Pustaka

Keunikan, Kesakralan dan Keasingan "jo"

Rabu, 10 Mei 2017 | 08:15 WIB

Terbitnya buku perdana saya berjudul “Dari Sahur ke Sahur; Catatan Harian Seorang Suami” belum lama ini (2016) akan membuat banyak orang mengetahui bahwa saya dan istri saya saling memanggil “Jo”. Panggilan atau sebutan ini unik sebagaimana ditulis oleh Dr. Ngainun Naim – Kepala Penelitian dan Penerbitan LP2M IAIN Tulungagung dalam endorsement buku. Diakui unik karena menurutnya melambangkan egalitarianisme dalam keluarga. Selain unik, sebutan “Jo” sebenarnya juga sakral meski cukup asing atau membingungkan ketika dihadapkan pada pertanyaan dari kelompok sosial manakah sebutan “Jo” itu berasal.

Secara etimologi, kata “Jo” merupakan bentuk singkat atau sederhana dari kata "Bojo". Kata ini berasal dari bahasa Jawa yang kalau dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia tidak kita temukan. Di sana memang ada kata “suami” dan “istri”, tetapi kata “bojo” bisa merujuk kepada keduanya tanpa membedakan atau memilahkan secara spesifik berdasarkan jenis kelamin. Kata semacam ini dalam linguistik disebut kata “neutral” atau netral dalam bahasa Indonesia. Artinya kata “bojo” bisa bermakna laki-laki bisa pula perempuan sebagaimana kata “I”, “we”, “you”, dan “they” dalam bahasa Inggris.

Dalam bahasa Indonesia “suami” adalah laki-laki yang berlawanan kata dengan “istri”. Hal ini persis sama dengan زوج “zauj” (suami) yang berlawanan kata dengan زوجة “zaujah” (istri) dalam bahasa Arab. Juga persis sama dengan “husband” (suami) dan “wife” (istri) dalam bahasa Inggris. Akan tetapi bahasa Inggris masih memiliki kata lain, yakni “spouse” yang artinya “suami”/”istri”. Kata “spouse” ini tampaknya berpadanan persis dengan kata “bojo”. Tetapi kata “bojo” memiliki makna yang lebih luas dibandingkan dengan “spouse” karena bisa digunakan untuk saling memanggil antara suami dan istri seperti dalam kasus di keluarga saya.

Selain itu, kata “bojo” tidak memisahkan secara diametral antara suami dan istri karena kata tersebut sebenarnya bentuk varian dari kata “garwo” – akronim dari “sigaring nyowo”. Terjemahan frase ini dalam bahasa Indonesia adalah “belahan jiwa". Jadi "bojo" itu belahan jiwa. Sedangkan kata “spouse” dalam bahasa Inggris meskipun berpadanan kata dengan “pasangan” (suami/istri) dalam bahasa Indonesia, namun secara leksikal tidak memiliki sinonim atau morfem yang bermakna "sigaring nyowo" sebagaimana "bojo". Dalam bahasa Inggris memang ada kata “soulmate” yang artinya juga "pasangan", namun maknanya tidak menunjukkan hubungan suami-istri.

Oleh sebab itu, makna “bojo” lebih tinggi daripada kata “spouse” karena secara filosofis kata “bojo” tidak sekedar bermakna pasangan antara suami dan istri dalam konteks sosiologis dan biologis tetapi sekaligus memiliki ikatan emosional yang kuat dan nilai-nilai kesetaraan tinggi yang disebut egalitarianisme. Disinilah letak keunikan kata “bojo” yang tidak ditemukan dalam bahasa lain, khususnya bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris.

Selain unik, sebutan "bojo” bersifat sakral ketika digunakan untuk memanggil seseorang. “Jo" yang berarti “bojo” tidak bisa diucapkan untuk memanggil atau menyapa sembarang orang kecuali mereka telah menjadi pasangan suami istri melaui perkawinan yang sah. Jika saya memanggil anda “jo” sungguh ini adalah perbuatan serong karena saya meyakini sebutan atau panggilan ini hanya bisa saya ucapakan kepada istri saya. Dan jika anda menjawab panggilan saya juga dengan “jo”, maka ini adalah perselingkuhan. Maka jangan sekali-kali memanggil saya “jo”. Jadi disinilah letak kesakralan “Jo”.

