Judul : Manahijul Imdad
Penulis : Syekh Ihsan Dahlan
Tebal : Dua Jilid 1088 halaman
Penerbit : Pesantren Al Ihsan, Jampes Kediri
Tahun : 2006
Peresensi : Abdul Mun’im DZ
Dengan penegasan bahwa tidak ada kerahiban dalam Islam (la rahbaniata fil Islam), maka keberagamaan Islam sangat ditekankan pada fikih atau syariat yang formal. Pada abad berikutnya keberagamaan yang legal formalistik itu kurang memuaskan aspirasi spiritual sebagian ulama. Mereka itu berusaha menerapkan kehidupan beragama yang lebih mengutamakan peningkatan spiritualitas. Toh kehidupan keberagamaan Nabi dan sahabat sendiri penuh dengan kedamaian ruhani, walaupun ada kelompok sufi yang cenderung mengabaikan syariat.
Ketega<>ngan antara para ilmuwan fikih dan para pengamal sufi itu telah diredakan oleh Imam Ghazali yang terintegrasi dalam dirinya. Ia seorang fuqaha yang sekaligus seorang sufi agung, bahkan seorang filsuf. Dalam dunia Sunni pengaruh Ghazali demikian luas hingga ke tanah Jawi (Nusantara) karena itu tradisi Islam sufistik yang berimbang benar-benar dijalankan di kawasan ini. Para penganut wihdatul wujud (manungaling kawula-gusti) yang cenderung mengabaikan syariat tidak populer di sini. Apalagi tarekat (ordo sufi) yang ada, kemudian oleh para ulama pesantren dikategorikan sebagai muktabarah (disahkan) dan tarekat yang ghaoiru muktabarah (yang belum diakui). Penilaian ini dilihat dari kesesuaiannya ajaran amalan mereka dengan ajaran syariat.
Pada umumnya para ulama Nusantara tidak menulis kitab fikih dalam bentuk legal formalistik, tetapi sebagaimana Imam Ghazali mereka mencoba mengintegrasikan ajaran fikih dengan nilai-nilai tasawuf. Sebagaimana termaktub dalam kitab Manahijul Imdad yang ditulis oleh KH Ihsan Jampes Kediri pada 1940 ini, memuat bab seperti kitab fikih lainnya, tetapi di situ juga membahas bidang tauhid, keilmuan, akhlaq dan tasawuf. Dengan demikian kalau dikatakan bahwa kitab kuning itu produk abad pertengahan tidak benar, karena hingga pertengahan abad ke-20 kitab kuning masih aktif diproduksi. Bahkan ulama Jawa terus aktif memberikan kontribusinya.
Berbeda dengan kitab fikih yang lain seperti Sulam Taufiq, Fathul Mu’in atau Fathul Wahab dan sebagainya, yang lebih mengutamakan aspek legal dan teknik operasional. Dalam kitab ini fikih diletakkan dalam perspektif sufistik, menekankan pada makna dan hikmah pengamalan ajaran tersebut, dan berbagai keutamaan yang diperoleh dalam menjalankannya. Dengan demikian pelaksanaan syariat Islam tidak sekadar menjalankan kewajiban, tetapi lebih diarahkan sebagai proses kebutuhan manusia untuk memperdalam spiritualitsnya, menyempurnakan budi pekertinya serta proses pendekatan diri pada Ilahi.
Perspektif sufistik itu diketengahkan oleh pengarangnya untuk memberikan kesegaran dan kesejukan dalam menjalankan ibadah dan kehidupan secara umum, sehingga hidup dan beribadah tidak kering tetapi penuh makna. Metode pengenalan Islam seperti itu tidak hanya memotivasi umat untuk lebih giat beribadah dan mendekatkan diri pada Ilahi, tetapi sekaligus juga memperdalam nilai kehidupan yang mereka jalani, tidak hanya bersifat duniawi, sementara, tetapi memiliki nilai keabadian bahkan keilahian. (hal 160)
Dalam membahas puasa, tidak hanya amemperkenalkan syarat rukun serta hal-hal yang membatalkan ibadah tersebut. Kitab ini juga menjelaskan berbagai makna dan hikmah serta fadlilah (keutamaan) menjalankan puasa, bahkan disertai berbagai hikayat atau cerita-cerita teladan sebagai pendukungnya. Dikisahkan bahwa ada seseorang yang jarang melakukan ibadah, tetapi setiap masuk bulan Ramadlan mereka berpuasa dan mengqodlo seluruh sholat yang ditinggalkan, ketika meninggal orang tersebut masuk surga karena menghormati bulan puasa.(hal 480)
Kitab ini sebenarnya merupakan syarah (commentary) dari kitab Irsyadul Ibad karya Syekh Zainuddin Malibari. Kitab setebal 118 halaman itu diulas panjang lebar oleh Kiai Ihsan secara sangat mendalam dalam kitab setebal 1088 halaman yang terdiri dari dua juz (jilid) dengan format lebar. Bahkan menurut berapa ulama, sebenarnya kitab ini bukan lagi sebuah syarah, tetapi sebuah kitab yang orisinal karena jauh melampaui keluasan dan kedalaman kitab yang disyarahinya. Memang secara teknis Kiai Ihsan melakukan tinjauan terhadap sumber nash yang dikutip baik Qur'an atau Hadits, Sang Kiai mencoba meluruskan posisi Hadits yang digunakan, menjelaskan bahasa yang digunakan serta memperluas keterangan dari berbagai sumber kitab klasik lainnya.
