Pustaka

Menikmati Kemurnian Islam (di) Indonesia

Sabtu, 27 Mei 2017 | 07:00 WIB

Vaksin palsu, beras palsu, obat palsu, berikut barang imitasi lainnya marak ditemukan di Indonesia. Teknologi yang kian canggih membuat seseorang dengan mudahnya merekayasa suatu produk hingga mirip dengan bentuk aslinya. 
Kabar pemalsuan tersebut tentu saja membuat masyarakat menjadi resah. Bayangkan, ditengah mahalnya harga bahan pokok berikut seretnya pendapatan, mereka harus dilanda kekhawatiran mengkonsumsi zat berbahaya.

Kita mungkin bersedih menyaksikan fenomena ini. Namun janganlah larut dengan perasaan itu. Kebutuhan sandang dan pangan bolehlah dipalsukan, tapi Islam kita tetap yang asli. Agama Islam yang dianut oleh mayoritas warga Indonesia tetap murni seperti ajaran Rasul SAW dan para sahabatnya.

Dalam karya terbarunya, Prof. Sunardji membedah persoalan ajaran keislaman yang berkembang di negeri Zamrud Khatulistiwa ini. Persoalan ini memang menjadi buah bibir di kalangan umat Islam dan para pengamat baik nasional maupun internasional. Istilah Islam Nusantara menjadi semakin populer ketika NU mengangkatnya sebagai tema muktamar. Tapi buku ini sudah mulai digarap jauh hari sebelum even lima tahunan itu digelar.

Islam Nusantara bukanlah paham baru. Ia merupakan pengejawantahan dari sikap kaum Muslim di Indonesia yang memiliki paham keagamaan unik dan menarik. Keunikan ini dapat dilihat dari sikap umat Islam yang memiliki rasa toleransi dalam menyikapi persoalan. Maka, sekalipun negeri ini memiliki aneka ragam ras, suku, dan budaya, semuanya dapat hidup rukun berdampingan. Istilah Islam Nusantara ini hanya sebuah nama, pinjaman atau mewakili dari nama Islam rahmatan lil alamin yang ada di Nusantara.

Agama Islam Nusantara merupakam paham keagamaan Islam murni (asli), yang datang dari Allah SWT, dibawa dan diamalkan oleh baginda Rasulullah SAW bersama para sahabatnya, kemudian secara bersambung melalui tabi'in, tabi'it-tabi'in, sampai juga kepada kita di Indonesia. Kemudian oleh walisongo, penyampaian dan pengamalannya (khususnya ibadah-ibadah ghairu mahdlah), berakumulasi (melebur) dengan tradisi-tradisi setempat yang sangat beragam selama tidak bertentangan dengan syari'at agama (hal. 11).

Tindakan akulturasi tersebut bukan lantas dibuat sekehendak penciptanya. Sang kreator, para wali songo utamanya wali janget tinelon (wali tiga serangkai, dalam hal ini Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Giri) telah melakukan kajian terhadap teks agama dan kondisi sosial sehingga hasil inovasi dan kreasi tidak berbenturan dengan kedua hal tersebut.

Dalam hal keagamaan, Islam Nusantara mengikuti paham Ahlus Sunnah Wal Jamaah (hal. 81). Sebuah paham keagamaan yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. dan para sahabatnya. Namun mengingat zaman yang makin modern dengan problemnya yang kian kompleks, ada beberapa persoalan yang tak diuraikan dalam al-Qur'an dan hadits. Maka muncullah sistem ijtihad, madzhab, dan taqlid.

Sebab tak semua orang bisa berijtihad, penganut agama Islam di Nusantara diperkenankan menganut salah satu madzhab yang sudah memperoleh justifikasi dari mayoritas ulama. Bahkan bagi mereka yang masih awam dibolehkan untuk taqlid.  Dalam bidang aqidah, ulama menjadikan pemikiran Imam Hasan al-Asy'ari dan Imam Mansur al-Maturidy sebagai pegangan. Sementara Syariah mengacu pada rumusan imam yang empat, Syafi'ie, Maliki, Hambali, dan Hanafi. Dan untuk Tasawufnya berpanutan pada gagasan Imam al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi.

Tak hanya itu, Islam Ahlussunnah wal Jamaah juga memiliki karakteristik dalam pengalamannya. Tawassuth (pertengahan), I'tidal (tegak lurus), dan Tawazun (keseimbangan) menjadi prinsip dalam menjalankan praktik keagamaan. Sementara itu, dalam praktik kemasyarakatan, tiga prinsip tadi ditambah dengan sikap Tasamuh (toleransi) dan Amar Ma'ruf Nahi Munkar. Penjelasan tentang prinsip-prinsip tersebut bisa diurai secara jelas pada bab tiga dan empat dalam buku ini.

Dengan berpegang pada ajaran seperti di atas, maka tak heran bila muncul berbagai tradisi sosial keagamaan yang lahir. Kreativitas para juru dakwah telah mampu memasukkan keislaman dalam segala kegiatan yang dulu masih sarat dengan tradisi Hindu-Budha. Contoh kecilnya adalah pemberian sesajen yang diganti dengan acara mengaji al-Qur'an dan makan bersama para undangan.

Namun kreasi tersebut tak selamanya disambut dengan tangan terbuka. Beberapa golongan justru menganggap pengamal dan pengawal agama Islam murni yang sejuk dan damai ini sebagai paham sesat dan menyesatkan serta bukan ajaran Islam. Sangkaan ini disebabkan banyaknya amaliyah yang belum ada contohnya pada masa Nabi. Menanggapi pernyataan tersebut, Sunardji menegaskan bahwa tradisi-tradisi sosial keagamaan disini adalah implementasi (pengetrapan) ajaran agama yang sifatnya ghairu mahdlah (tidak murni) yang menurut KH. Sahal Mahfudz disebut ibadah muthlaqah (yang bebas dari ketentuan yang mengikat) (hal. 299). 

Terlepas dari anggapan miring itu, kita juga patut berbangga karena beberapa tokoh dan lembaga dari luar negeri mulai melirik model keberagamaan yang kita miliki. Rektor Al-Azhar bahkan menghimbau umat Islam dunia untuk menimba ilmu Islam dari Indonesia. Beliau terpesona dengan kehidupan umat Islam di Indonesia yang damai dan harmonis (hal. 6).
 
Kondisi ini tentu berbeda dengan yang terjadi di negara lain utamanya Timur Tengah. Hingga kini, di sana masih saja dipenuhi pertumpahan darah atas nama jihad fi sabilillah. Padahal yang mereka serang tak lain adalah saudara sendiri. Melihat fakta tersebut, bila ada yang bertanya, "adakah yang lebih murni, sejuk dan damai dari Islam Nusantara?" Jawab saja, "Yang ngaku-ngaku, baaanyaak!"

Identitas Buku
Judul Buku : Agama Islam Murni di Nusantara (Sejuk & Damai) 
Penulis : Prof. Dr. H. Sunardji Dahri Tiam, M.Pd.
Penerbit : UM Press Malang
Cetakan : I, 2017
Tebal Buku : xvi+323 hal.
Peresensi : Ach. Khalilurrahman, Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) sekaligus santri Pesantren Annuqayah Latee Guluk-Guluk Sumenep. 


Terkait