Bagaimana menjadi manusia yang 'sehat' di tengah zaman gila ini? Zaman gila, atau disebut Zaman Edan oleh Ronggowarsito (1802-1873), merupakan zaman dimana kebaikan dan keburukan bercampur sulit untuk dibedakan, zaman dimana kebeneran digulung oleh fitnah keji tanpa tepi. Ronggowarsito menyindir masyarakat di Zaman Edan, "yen ora edan, ora keduman". Maka, maraknya korupsi, kekerasan, dan juga berlimpahnya berita-berita palsu (hoax), yang diproduksi untuk mengaburkan fakta-fakta, menjadi bagian dari tanda-tanda zaman Edan.
Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), seakan terus menerus menyalakan suluh di tengah gelap. Ia, dengan jama'ah Maiyah Nusantara, mengadakan diskusi-diskusi kebudayaan yang membahas tema-tema relevan dengan keseharian kita: dari politik, hukum, hingga pendidikan. Bahkan, tema-tema yang sebelumnya dipandang remeh-temeh, oleh Cak Nun diurai menjadi tema diskusi yang mendalam, yang sublim dengan refleksi kehidupan kita.
Melalui buku ini, "Hidup Harus Pintar Ngegas dan Ngerem"(Noura Mizan, 2016), Cak Nun tidak sekedar menyajikan refleksi mendalam. Ia juga menghentak kesadaran manusia, untuk tidak larut dengan dunia, tertimbun oleh jutaan kepentingan yang senantiasa menyergap manusia. Buku-buku yang ditulis Cak Nun, selalu menyentil kehidupan: Seribu Masjid, Satu Jumlahnya (Mizan, 2016), Sedang Tuhan pun Cemburu (Bentang, 2015), Surat Kepada Kanjeng Nabi (Mizan, 2015), Slilit Sang Kiai (Mizan, 2016), dan beberapa tulisan lain mengajak untuk merenungi diri.
Cak Nun, mengajak semua orang—tanpa sekat agama dan etnis—untuk terus mengartikan makna dan tujuan hidup, untuk selanjutnya berkarya demi kemanusiaan. Menurut Cak Nun, ada empat kriteria manusia. Pertama, orang yang tahu sedikit tentang sedikit hal. Kedua, orang yang tahu sedikit tentang banyak hal. Ketiga, orang yang tahu banyak tentang sedikit hal.
Dan keempat, orang yang tahu banyak tentang banyak hal. Dari keempat tipikal ini, setiap manusia perlu merefleksikan posisi dan maknya hidupnya sendiri. Menurut Cak Nun, manusia tipe keempat memang menjadi tujuan utama, tapi sulit dilakukan.Yang mungkin dilakukan, yakni menjadi manusia tipe ketiga, yakni memiliki pengetahuan mendalam tentang sedikit hal.
"Jangan ada pengetahuan yang tidak kami teteskan ilmu dan pemahamannya. Setiap peristiwa yang kamu alami harus memberi ilmu dan hikmah kepadamu," tulis Cak Nun (hal. 90). Cak Nun berpesan untuk memberi refleksi terhadap semua peristiwa yang dialami, hingga berdampak pada tumbuhnya ilmu dan hikmah.
Pada sisi lain, Cak Nun merefleksikan kondisi manusia dengan bangsanya. Ia selalu berusaha untuk memahami kondisi bangsa, kondisi Indonesia, dengan situasi kosmik kehidupan manusia. "Di zaman reformasi ini, ada istilah 'masyarakat madani'. Dalam Islam, namanya 'baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur'. Gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja.
Masyarakat adil makmur, dalam Islam disebut baldatun thayyibatun. Allah menambahkan wa rabbun ghafur. Maksudnya, kaya atau miskin bukan masalah, asal hatinya tidak bimbang," jelas Cak Nun (hal. 3). Refleksi ini, tentu menampar sebagian pihak, yang justru tertambat oleh harta dan nafsu, berusaha mengejar dunia namun hatinya tidak tenang.
Makna Ilmu dan Hikmah
Dalam buku ini, Cak Nun mengajak pembaca untuk menjadi manusia cerdas. Di tengah kehidupan yang saling berhimpit dengan nafsu dan kepentingan, selalu ada cara untuk mencari kejernihan ilmu. "Tidak semua pembelajaran itu bersifat kognitif. Tidak semua pemahaman itu melalui kata. Sebenarnya, pemahaman yang paling mendalam itu adalah melalui pengalaman dan rasa," jelas Cak Nun.
"Apa bedanya ilmu dan pengetahuan? Ilmu itu bahasa Inggrisnya, science. Kalau pengetahuan, knowledge. Jadi, ibarat truk, itu knowledge," (hal. 22). Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan rasa, akan menumbuhkan pribadi yang mengerti kondisi hati dan konteks kehidupannya. Mereka yang tidak memahami arti kehidupan, akan terseret oleh kepentingan-kepentingan sesaat yang mematikan refleksi.
Cak Nun mengajak pembaca untuk selalu memaknai setiap peristiwa dengan konteks kehidupannya. Pengabdian dan kontribusi pada masyarakat dan bangsa, akan menjadikan manusia sebagai orang yang bermanfaat.
"Sebenarnya, Indonesia berdosa sama orang-orangnya, termasuk yang berada di luar negeri. Indonesia bikin tanahnya digali, tambangnya digali, hutannya ditebangi, tanahnya ditanamu: ada kelapa sawit, ada tembakau, ada segala macam. Semua itu, kan seharusnya milik semua orang Indonesia," tulis Cak Nun.
Menurut Cak Nun, negara dan pemerintah berkewajiban menjamin hidup warga negaranya. Namun, pada keyataannya, para penguasa negeri ini tidak menjamin, sehingga kekayaan alam menjadi milik pengusaha asing, dan sumber daya terbaik Indonesia juga berkarya di negeri orang lain.
"Kalau kamu ingin kreatif, jangan menomorsatukan eksistensimu. Kalau kamu ingin menonjolkan diri, yang akan sampai adalah dirimu dan dirimu nanti akan jadi sesuatu yang memuakkan hati orang. Kalau engkau ingin kreatif, ingin diberi hidayah oleh Allah, pekerjaanmu hanya satu; beribadah. Ibadah itu mengabdi. Mengabdi itu melayani" (hal. 34). Meminggirkan ego dan menonjolkan pelayanan itu, menjadi bagian utama dari pengabdian kita sebagai manusia.
Jika sudah menemukan ruang pengabdian, menjadi manusia yang melayani Allah, untuk beribadah dan berbuat sebaik-baiknya untuk kehidupan, maka tujuan hidup kita akan selaras dengan kebahagiaan. Cak Nun mengajak manusia untuk selalu memaknai kehidupan, mencari pendar-pendar kebahagiaan dalam hati terdalam.***
Identitas Buku:
Judul: Hidup itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Noura Books
Cetakan: Oktober 2016
Halaman: xii + 230 hal.
ISBN: 978-602-385-150-8
Peresensi: Munawir Aziz, Peneliti, bergiat di GusDurian dan Gerakan Islam Cinta.