Manahijul Imdad ini buka kitab pertama Kiai Ihsan, sebab sebelumnya yakni pada tahun 1936 pernah menerbitkan karya tasawuf dengan judul Sirajut Thalibin (Lentera Umat). Kitab tersebut diterbitkan oleh penerbit Musthafa Babi Al Halaby Cairo, meski terbit di Mekahnya ilmu pengetahuan Islam itu, karya Kiai Ihsan itu sempat menggemparkan intelektual di sana, sehingga karya tersebut dikaji di berbagai universitas di Timur Tengah. Bahkan penulisnya Kiai Ihsan diminta sendiri oleh Raja Faruk untuk menjadi warga kehormatan Mesir sebagai syeikh pengajar di Universitas Al Azhar, tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Ia lebih senang mengajar di Pesantren Jampes, di luar kota Kediri yang sepi. Bahkan kitabnya itu kemudian juga digunakan sebagai rujukan wajib di berbagai universitas di barat baik di Eropa, Amerika dan Canada pada jurusan teologi dan teosofi.
Mengingat pentingnya buku tersebut maka sebuah penerbit besar Darul Fikr yang ada di Bairut Libanon juga turut menerbitkan sehingga kitab tersebut semakin terkenal. Kalangan Pesantren di Nusantara pun banyak mengkaji kitab tasawuf tersebut sebagai pedamping kitab tasawuf tingkat tingi yang lain seperti Ihya Ulmuddin karya Al Ghazali, Kitab Al Hikam dan sebagainya. Masyarakat Nusantara selain menggunakan versi terbitan Darul Fikr lebih banyak mengunakan terbitan penerbit Nabhan Surabaya, di samping formatnya yang lebih cocok, dengan kertas warna kuning serta penjilidan yang permanen, dengan tipografi klasik sehingga lebih akrab dibaca.
Agak aneh penerbit besar yang ada di kota Kediri saaat itu yakni Boekhandel Tan Khoen Swie yang berdiri 1883 yang banyak menerbitkan karya kraton Surakarta, dari Yosodipura, Ronggowarsito hingga Padmosusastro yang berbahasa dan beraksara Jawa itu sama sekali tidak melihat adanya sumber naskah yang ada di Pesantren jampes di dekatnya itu, dan banyak naskah dari pesantren lain juga tidak terpantau oleh Tan Khoen Swie padahal ada di depan mata. Padahal tahun 1930-1950-an itu adalah masa jayanya penerbit tersebut dan pada masa itu pula Kiai Ihsan menulis karyanya yang kemudian lebih diminati oleh penerbit Mesir dan Lebanon.
Sebenarnya Kitab Manahijul Imdad ini ditulis segera setelah selesainya kitab Sirajut Tholibin, kemudian segera dikirim ke penerbitnya di Kairo, tetapi karena masih menunggu penyempurnaan sehingga ketika meningal pada 1952 belum sempat diterbitkan. Keluarga Kiai Ihsan sebenarnya telah berusaha mengambil naskah tersebut, tetapi penerbit Mesir itu belum mengirimkan. Tetapi beruntung setelah menunggu beberapa puluh tahun tanpa hasil, ternyata ada seorang santri Kiai Ihsan dari Semarang yang sempat menyalin manuskrip tersebut sebelum dikirim ke Mesir. Manuskrip versi santri Semarang itu yang kemudian diterbitkan oleh pesantren Jampes dan itu pun mengalami keterlambatan dalam melakukan kompilasi dan editing sehingga pembaca harus menggu beberapa tahun baru bisa mengkaji kitab yang sangat ditunggu itu, karena baru bisa diterbitkan pada akhir 2005 dan dicetak ulang pada pertengahan 2006 ini.
Kitab ini tidak diterbitkan penerbit profesional, tetapi diterbikan sendiri oleh keluarga Pesantren yang berada di desa pingiran kota Kediri itu dibagi dalam dua juz dicetak dan diedit dengan sangat sempurna. Tidak seperti versi Darul Fikr atau Mustafa Al Halaby, yang dicetak dalam format kontemporer kertas putih dan format buku yang sedang. Terbitan Pesantren Jampes ini menggunakan format klasik dengan kertas wana kuning yang enak dibaca serta kertas yang padat sehingga mudah bagi pengkaji memberikan catatan di sebelah teks. Kitab ini secara fisik bisa disebut kitab kuning baik karena warna kertasnya maupun sistematika dan tentu saja tetap dalam keadaan gundul (tanpa harakat atau tanda baca). Hanya pada istilah tertentu pengarang memberikan petunjuk cara membaca agar tidak keliru dalam memberikan makna dan memahami.
