Pustaka

KH Muh Harisah Benteng Aswaja di Sulawesi Selatan

Senin, 15 Juni 2015 | 12:02 WIB

KH Afifuddin Harisah, pimpinan pesantren An-Nahdlah Makassar dalam bukunya yang bertajuk “Kearifan dalam Bingkai Aswaja; Tazkirah Gurutta KH Muh Harisah, AS Pejuang dan Benteng Aswaja di Sulawesi Selatan” mencoba memotret kepribadian Gurutta Harisah lewat ulasan-ulasan, anekdot-anekdot dan kajian filosofis tentang pikiran,<> nasehat serta sikap beliau yang menutur Penulis sebagai bentuk “kearifan” yang mulai terkikis saat ini. 

Menurut penulisnya, buku ini berangkat dari “permintaan” dari Gurutta Harisah ketika membaca buku yang sangat tebal dan berisi materi yang sangat berat, Gurutta berkata kepada penulis, “Bikin ko buku yang bisa nanti nabaca (dibaca) anak-anak alumni dan santri. Bisa menjadi pegangan keaswajaan mereka selepas dari pesantren. Jangan terlalu tebal. Jadi kalau mulai dibaca di lounge bandara, dibaca lagi di pesawat, pas tiba nanti di Jakarta, tamat juga buku itu. Jangan juga bikin mappuru enninge (dahi berkerut) membacanya, bikin pening kepala.” (halaman v-vi)

Dalam buku ini, penulisnya mencoba memotret kepribadian Gurutta Harisah, dimana dalam kesehariannya selalu memberi contoh untuk hidup jujur dan konsistensi (istiqamah) dalam bersikap, bahkan kejujuran pada persoalan kecil pun Gurutta selalu mencontohkan. Ketika mengajarkan satu bab tentang pentingnya menjaga lisan, dalam Kitab Maraqi al-Ubudiyah, beliau menekankan, “Jangan sekali-kali kamu berbohong dan ketahuan orang berbohong, karena kapan kamu ketahuan berbohong, orang tidak akan pernah percaya kepadamu, bahkan saat kamu jujur sekalipun”. (halaman 3-4)

Kaitannya dengan jujur, Gurutta Harisah memiliki falsafah hidup sebagai orang Bugis Bone, yaitu: Taro ada taro gau, sisebbu ada seddi gau, gaue mappannessa artinya satukan kata dan perbuatan, walau seribu kata-kata namun satu perbuatan, maka perbuatan itulah yang menentukan kebenaran.

Kemudian, dalam buku ini diungkapkan tentang pola hidup sederhana Gurutta Harisah, dimana ketika terbentur pada pilihan yang dilematis, Gurutta sering berkata: “Pakkonitu, aga we musappa, pada muwa, syukkuruno nasaba engka mua” artinya sudah begitu saja, apa yang kamu cari, intinya sama saja, syukurlah karena ada walaupun tidak seperti yang dibayangkan. Demikian kalimat ini menggambarkan kesederhanaan Gurutta, karena Gurutta itu simple, nggak neko-neko kata orang Jawa. (halaman 13-14)

Dewasa ini masyarakat digandrungi budaya mengoleksi batu mulia, namun tidak banyak yang tahu bahwa Gurutta adalah pencinta dan kolektor batu mulia. Tidak tanggung-tanggung, batu mulia yang dikoleksi beliau merupakan jenis yang boleh dibilang high level, bukan pasaran. Mulai dari akik, safir, ruby, fairuz, giok, dan sebagainya beliau miliki. Meski demikian, Gurutta sama sekali tidak meyakini tuah atau khasiat tertentu pada batu mulia yang mengarah pada kepercayaan mistis. Bagi beliau, batu mulia adalah batu mulia, tidak lebih dari sekedar perhiasan. Tidak hanya itu Gurutta juga memiliki hobi mattompang badik, mattompang adalah salah satu cara perawatan badik, senjata tradisional Bugis Makassar dengan menggunakan jeruk nipis. (halaman 106-107)

