Pustaka

Gerakan Moral Melawan Korupsi

Sabtu, 17 Juni 2006 | 10:44 WIB

Angin korupsi yang ditabur semasa Orde Baru seolah menjadi badai penjarahan pada masa reformasi dan pasca reformasi. Kalau selama ini korupsi dijalankan dengan tertutup secara rapi maka saat ini korupsi dijalnkan dengan terang-terangan. Kalau dahulu hanya didominasi oleh kalangan eksekuti, maka sekarang kalangan legislatif dan yudikatif tidak kalah rakusnya. Maka bisa dilihat akibantnya, ketika perekonomin terpuruk sejak masa krisis nasional 1987 yang lalu, pekerjaan yang paling menguntungkan adalah menjadi politisi. Sektor ini seolah tidak mengenal krisis, buktinya siapa saja yang masuk sektor itu langsung menjadi kaya mendadak , bahkan yang sekadar menjadi broker atau pialang politik saja sudah cukup menguntungkan.

Kalau selama ini korupsi didominasi oleh kelompok birokrasi, melalui proteksi dan pemberian lisensi serta pungutan liar lainnya. Sekarang ini kalangan politisi dari partai lebih gesit lagi. Karena zamannya membuat peraturan dan undang-undang, maka kalangan partai dan terutama anggota DPR nya di berbagai ttingkat itu yang menentukan segalanya. Setiap pasal akan menentukan nasib rakyat, karena rakyat tidak mampu membeli dan membela pasal yang menguntungkan dirinya, maka para pejabat dan para pengusaha yang mendahului mereka dengan cara menyuap untuk membuat peraturan yang hanya menguntungkan kelompok bisnis ini.

Persoalan tersebut yang disoroti oleh K<>wik Kian Gie dalam buku terbarunya ini, yakni bagaimana korupsi itu mulai tumbuh dan berkembang serta bagaimana upaya pemberantasannya. Ia menawarkan pemberantasan korupsi itu, pertama dengan cara perampingan demokrasi, ini sangat penting untuk langkah kedua yaitu pelaksanaan kosep carrrot, yakni memberikan gaji tinggi yang bisa mencukupi, sehingga tak tergoda korupsi. Dengan cara itu memungkinkan untuk langkah ketiga konsep stick, memberikan hukuman berat bagi koruptor dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup. Konsep ini pernah diajukan Kwik pada presiden Abdurrahman Wahid, karena itu kemudian dibentuk komiso Ombudsman, Komisi periksa kekayaan pejabat negar dan sebagainya, termasuk usaha menaikkan gaji pegawai negeri. Tetapi gagsan tersebut ditentang oleh khalayak yang digerakkan oleh para koruptor yang sedang dalam pengejaran.

Sebaliknya pada pemerintahan Megawati, semua rencana tersebut menjadi berantakan, korupsi semakin merajalela, bahkan komisi pencegah korupsi seperti KPKPN yang efektif mengontrol kekayaan negara hendak dibubarkan. Ini tidak hanya dikehendaki pemerintah, tetapi kalangan DPR sendiri risau dengan adanya komisi tersebut, sebab selama ini mereka yang paling banyak disorot, karena pertambahan kekayaannya begitu drastis dan tidak masuk akal. Bahkan pada masa megawati semua persoalan bisa dipertukarkan dengan uang. Karena itu politisi seolah diam karena mereka disuap, begitu pula ekonomi seolah berjalan, tidak lain digerakkan oleh mekanisme korupsi, yakni meningkatnya daya beli para koruptor baru sehingga uang beredar dan pasar berjalan. Tetapi ini tidak akan lama.

Saking merajalelanya korupsi, setelah dana utang dari IMF habis dikorup, maka terakhir rezim ini menjual aset negara kepada asing, juga atas perintah IMF yang imperialis. Karena itu Kwik menyarankan memutuskan hubungan dengan IMF karena ia biang segala keterpurukan dan pemandu kegiatan korupsi. Buku ini memang sebagai gerakan moral melawan politik, karena itu diedarkan secara cuma-cuma sebanyak 10 000 eksemplar. Hanya saja pikiran Kwik itu belum diwujudkan sebagi gerakan politik yang sistematis, menghalau korupsi di pemerintah, DPR dan partai politik, juga belum dipersiapkan sebuah gerakan sosial yang terorganisir, yang melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk melawan praktek busuk ini. Kalau tidak gerakan melawan korupsi tidak punya kekuatan karena tidak punya kaki. (M-2)


Terkait