Kiai Ihsan merupakan seorang santri kelana yang telah berkeliling Jawa Madura untuk mencari guru yang alim. Tetapi tidak pernah menetap lama di pesantren, ilmu falak atau Astronomi dipelajari dari kiai di Salatiga hanya satu bulan. Mempelajari kitab Alfiyah (gramatika Arab) kepada Kiai Cholil Bangkalan hanya dua bulan, dan ilmu tasawuf dipelajari dari Kiai Soleh Darat Semarang hanya dalam tempo 20 hari. Setiap belajar ke pesantren tidak pernah ia mengatakan anak dari kiai Dahlan Jampes, karena khawatir tersingkap identitasnya. Tetapi begitu tersingkap identitasnya dan orang lain mulai menyanjungnya, maka dia akan segera pergi dari pesantren itu. Itulah sebanya dia menjadi santri kelana yang selalu menjalankan rihlah ilmiyah (pengembaraan akademik) dari satu pesantren ke pesantren lain. Dengan adanya ketekunan dan kecerdasan waktu yang singkat itu sudah mempu menyerap ilmu kiai yang diguruinya. Pengembaraan itu segera diselesaikan ketika harus menjadi pengasuh pesantren yang ditinggal ayahnya.
Keahlian Kiai Ihsan bukan hanya di bidang fikih dan tasawuf, keahliannya dalam bidang ilmu falak (astronomi) juga sangat tinggi, bahkan karya yang pertama adalah dalam bidang ini yang berjudul Tashrihul Ibarat, yang ditulis ketika masih berusia 30 tahun. Keahliannya dalam falak bahkan telah mencapai pada taraf kenujuman, tetapi hal itu tidak pernah digunakan. Sementara kitab yang terakhir ditulis adalah Irsyadul Ikhwan, yang yang hingga saat ini belum diterbitkan secara luas. Walaupun kiai ini tidak pernah belajar ke Mekah tetapi kemampuan berbahasa Arab sangat sempurna, sehingga bisa menulis kitab sangat mengagumkan, dengan bahasa yang indah dan padat selkaligus mendalam. Sesuai prinsip penulisan sastra Arab qalla kalamuhu wa kathura ma’nahu (sedikit kata penuh ma’na). Kiai Hasyim Asy’ari sangat mengaguminya dan menempatkan sejajar dengan ulama mujtahid yang lain, sehingga menyarankan santrinya untuk mengkaji kitab-kitabnya.
Walaupun ia seorang sufi yang sehari-hari hanya mengajar kitab pada santri, tetapi ternyata juga memiliki apresiasi kesenian lokal yang tinggi. Dalam tradisi pesantren upacara kelahiran biasanya dibacakan Ziba atau Barzanji, tetapi Kiai Ihsan menggantinya dengan pembacaan Serat Anbiya, tembang berbahasa Jawa yang dikarang oleh Yosodipura II. Ia tidak hanya mengerti wayang, tetapi juga piawi dalam mendalang. Kalangan sufi memang memiliki dispilin ke dalam yang kuat, tetapi sekaligus memiliki toleransi yang luas, karena itu setiap menamatkan pengajian kitab-kitab tasawuf tertinggi seperti Al Hikam atau Ihya Ulumuddin ia selalu melakukan syukuran dengan menggelar pertunjukan kesenian tradisional seperti kentrung, jatil atau jaran kepang. Ini sebagai upaya mencarikan konteks dari ajara keislaman dengan realitas kemasyarakatan. Dengan demikian pesantren tidak hanya menjadi lembaga pendidikan, tetapi tetap menjadi lembaga sosial dan kebudayaan.
Sebuah menara tidak pernah menjulang sendiri, pasti di sana ada kubah, ada serambi dan terdapat pula pondasi yang menopangnya. Demikian juga Kiai Ihasan bukan yang muncul sendirian, tetapi hanya salah satu di antara sekian ulama Jawi yang membuahkan karya besar, baik yang sezaman seperti Kiai Maksum Jombang yang memberi kontribusi besar dalam pengembangan gramatika Arab, sehingga kitabnya, Tashrif Lughawi dijadikan rujukan dalam kajian bahasa Arab di seluruh dunia Islam. Sementara generasi sebelumnya seperti Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Banten, Syekh Abdus Shamad Palembang, Syekh Arsyad dari Banjar dan Syekh Khotib Minangkabau memberikan sumbangan besar pada pustaka dunia Islam.
Produktivitas ulama Jawi itu menurut sebuah survei yang diadakan tahun 1970-an menunjukkan bahwa saat itu terdapat sekitar 7000 (tujuh ribu) buah kitab di Perpustakaan Masjidil Haram yang ditulis oleh para ulama Nusantara. Sebuah sumbangan yang tidak ternilai harganya bagi khazanah keilmuan Islam dunia.Tentunya hadirnya satu lagi kitab kuning dari Nusantara ini akan menambah koleksi perpustakaan Masjidil Haram, tetapi juga akan memperkaya khazanah keilmuan Islam. Karena itu bisa dipahami kalau kehadiran kitab Manahijul Imdad di zaman modern ini disambut meriah oleh kalangan pengkaji Islam. Karena diharapkan mampu menyirami jiwa manusia modern yang kering.