Penulis : H M. Ridwan Tasa
Penerbit : Pustaka Timur, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2009
Tabal : viii + 154 halaman
Harga : Rp 30.000,-
Peresensi : Supriyadi*
Pemuda adalah satu tahapan dari manusia yang mana pada masa tersebut, manusia berpikir kritis dan segar dalam pemikirannya serta berprinsip untuk mempertahankan ideologi. Pemuda dalam kajian psikologi adalah suatu tahap di mana seseorang itu berada dalam masa remaja yaitu antara 14-21 tahun. Hal itu dikemukakan oleh folosof Aristoteles.<>
Merujuk pada pendapat Mantessori, usia 12-18 tahun adalah periode penemuan diri dan kepekaan sosial dan pada usia 18 tahun ke atas adalah periode pendidikan tinggi. Berbeda lagi menurut pandangan J.J. Rousseau yang berpendapat bahwa seseorang pada usia 12-15 tahun adalah masa pendidikan akal sementara usia 15-20 tahun adalah masa pembentukan watak dan agama. Dalam konteks nasionalisme, pemuda adalah orang yang dengan jiwa muda membela tanah airnya sendiri serta menjunjung tinggi nasionalisme terhadap tanah air.
H M. Ridwan Tasa dalam bukunya yang berjudul Pemuda dan Nasionalisme; Refleksi 101 Tahun Kebangkitan Nasional menyoroti peran pemuda dalam konteks nasionalisme yang mana mampu memacu dan memicu perjuangan rakyat Indonesia untuk terbebas dari segala penindasan bangsa asing. Dalam buku tersebut, dipaparkan pula sejarah pemuda Indonesia dalam mengobarkan perjuangan melawan kaum kolonialis-imperialis yang mana telah merampas hak-hak rakyat Indonesia.
Secara terus terang, nasionalisme pemuda Indonesia lahir karena tekanan dan penderitaan sebab penindasan dari kaum penjajah. Sistem tanam paksa, pungutan pajak yang terlalu tinggi, serta penindasan-penindasan lainnya telah melahirkan forum-forum rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan. Akan tetapi, siapa saja yang dianggap melawan kaum penjajah, pasti ia akan segera mendapatkan hukuman. RM. Soewardi Soeryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara adalah salah satu contohnya. Tulisannya yang berjudul “Seandainya Aku Orang Belanda”, dengan tajam mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda di Indonesia saat itu. Karena dianggap berbahaya, Soewardi pun dihukum.
Demikian juga yang terjadi pada Dr Cipto Mangunkusumo yang juga lantang menuliskan kritikan-kritikan tajam terhadap pemerintah Belanda. Bahkan, Douwes Dekker yang berkebangsaan Belanda pun dihukum karena dianggap membahayakan kepemerintahan pihak kolonial.
Perjuangan-perjuangan mereka adalah tindakan yang mendorong dan memicu rakyat Indonesia untuk menyatakan satu nusa, satu bangsa. Pemuda-pemuda itu tidak gentar meskipun akhirnya mereka dijatuhi hukuman, baik hukuman penjara ataupun hukuman buang ke tempat yang asing, yakni di luar pulau Jawa. Tindakan para pemuda tersebut melambangkan sikap nasionalisme mereka terhadap bangsa.
Kebangkitan nasional yang dimulai dari lahirnya Budi Utomo (1908) adalah satu gerakan nasionalisme yang mana dipelopori oleh para pemuda Indonesia. Sementara sumpah pemuda pada tangga 28 Oktober 1928 merupakan teladan sikap nasionalisme pemuda terhadap tanah air Indonesia. Kedua peristiwa bersejarah itu, digerakkan oleh kaum muda yang menginginkan kebebasan dan kemerdekaan secara mutlak tanpa intervensi dari bangsa asing.
Perjuangan pun terus bergulir, yang mana pada 17 Agustus 1945 Indonesia telah resmi berdiri sebagai sebuah bangsa yang berdaulat penuh atas hak-haknya. Hal itu juga dimotori oleh kaum muda nasionalis. Peristiwa Rengas Dengklok adalah satu contoh kaum muda yang menculik Soekarno karena keinginan mereka untuk segera merdeka. Soekarno pun akhirnya membacakan teks proklamasi dengan disambut rasa kebebasan dan kemerdekaan pada pihak rakyat.
Prahara Mei 1998, masih tersimpan dalam ingatan publik mengenai lahirnya reformasi. Para mahasiswa Trisakti, tentunya adalah representasi dari gigihnya perjuangan pemuda yang pada saat itu, orde baru ditumbangkan. Meskipun peristiwa itu telah memakan korban, akan tetapi peristiwa itu terkenang dan menjadi simbol kegigihan para pemuda.
Pemuda Progressif-Revolusioner
Melihat dari uraian sejarah perjuangan para pemuda pada masa penjajahan, seharusnya kaum muda pada masa kini menjadi penerus dari pada perjuangan kaum muda dahulu. Jika kaum muda dahulu begitu gigih dalam perjuangannya untuk merdeka dan bebas dari belenggu penjajah, pemuda di masa sekarang juga harus gigih untuk mengaktualisasikan kemerdekaan menjadi pilar kemajuan bangsa.
Bagi bangsa Indonesia, faktor pemuda merupakan wujud kekuatan potensial yang selalu menunjukkan kehadirannya dalam seriap peristiwa sejarah perjuangan bangsa. Kualitas pemuda ialah investasi utama bagi bangsa untuk memenuhi tuntutan politik dalam lingkungan globalisasi yang kian tak terelakkan (hal. 130).
Sejarah telah mencatat bahwa kaum muda juga berperan dan berpartisipasi aktif dalam setiap gerakan politik untuk mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa dan negara. Sebagai contoh, Soekarno aktif dalam gerakan politik ketika ia baru berusia 16 tahun dan masih duduk di bangku HBS. Begitu juga dengan Moh. Hatta yang juga aktif sejak masih belia (muda). Bahkan Syahrir ketika aktif di Bandung memimpin “Golongan Merdeka”, baru berusia 23 tahun, dan menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama ketika masih berusia 35 tahun.
Pemuda sekarang harus lebih maju dan lebih gigih dalam memperjuangkan kemajuan bangsa. Sosok pemuda ideal bagi bangsa Indonesia adalah sosok pemuda yang berjiwa nasionalis, yang mempunyai cita-cita tinggi untuk kemajuan bangsa. Pemuda tersebut adalah sosok yang progressif-revolusioner.
Dengan membaca buku yang berjudul Pemuda dan Nasionalisme; Refleksi 101 Tahun Kebangkitan Nasional, para pembaca diajak untuk ikut mengobarkan gairah nasionalisme pemuda yang belakangan para pemuda tidak sadar bahwa di pundak merekalah masa depan bangsa. Sementara budaya hedonisme kini telah meracuni darah-darah muda Indonesia. Gairah nasionalisme harus kembali dikobarkan pada jiwa pemuda Indonesia untuk menyongsong Indonesia jaya.