Dewasa ini, muncul arus pengerasan dalam agama berupa keinginan sekelompok orang untuk menjadikan Islam sebagai instrumen formal. Menjadikan Islam sebagai hukum formal yang kaku dan keras, diperbandingkan dengan ideologi bangsa berupa Pancasila dan nilai-nilai kesatuan yang telah terumuskan oleh pendiri bangsa, dalam konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keinginan ini, sejalan dengan keinginan untuk membentuk khilafah, dalam bayangan mereka sebagai operasionalisasi konsep negara berdasar Islam.
Keinginan untuk menciptakan tatanan baru dalam bernegara, kemudian menjadi cara pandang dalam menghayati nilai-nilai Islam. Segala masalah dikembalikan solusinya dengan dalil-dalil Al-Qur'an, sementara problematika sosial sudah melampaui itu, yang membutuhkan ijtihad, serta metodologi hukum berdasarkan kesepakatan ulama (Ijma') maupun Qiyas. Perbedaan pandangan yang cukup tajam inilah, yang kemudian menjadi dinamika dalam masyarakat muslim Indonesia.
Melalui buku ini, Prof. Dr. Umar Syihab, ingin mengajukan sebuah cara pandang dalam memahami Al-Qur'an. Umar Syihab mengajukan perspektif dalam berijtihad, dengan tetap menggunakan Al-Qur'an sebagai acuan dasarnya. Menurut Umar Syihab, ijtihad perlu dipahami dalam kerangka yang positif, bukan dalam rangka bid'ah atau mendekonstruksi pondasi agama.
Ijtihad berasal dari kata Ja-ha-da, yang bermakna mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Dari pemahaman ilmu sharaf, kata ijtihad mengikuti wazan (timbangan) ifti'al yang menunjukkan arti berlebih (mubalaghah) dalam melaksanakan sebuah persoalan. Secara etimologis, dapat diketahui ijtihad bukanlah sebuah usaha yang gampang dan ringan. Untuk memperoleh hasil yang optimal, segenap kemampuan dan daya pikir harus dikerahkan secara padu dan simultan. Itulah sebabnya, sebagian ulama lebih cenderung memakai kata istifragh atau istifragh al-juhd, sebagai penekanan yang mendalam tentang kesungguhan maksimal yang harus dikerahkan dalam aktifitas ijtihad.
Sedangkan, secara terminologis, para ulama berbeda pendapat dalam memahami ijtihad. Ada beberapa pandangan yang dapat menjadi acuan: (1) Muhammad Musa Thawana: ijtihad merupakan segala daya upaya dari seorang ahli hukum Islam untuk menggali hukum-hukum syara' yang berstatus cabang (furu'iyyah) dari dalil-dalilnya. (2) Syaikh Muhammad al-Khudari Beik: ijtihad yaitu mencurahkan kesungguhan dalam menggali hukum syara' dari dalil al-Syar'i sebagai dalil, yakni Al-Qur'an dan Sunah; (3) Al-Allamah Abdullah Darraj: ijtihad merupakan usaha yang dilakukan seseorang dengan segala kesungguhan dan mengerahkan segala kemampuan yang dapat menghasilkan kaidah hukum. Ijtihad di bidang hukum ada dua tingkatan: (a) yang dikhususkan pada seseorang yang memiliki kemampuan atau keahlian yang sempurna dalam berijtihad, (b) ijtihad untuk menerapkan hukum-hukum syara'. Di sini, ada pengkhususan bahwa suatu golongan boleh melakukan ijtihad, sedangkan yang lain tidak (hal. 120-1).
Rasionalisasi Agama
Dalam pandangan Umar Syihab, nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur'an menerobos batas-batas geografis dan demografis dengan segala implikasinya. Serta, menembus lapisan-lapisan kultural dan sosial dengan segala keragaman dan keunikannya. Pada saat yang sama, nilai-nilai Al-Qur'an diperhadapkan pada: (1) keharusan mewujudkan tuntunannya melalui penafsiran yang bersandarkan pada realitas budaya lokal; (2) keharusan mempertahankan kontunuitas dan keautentikannya sepanjang zaman. Dalam hal ini, Umar Syihab mengungkapkan bahwa, dinamika tersebut dapat diatasi dengan tidak menjadikan nilai-nilai Al-Qur'an hanyut dalam tradisi masyarakat, akan tetapi pemahaman dan cara berpikir masyarakat lah yang perlu dirasionalisasi serta disegarkan kembali.
Dengan demikian, penyegaran dalam memahami Al-Qur'an dan Sunah sebagai pondasi utama Islam, dapat menguatkan proses membangun peradaban Islami. Umar Syihab mengidamkan masyarakat yang berkualitas Qur'ani. Dalam argumentasinya, masyarakat yang berkualitas Qur'ani adalah masyarakat yang menghayati realitas sosiologis dan teologisnya secara seimbang. Sehingga, apabila seseorang dikatakan muttaqin (orang yang bertaqwa), maka wujud tertingginya bukan semata-mata terefleksi pada pelaksanaan ibadah-ibadah mahdah yang bersifat individual dan vertikal (hablun minallah), tapi juga ibadah-ibadah ghairu mahdah yang bersifat sosial dan horizontal (hablun minannas) (hal. 213).
Argumentasi penyeimbangan ibadah mahdah dan ibadah ghairu mahdhah inilah yang menjadi perspektif penting, bahwa manusia harus mengutamakan komunikasi dengan Allah, tanpa melupakan fitrah dirinya sebagai makhluk sosial, yang membutuhkan makhluk lain.
Tujuan utama buku ini, adalah bagaimana membuat masyarakat muslim tidak berselisih dan berpecah belah. Semangat, ide, harapan tokoh-tokoh muslim yang bersentuhan dengan pengalaman serta pengetahuan Umar Syihab, menciptakan persatuan dan Ukhuwah Islamiyyah sembari meninggalkan sifat fanatik, hasud dan benci. Penulis buku ini, yang mendapat amanah dalam jajaran Majelis Ulama Indonesia—di Komisi Ukhuwwah Islamiyyah—menjadikan buku ini sebagai acuan untuk persatuan kaum muslim, khususnya dalam memaknai semangat Al-Qur'an.
Data Buku
Judul Buku : Kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir dan Isu-Isu Kontemporer
Penulis : Dr. Umar Syihab
Penerbit : Mizan
Tebal : 464 halaman
Cetakan : November 2015
ISBN : 978-979-433-853-7
Peresensi: Munawir Aziz, peneliti, alumnus Pascasarjana UGM