Penulis: James Fadiman dan Robert Frager Al-Jerrahi
Penerjemah: Helmi Mustafa
Penerbit: Pustaka Al-Furqan, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Desember 2007
Tebal: Lxxiv + 348 hlm.
Peresensi: Adi Kusno
Istilah sufi, barangkali sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bahkan, sudah mengakar di benak-benak kita sampai memiliki ruang tersendiri dalam setiap individu kita masing-masing. Mendengar istilah sufi, sepertinya ada sesuatu yang sampai saat ini dirasakan janggal, yang menjadi polemik sejarah. Sebab, sufi selalu diartikan sebagai orang yang sudah lupa akan sifat duniawi, sinting (gila), dan menganggap hanyalah Tuhan yang ada. Namun, pada kenyataannya, tidak demikian, sebab sufi itu sendiri adalah proses seseorang dalam pencariannya menuju yang Satu,<> yang Maha Segalanya.
Dalam catatan sejarah, orang yang sampai pada tingkatan sufi sering disebut ahli suffah. Bahkan, banyak orang menjadikannya figur dalam mengarungi bahtera kehidupan. Namun, sebaliknya banyak juga yang menganggapnya sebagai orang yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Sebab, mereka hanya berpikir tentang Tuhan semata. Tanpa menoleh ke belakang bahwa pada dasarnya mereka juga adalah manusia. Melihat realitas demikian, nampaknya, sufi hanya diartikan sebagai orang yang hanya berpikir tentang Tuhan. Akan tetapi, pada kenyataannya, mereka hanya ingin mencapai puncak spiritual di mana, ia bisa menyatu dengan "Tuhan".
Sesungguhnya, banyak orang telah melupakan atau bahkan tak mau tahu tentang nilai-nilai dan esensi ajaran Islam itu sendiri. Mereka hanya melihat sebelah mata saja tentang ajaran Islam. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh besar terhadap dunia esoteris (dalam batin) mereka. Selain itu, juga kepada dunia eksoteris (luar batin) mereka. Karena, pada intinya, Islam adalah agama yang mengajarkan ketaatan, kepatuhan, dan sikap pasrah penuh pada sang Khalik di satu sisi. Di sisi yang lain, sebenarnya Islam sangat mengahargai manusia. Jadi, sebenarnya Islam mengajarkan pada kita untuk menjadi seorang sufi, berhubungan langsung dengan Tuhan (vertikal), tapi juga tidak melupakan bahwa mereka adalah makhluk dunia yang harus hidup dan berinteraksi dengan sesama (horisontal).
Pada hakekatnya, sufisme adalah jalan menuju kebenaran, ketaatan, pengetahuan dan cinta kepada Tuhan. Dan, esensi Tuhan adalah cinta dan jalan sufi adalah jalan cinta. Dengan tujuan agar tercipta dan terbentuk kesalehan individual sekaligus kesalehan sosial. Yang kemudian lazim diartikan sebagai suatu jalan di mana seseorang itu bisa sampai pada tingkatan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, merupakan suatu jalan untuk sampai pada tujuan utama "Tuhan". Dari sinilah, tampak bahwa sebenarnya sang sufi ingin menawarkan dan mengembalikan manusia pada tujuan utama tersebut. Salah satu sufi terkemuka Syekh Muzzafir Ozak, pernah mengatakan bahwa sufisme tanpa Islam bagaikan sebuah lilin yang menyala di ruang terbuka tanpa lentera.
Sufi adalah mistikus dalam Islam, bahkan setiap muslim percaya dan yakin kelak ia akan melihat Tuhan setelah mati. Tapi, lain halnya dengan sufi, ia adalah orang tidak sabar akan hal itu, dan ia ingin melihat Tuhan di alam nyata dengan cara melakukan ikhtiar-ikhtiar, zikir dan amalan-amalan tersendiri yang bisa mengantarkannya untuk sampai kepada Ilahi. Namun, yang terpenting adalah taqorrub dan takwa pada Tuhan di mana saja kita berada, sebab tidaklah mudah untuk melakoninya. Ada statemen yang menyatakan bahwa manusia adalah sufi, sebab ia adalah para pencari Tuhan. Walaupun stetemen itu tidak selamanya benar.
Karena itu, dalam buku ini sebenarnya mengandung muatan-muatan yang cukup monumental dan ingin menawarkan manusia untuk menjadi sang sufi walaupun tidak sepenuhnya sufi. Dan, buku ini juga sangat cocok untuk dijadikan pilar dalam mengarungi perjalanan panjang menuju yang Satu dan Segalanya. Selain itu, James Fadiman dan Robert Frager, dalam bukunya, ingin mengajak kita untuk bersama-sama mencapai puncak kesucian. Di samping itu, buku ini hadir untuk mengembalikan citra seorang sufi dalam mencari Tuhan. Sebab, sebagaimana yang kita pahami bahwa sufi adalah jalan untuk meninggalkan manusia.
Akan tetapi, dalam mengarungi jalan sufi menuju yang Satu, ada beberapa hal yang harus dilakukan. Sebab, ia adalah pondasi dan cara yang tidak boleh dilupakan dalam melakukannya, yaitu, syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Inilah pilar yang harus dijalani dan dilakukan pertama kali oleh seorang sufi. Syariat merupakan pilar dasar untuk para sufi. Sebuah jalan yang harus ditempuh dan diikiut setiap orang (sufi). Tarekat adalah bentuk riilnya (praktik) dan laku batin sang sufi. Hakikat merupakan makna terdalam dan pengalaman langsung seorang sufi dari kehadiran Tuhan dalam dirinya. Pernah diungkapkan oleh ahli suffah bahwa syariat bagaikan lautan, tarekat bagikan perahu, dan hakikat bagikan mutiara yang berada di tengah lautan itu. Jadi, untuk mendapatkan mutiara itu harus melalui jalan-jalan tersebut. Karena, tanpa melalui jalan itu, maka bagaikan berlayar di tengah lautan yang membentang luas yang tak ada arah dan tujuannya. Dan, terakhir adalah makrifat merupakan akhir dari segala perjalanan panjang yang dicita-citakan. Pada tingkatan inilah yang sering disebut dengan puncak kearifan atau pengetahuan tentang kebenaran spiritual. Bukan hanya sekedar pengalaman spiritual sesaat, tetapi sudah mengarah pada kondisi keselarasan dengan Tuhan. Dan, pada level ini juga, sang sufi sudah menyatu dengan Tuhan dan mengakui semuanya adalah Tuhan.
Peresensi adalah Mahasiswa Fakultas Syari'ah Program Studi Keuangan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta