Saya mendapatkan kitab ini sebagai hadiah dari al-Fadhil Abdul Jawwad Masthuro, cucu pengarang kitab ini yang juga mahasiswa program pascasarjana magister (PPM) Islam Nusantara di UNUSIA Jakarta pada awal bulan Maret lalu.
“Kaifiyyatus Shalât” berisi tuntutan melaksanakan sembahyang (bershalat) menurut fiqih madzhab Syafi’I, termasuk di dalamnya adalah hal-hal yang berkaitan dengannya, seperti syarat sah, syarat wajib, rukun, sunnah, makruh, perkara-perkara yang membatalkan shalat, doa-doa yang dianjurkan untuk dibaca, dan lain-lain.
Kitab ini juga menghimpun kutipan-kutipan dalil dari berbagai macam kitab fiqih madzhab Syafi’i, mulai dari kitab-kitab generasi klasik (qudamâ) hingga kekinian (muta’akhkhirîn), terkait permasalahan shalat. Kutipan-kutipan tersebut berbahasa Arab, dan diterjemahkan secara interlinier dalam bahasa Sunda beraksara Arab (dikenal dengan “remyak” atau “makna gandul”).
Tidak ada keterangan kapan karya ini diselesaikan. Kitab ini dicetak dalam format litografi (cetak batu) oleh Pondok Pesantren Almasthuriyyah, Sukabumi, yang juga tanpa keterangan tahun cetak. Dalam ersi cetakan tersebut, kitab ini berada dalam tebal 89 halaman.
Dalam muqaddimah kitab, dikatakan bahwa karya ini adalah “himpunan petunjuk dan penuntun dalam tatacara bersembahyang, yang penyuntingannya dilakukan oleh Haji Muhammad Masthuro. Tampaknya, yang membuat kata pengantar pun bukan Ajengan Masthuro sendiri. Tercatat dalam halaman pembuka;
(Maka ini adalah nukilan-nukilan yang penting dalam menerangkan tatacara shalat. Telah dinukilkan oleh seorang Syekh yang Alim nan Arif Billah, Haji Muhammad Masthuro. Semoga pengampunan Allah senantiasa padanya, dan semoga Allah memberikan kita manfaat dengan sosoknya dan ilmunya. Amin YRA).
Di antara referensi yang menjadi acuan Ajengan Masthuro dalam menyusun karya ini adalah “Hâsyiah al-Bayjûrî” karangan Syekh Ibrâhîm al-Bayjûrî al-Azharî, “Syarh Fathul Mu’în” karangan Syekh Zainuddîn al-Mâlibârî dan hasiyiah-nya “I’ânah al-Thâlibîn” karangan Syekh Abû Bakar Muhammad Syathâ, “Syarh al-Manhaj al-Qawwîm” karangan Ibn Hajar al-Haitamî, “Ihyâ ‘Ulûmid Dîn” karangan al-Imâm al-Ghazzâlî, “al-Adzkâr al-Nawawiyyah” karangan al-Imâm al-Nawawî al-Dimasyqî, “Murâqîl-‘Ubûdiyyah” karangan Syekh Nawawi Banten, dan lain-lain.
Kitab-kitab di atas tentu tidaklah asing bagi kalangan santri tradisional (NU), karena kitab-kitab tersebut menjadi bahan ajar pokok dalam bidang fiqih di pesantren-pesantren tradisional di Nusantara yang bermanhajkan Ahlussunnah wal Jama’ah (Nahdlatul Ulama).
Ajengan Masthuro Sukabumi termasuk salah satu tokoh dari Tatar Pasundan yang berlatar belakang pesantren tradisional NU ini. Beliau adalah murid dari beberapa ajengan Sukabumi terkemuka pada masanya, seperti Ajengan Sanusi (Gunung Puyuh), Ajengan Muhammad Shidiq (Sukamantri, Cisaat), Ajengan Munajat (Pintuhek), Ajengan Ghozali (Cimahi, Cibadak), Ajengan Hasan Bashri (Cicurug), dan lain-lain.
Masa pengangsuan kaweruh Ajengan Masthuro dari guru-gurunya tersebut berlangsung dari tahun 1911 hingga 1920 M, untuk kemudian pada tahun 1920 beliau mendirikan Pesantren Almasthuriyyah di Kampung Tipar, Cisaat, Sukabumi. Ajengan Masthuro wafat pada tahun 1968 M. Tampuk kepemimpinan pesantren pun diteruskan oleh salah satu putra beliau, yaitu Ajengan Endin Fakhruddin Masthuro (1938—2012), yang juga pernah menjabat Rais Syuriah dan Mustasyar PBNU. (A. Ginanjar Sya’ban)