakyat dengan kosa kata kedaulatan wong kabeh, bahasa kaum santri paugeraning kaum santri, santri Bugis ratuna tau sibutta.
Salah satu ciri dan dasar politik pesantren adalah selalu memuat rasa optimisme akan masa depan yang lebih baik, selalu berpikir positif di tengah kekejaman kolonialisme. Mereka juga melakukan pendidikan politik, terutama terhadap penguasa yang tidak adil, tidaklah menyebutnya sebagai orang yang terkutuk selama-lamanya. Tapi diberi peluang untuk bertobat, kembali ke masyarakat, memperbaiki kekeliruannya serta mengasah diri dari dalam kultur keadilan masyarakat, bukan dari dalam kraton/kekuasaan.
Dari sinilah kemudian kaum santri memaknai politik itu bukan sesuatu yang dihindari karena kotor. Tapi justru kita diberi peluang untuk memperbaikinya, dari yang sifatnya personal hingga sistemik (perbaikan struktural-kelembagaan). Ini pula yang memberikan salah satu karakter ilmu politik pesantren visioner, transformatif, reformatif dan reflektif. Seperti penerjemahan patriotisme atau bela Nusantara adalah mensejahterakan desa dan orang-orang desa. (Hlm 377 dan 407).
Meskipun buku ini sepertinya halnya buku-buku Baso sebelumnya, selalu menampilkan kecerewetan dan kebinalan berlebihan. Buku ini memiliki relevansi sebagai bentuk kritik dengan kondisi perpolitikan kita, terutama dengan politik Islam di Indonesia. Bangsa Indonesia mengaku sebagai bangsa demokrasi. Bangsa ini juga mengaku melakoni semangat jamannya adalah orde reformasi. Namun nyatanya, demokrasi dan reformasi tidak mengurangi jumlah pengangguran, angka kemiskinan, malah yang terjadi korupsi menggila, utang negara naik tajam. Dengan demikian ada yang salah dari politik kebangsaan kita selama ini.
Politik dan politisi Islam di Indonesia sampai kini belum memberikan peran signifikan akan kesejahteraan, kedamaian pada rakyat. Mereka menampilkan kualitas berpolitik yang buruk. Mereka juga terseret arus liberalisasi politik yang menyebabkan mereka kehilangan identitas politiknya. Akhirnya, Baso, melalui bukunya ini, mengajak politisi dan calon politisi, mahasiswa Fisip untuk melakukan kritik diri, meluruskan niat, tujuan dan cara berpolitik secara bijak bukan sekedar mengkaji buku politik dan demokrasi dari Barat dan melupakan naskah politik Nusantara dan cara berpolitik kebangsaan para leluhur kita.
Judul Buku: Pesantren Studies, Buku Keempat; Khitah Republik Kaum Santri dan Masa Depan Ilmu Politik Nusantara, Juz Pertama; Akar Historis dan Fondasi Normatif Ilmu Politik-Kenegaraan Pesantren, Jaringan dan Pergerakannya Se-Nusantara Abad 17 dan 18
Penulis: Ahmad Baso
Penerbit: Pustaka Afid
Cetakan I: 2013
Tebal Buku: xvi + 437 Halaman
Harga Buku: Rp 100.000,00
Peresensi: Muhamad Rifai, pembaca buku, tinggal di Temanggung Jawa Tengah