Tetapi memang jika dihadapkan pada pertanyaan dari kelompok sosial mana sebutan “jo” itu berasal, maka banyak orang akan mengalami kebingungan untuk menjawab, atau setidaknya merasa lucu mendengar sebutan yang masih asing itu. Selama ini umumnya orang Jawa memanggil pasangannya tidak dengan kata “Jo”, tetapi misalnya dengan: “Papa”, “Mama”, “Abah” atau “Abi”, “Umi”, atau "Pak" , "Bu" atau “Pakne”, “Bune”, "Bapake", "Mboke", dan sebagainya yang masing-masing menunjukkan kelompok sosialnya yang khas.

Sudah jamak diketuai bahwa “Papa” dan “Mama” itu menunjukkan kelompok sosial orang-orang mapan dari kelas sosial menengah ke atas yang dalam kesehariannya berbicara dalam bahasa Indonesia kepada pasangannya. Sedikit atau jarang dua kata ini dipakai untuk saling memanggil pasangan dari kelompok sosial orang-orang miskin atau kalangan bawah. Berbeda dengan “Papa” dan “Mama”, maka “Abah” atau “Abi” dan “Umi” menunjukkan kelompok sosial orang-orang yang memiliki ikatan budaya dengan Timur Tengah, atau kelompok santri dari komunitas Islam, seperti pesantren atau majlis ta’lim.

Lalu bagaimana dengan “Jo”? Para pakar sosiolinguistik mungkin juga belum bisa menjawab pertanyaan ini karena kata “Bojo” digunakan untuk memanggil pasangan masih sangat langka atau asing sehingga belum menjadi fenomena bahasa dalam hubungannya dengan masyarakat pemakainya. Tetapi sabagai orang yang pernah mempelajari sedikit tentang sosiolinguistik, saya akan mengusulkan sebuah jawaban bahwa “Jo” atau “Bojo” berasal dari kelompok sosial orang-orang Jawa yang mempraktekkan kesetaraan antara suami dan istri dalam kehidupan berkeluarga sebagaimana yang sudah saya jalani selama 25 tahun.

Jawaban saya di atas berdasar pada pengalaman pribadi dan pengamatan kepada beberapa orang lain yang secara sengaja atau tidak sengaja sama dengan saya dalam memanggil pasangan dengan sebutan “Jo”. Mereka adalah teman saya yang menikah dengan suaminya kira-kira 8 tahun setelah pernikahan saya dengan istri saya. Selain itu adalah adik ipar saya yang menikah dengan istrinya kira-kira 17 tahun setelah pernikahan saya.

Baik pasangan teman saya dengan suaminya maupun pasangan adik ipar saya dengan istrinya serta pasangan saya dengan istri saya adalah orang-orang Jawa yang dalam keseharian berbicara dalam bahasa Jawa ngoko kepada pasangan masing-masing. Artinya kami semua memilih hubungan setara dengan pasangan masing-masing meskipun kami semua sebenarnya memiliki genealogi keilmuan dengan pesantren yang tak bisa dibantah dan genealogi kekerabatan dengan beberapa pimpinan pesantren sekaligus tokoh agama yang disebut kiai.

Dengan terbitnya buku saya di atas barangkali akan ada satu atau dua orang yang akan terinspirasi untuk memanggil pasangannya dengan kata “Jo” atau “Bojo”. Hal ini tidak perlu dicemaskan sebab sebagaimana uraian saya di atas, sebutan “Jo” memang layak diapresiasi karena memiliki makna yang sangat dalam yakni kesetaraan antara suami dan istri. Disamping itu sebutan "Jo" sesunguhnya tidak berbeda dengan ketika seorang anak memanggil ayahnya "Bapak" dan memanggil ibunya "Ibu" karena ini berarti memanggil seseorang sesuai dengan kedudukannya dalam keluarga. Inilah yang disebut relasi dalam keluarga.

Sepertinya memang keadilan, keharmonisan dan sikap saling menghargai antara suami dan istri akan lebih kokoh ketika dibangun di atas pondasi kesetaraan sebagaimana terkandung dalam makna kata "Jo" atau "Bojo" di atas. Kesetaraan antara sesama manusia sesungguhnya telah lama diserukan di dalam Al-Qur'an, surah Al-Hujurat, ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Data Buku
Judul Buku: Dari Sahur Ke Sahur; Catatan Harian Seorang Suami
Penulis    : Muhammad Ishom
Editor       : Shofi P. Astiti
Penerbit   : CV Republik Sukses Indonesia, Jakarta, 2016 (Cetakan Kedua)
Tebal       : xvi + 166 hlm; 12x18 cm
ISBN        : 978-602-6402-04-2
Peresensi: Muhammad Ishom, adalah dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta


Terkait