Di sisi lain dari buku ini, penulisnya mengulas tentang janggut, suatu ketika Gurutta Harisah didatangi sekelompok orang dari ormas Islam di Makassar dengan berpenampilan majjanggo (berjanggut), dan berpakaian ala Pakistan. Dia berkata kepada Gurutta “Pak Kiai kami kenal Bapak sebagai ulama, Bapak pengasuh pesantren yang cukup dikenal masyarakat di kota Makassar ini. Tentunya Bapak tahu betul dalil-dalil yang mengharuskan kita laki-laki Muslim untuk memanjangkan janggut sebagai sunnah nabi, trus kenapa Pak Kiai tidak mengamalkan sunnah ini? Kenapa Bapak tidak memelihara janggut, padahal Bapak lumayan gagah lho kalau berjanggut? Saya bisa tunjukkan dalil-dalilnya Pak Kiai!”

Gurutta Harisah menjawab: “Ustadz, tidak ada yang mengingkari ajaran janggut ini. Kalau dibuka semua kitab hadis yang mu’tabar pasti banyak menyebutkan adanya perintah nabi untuk memanjangkan janggut dan memang nabi juga berjanggut, sangat jelas itu adalah sunnah. Tapi kenapa saya pribadi tidak berjanggut? Begini, yang namanya sunnah adalah pilihan? Bukan wajib, bukan fardhu ‘ain yang disepakati ijma ulama. Mau berjanggut atau tidak bukanlah paksaan dalam agama. Itu satu hal.”

Hal yang kedua, saya pernah minta izin kepada istri saya untuk memelihara janggut. Istri saya protes dan menolak permintaan saya. Dia sama sekali tidak suka kalau saya berjanggut. Pastinya dia akan marah besar kalau ada janggut menjulur di wajah saya. Tentunya ini adalah hak istri atas suaminya. Bagi saya, dan ini adalah nilai agama yang sifatnya prinsip, bahwa mempertahankan kebahagiaan dan keharmonisan rumah tangga adalah wajib. Membahagiakan istri adalah kewajiban suami, demikian pula sebaliknya. Nah, salah satu syarat kebahagiaan rumah tangga adalah tidak memperbuat hal-hal yang menyakiti atau mengecewakan pasangan kita. Saya tanya kepada Ustadz, mana lebih penting atau lebih diutamakan, “wajib”nya membahagiakan istri atau “sunnah”nya berjanggut? Pertanyaan itu ternyata membuat si ustadz terdiam, kemudian Gurutta mengutip perkataan Ali bin Abi Thalib yang artinya “Janganlah kalian diperdaya oleh janggut, karena sesungguhnya kambing pun memiliki janggut”. (halaman 117-120).

Dan akhirnya, masih banyak kisah inspiratif dari Gurutta Harisah yang dituangkan dalam buku ini, kisah keseharian sampai pada masalah-masalah kenegaraan dan sikap beliau tentang pentingnya hidup wara’, karena Gurutta selalu mengingatkan semua santri dan jamaah pesantren An Nahdlah untuk berhati-hati dalam menghadapi godaan duniawi. Sikap beliau sangat jelas dan tegas, menolak segala yang syubhat, yang meragu-ragukan, terlebih yang haram. Nasihatnya, “Aniniko, nasaba iyyamitu salama to maninie” maksudnya hendaklah anda bersikap hati-hati dan menghindari yang haram, karena hanya orang-orang yang bersikap demikianlah yang akan selamat. Wallahu a’lam 

Data buku

Judul buku : Kearifan dalam Bingkai Aswaja; Tazkirah Gurutta KH Muh Harisah, AS Pejuang dan Benteng Aswaja di Sulawesi Selatan
Penulis : Dr KH Afifuddin Harisah (Pimpinan Pondok Pesantren An-Nahdlah Makassar)
Editor : Khairunnisa
Penerbit : Lembaga Ladang Kata, Yogyakarta
Cetakan : 2015
Tebal: xii + 168 Halaman
ISBN : 978-602-1093-15-3
Peresensi : Andy Muhammad Idris, mahasiswa pasca sarjana (S2) Universitas Islam Makassar


Terkait