Pustaka

Memperkokoh Peran NU Terhadap Negara

Senin, 26 Juli 2010 | 03:53 WIB

Judul Buku : NU dan Keindonesiaan
Penulis : Mohammad Sobary
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : 1, 2010
Tebal : xviii + 258 halaman
Peresensi : Imdad Fahmi Azizi*


Sejak didirikan oleh Hadratussyeikh KH Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai kharismatik di Surabaya pada tahun 1926, NU mendapat banyak simpati dari berbagai kalangan karena kemampuannya mempertahankan dan menyeimbangkan antara kekuatan tradisionalisme dan budaya modern (almukhafadhatu alal qadimis sholeh wal akhdu bil jadidil ashlah). Disisi lain, tradisionalisme NU mampu mengarahkan umatnya untuk bersikap toleran, menghormati agama lain, serta menghindar dari sikap fundamentalisme dan radikalisasi.<>

NU menampilkan Islam yang akomodatif (moderat), berarti kesediaan menerima sikap dan pemikiran pihak lain dengan terbuka menciptakan jalan tengah. Tidak hanya dalam hal pemikiran keagamaan,  tapi kecenderungan akomodatif ini juga tercermin dalam sikap dan perilaku kebudayaan warga NU untuk menjadi penggerak kehidupan umat dalam sehari-hari sehinggga menjadi pelindung bagi kaum minoritas.

Sehingga sejarah telah mencatat, bahwa NU merupakan warisan para pejuang kemerdekaan dan salah satu ‘pemegam saham’ bagi lahirnya Republik ini. Sebagai ormas Islam terbesar, NU sudah lahir jauh sebelum republik berdiri. NU tetap setia menjaga Pancasila dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadi kekuatan civil society (kekuatan sipil) yang menempatkan kemaslahatan dan kesejahteraan rekyat sebagai tujuannya. Di samping itu, NU dapat menjadi  lokomotif bagi arah kebangsaan di masa depan, sehingga mampu memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas dan menjadi pelopor pembentukan identitas keindonesiaan (nation-character building) (hlm.132-135).

Bersama dengan Muhammadiyah, NU selalu konsisten dengan sikapnya yang akomodatif sehingga dipandang sebagai pilar utama Islam moderat. Keduanya menghargai pluralitas bangsa dan dialog antar agama yang merupakan cerminan harmonisasi antara tradisi kultural dan ajaran agama. Juga NU menekankan keserasian hidup di tengah lingkungan masyarakat yang begitu majemuk.

Begitu juga waktu dibawah kepemimpinan Gus Dur (1984-1999), NU telah diperkenalkan ke dunia nasional bahkan internasional. NU yang sebelumnya dikenal kaum sarungan dengan adat tradisional mampu mengangkat nilai-nilai ke-NU-an yang moderat dan anti kekerasan. Waktu itu, Gus Dur tiba-tiba menjelma sebagai tokoh yang disegani dan kharismatik dimata lawan maupun kawan khususnya rezim Orde Baru, belakangan Gus Dur dijadikan jimat NU. Dengan kata lain, NU tidak bisa dipisahkan dengan nama Gus Dur. 

Oleh sebab itu, Gus Dur mulai memperkenalkan wajah Islam Indonesia yang moderat dan damai kian relevan ketika dunia dihadapkan pada pelbagai bentuk ekstremisme dan fundamentalisme yang ujungnya adalah terorisme. Memperkuat moderasi kutural seraya melebarkan perhatian pada moderasi struktural merupakan tantangan NU di masa depan. NU harus tetap bergerak dan mampu berdiri di dua kesadaran sekaligus, yakni tradisi dan kemodernan. NU masa kini dan masa depan diharapkan tetap menjadi generasi yang mampu mempertautkan kearifan tradisi dan kemanfaatan modernitas. Oleh karenanya, diperlukan peran NU untuk lebih berani secara terbuka melakukan penyebaran moral (etika) dengan instrumen yang lebih kongkret terutama bagi para elite negeri ini.

Dengan kembali ke Khittah 1926 dan penerimaan Pancasila sebagai kerangka dasar bernegara menempatkan NU pada posisi aman terhadap penguasa. NU menjadi jangkar nasional sehingga mampu memainkan peranannya untuk menjadi kekuatan budaya dan mampu memperkuat masyarakat sipil (civil society). Didalam tubuh tradisi ke-NU-an, Gus Dur melihat potensi pesantren yang progresif dengan mengistilahkannya sebagai agen perubahan. Keunikan pesantren ini merupakan modal sosial yang sangat berharga.

Karena itu, NU harus memperkuat peran kiai yang berfungsi sebagai ulama (cleric) sekaligus cultural broker (makelar kebudayaan)- bukan political broker ataupun menjadi political operative pemodal yang membutuhkan mereka. Karena diakui atau tidak, NU selama ini terkesan terlalu elitis-politis, kurang populis.

Menurut refleksi Mitsuo Nakamura, pemerhati NU dan Profesor Emeritus Chiba University, Jepang yang harus dikembangkan oleh pucuk pimpinan NU adalah menjadikannya sebagai gerakan agama, pendidikan, dan sosial, yaitu gerakan moral force ; penegakan sejati Pancasila sebagai dasar negara ; pembelaan hak minoritas golongan serta penegakan keharmonisan dan integrasi antar golongan, etnis, dan agama. Ini semua adalah konsekuensi dari kembali le khittah 1926. Sehingga ulama NU dapat meneruskan dan mengembangkan warisan Gus Dur ke tahap yang lebih kuat dan lebih tinggi pada hari depan. (hlm.226-228)

Peran kunci yang juga diharapkan dari NU adalah dalam bidang ekonomi. Selama ini peran tersebut masih belum menonjol. Kaum Nahdliyin dan pesantren selama ini banyak bergelut dengan usaha kecil-menengah dan sektor pertanian, seharusnya NU memiliki potensi yang besar sebagai salah satu kekuatan ekonomi umat. Para pimpinan NU diharapkan mampu mengembangkan semangat kewirausahaan di pesantren. Semangat itu bisa digali dari salah satu sejarah pergerakan ini, di mana pernah muncul gerakan kaum saudagar  (Nahdlatut Tujjar) yang berperan penting memperjuangkan ekonomi umat.

Memang selama ini, NU kurang memberikan perhatian pada problem liberalisasi ekonomi, kapitalisme, neokolonialisme, yang menjadikan masyarakat pedesaan yang merupakan basis NU semakin dimarginalkan. Hal tersebut mestinya mendorong NU makin berperan dalam mewujudkan ekonomi rakyat berbasis sumber daya lokal. Dalam rangka menjalankan ekonomi tersebut setidaknya ada dua level ekonomi yang oleh NU harus diperhatikan, yakni level makro dan mikro dengan melakukan kontrol, advokasi dan pemberdayaan.

Buku yang ditulis oleh Kang Sobary seorang budayawan ini sangat menarik untuk dikaji kembali dan dijadikan referensi bagi peneliti NU tentang perannya. Buku ini juga berisi komentar-komentar dari tokoh Republik ini terhadap kiprah NU dan harapan mereka terhadap perannya bagi Indonesia terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, politik dan ekonomi kerakyatan.
   
*Peresensi Adalah Koordinator Komunitas Penulis Nurul Jadid (KPNJ), Paiton, Probolinggo Jawa Timur


Terkait