Pustaka

Menyibak Teror Kekerasan Berkedok Agama

Senin, 14 Juni 2010 | 12:47 WIB

Judul : Politik Para Teroris                       
Penulis : Mutiara Andalas   
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : I (Pertama), 2010
Tebal :132 halaman
Harga : Rp. 25.000,-
Peresensi :Humaidiy AS *)

 
Entah atas dasar apa pun, kekerasan selamanya tidak akan dibenarkan oleh semua negara dan agama manapun. Ideologi perang dan kekerasan di masa lalu, terbukti banyak menimbulkan kebangkrutan dan kemunduran peradaban. Terorisme merupakan lingkaran setan yang berdampak buruk bagi pelaku dan korban sekaligus. Dampak yang paling terasa tentu bukan hanya aspek materi, semisal aspek pariwisata yang ditandai dengan berkurangnya jumlah wisatawan saja, ataupun terganggunya stabilitas politik-ekonomi negara.<>

Lebih dari itu, dampak terorisme yang berdampak jangka panjang dan massif jauh lebih mengkhawatirkan, yakni tercerabutnya nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi agama dikarenakan terorisme selalu dikaitkan dengan agama tertentu. Jika ini terjadi, tentu solidaritas yang selama ini dibangun semua elemen bangsa yang ber-bhinika tunggal ika ini menjadi sia-sia.

Siapa pun, kecuali kaum teroris – tentu akan mengutuk terorisme. Dilihat dari sisi mana pun, aksi teroris bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan nilai-nilai esensial semua agama. Terorisme hampir identik dengan dendam, kebencian, dan kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk kebrutalan, perusakan, dan pembunuhan massal. Akibatnya, manusia-manusia yang tidak berdosa ikut menjadi sasaran sebagaimana terjadi pada serangan teroris atas menara kembar WTC New York dan Pentagon 11 September 2001 dan memakan ratusan korban meninggal. Belum lagi yang luka parah, dan derita-derita lain yang mengiringinya. Juga ribuan orang yang belum ditemukan sampai sekarang.

Atas dasar keprihatinan itulah, Mutiara Andalas melalui buku terbarunya yang berjudul Politik Para Teroris mengingatkan kepada kita bahwa setiap peristiwa terror, yang menjadi korban sejatinya adalah manusia tidak berdosa. Melalui buku ini, Andalas memberikan pemahaman baru tentang terorisme, teroris, dan mengapa orang mau menjadi teroris? Latar belakang penulis yang menggeluti filsafat dan teologi, membuat buku ini sangat menarik dan berbeda dengan buku-buku lain tentang terorisme, salah satunya penegasan penulis a secara khusus mencermati nasib korban teror dari segenap tragedi kemanusiaan yang diciptakan pelaku terorisme (hlm. 47-57).

Agama memang seperti dua mata pisau. Di satu sisi, agama mampu menjadi kekuatan pembebas dan pembela nilai-nilai kemanusiaan. Di sisi yang lain, agama pun kerapkali menjadi kekuatan penyebab konflik dan pertahanan rezim kekuasaan. Dengan dalih agama itulah misalnya, para teroris dengan sengaja melakukan “pembajakan” terhadap kitab suci sebagai legitimasi segenap kebiadaban dan ketakutan di tengah masyarakat.     

Munculnya wacana terorisme secara global adalah sesaat setelah terjadinya peristiwa 9/11 (September Eleven). Seperti diketahui, Amerika Serikat melakukan operasi besar-besaran untuk menghadang apa yang mereka sebut sebagai gerakan terorisme. Operasi besar-besaran itu menggunakan adagium yang terkenal: “Neither with US or againts US” ; bersama AS atau berhadapan dengan AS. Dan, dilakukanlah operasi ini ke seluruh negara-negara dunia yang baik secara ekonomi, politik maupun budaya di bawah pengaruh AS.

Ini membuktikan, dominasi Barat terhadap dunia global tidak selamanya menghasilkan pencerahan (enlighment), yakni ke arah perbaikan harkat,derajat dan martabat manusia. Akan tetapi yang terjadi adalah timbulnya beragam kejahatan berat yang merenggut nilai-nilai kemanusiaan. Berbagai fakta sejarah cukup memberikan data betapa Barat telah melakukan “teror” kemanusiaan yang tidak sedikit jumlahnya, kususnya terhadap dunia ketiga.

Anehnya, justru mereka pada saat yang bersamaan mengklaim sebagai pelopor hak asasi manusia dengan menentang tindak kekerasan. Dengan kekuatan perangkat ekonomi-politik dan media. Negara-negara non-Barat, terutama negara ketiga, menjadi objek konsumsi dan eksploitasi. Mereka punya justifikasi dari ketidakadilan yang terjadi di mana pun. Sebagai contoh, tragedi memilukan di Bosnia, deretan serangan Israel yang membabi buta ke Gaza, Amerika ke Irak, dalam sudut pandang para pelaku Terorisme juga adalah daftar teror Barat atas dunia ketiga yang mesti dibalas. “Dendam kesumat” ini diperparah lagi dengan propaganda bahwa tengah terjadi perang suci dan benturan peradaban antar Barat dan dunia Islam, disamping tentu saja pemahaman yang keliru dan parsial dalam memahami ajaran agama.

Meskipun begitu, tidak ada satupun alasan etik dan moral secuil pun yang bisa membenarkan suatu tindakan kekerasan terlebih teror. Dengan demikian, kalau ada tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu, maka sudah pasti alasannya bukan karena ajaran etik-moral sebuah agama, melainkan karena agenda-agenda lain yang bersembunyi di balik tindakan tak terpuji itu. Di samping itu, penting dibangun pemahaman bahwa siapa pun pelaku dari segenap teror yang terjadi, tidak kemudian mendapat kemenangan. Yang tersisa dari semua itu, tak lain hanyalah penderitaan dan kucuran air mata dan darah dari orang-orang yang berdosa.

Bagaimana pun, cita-cita perjuangan seseorang, kelompok, komunitas agama ataupun negara, tidak bisa meminggirkan rasa kemanusiaan serta pengormatan terhadap perbedaan. Melalui buku ini kita berharap, kesadaran yang muncul secara kolektif ini pada muaranya akan menjadi gerakan besar, yakni gerakan untuk mencintai dan menghargai kehidupan. Melalui model pemahaman itu, nilai-nilai humanitarian yang religius seperti pluralisme, kesederajatan, dan solidaritas perlu dijadikan landasan sikap dan segala tindakan kita sebagai masyarakat dari sebuah bangsa yang besar.

Singkat kata, buku ini sangat layak dibaca oleh para mahasiswa, Akademisi, wartawan, kaum agamawan, aparat keamanan maupun masyarakat umum yang ingin memperoleh pemahaman baru tentang terorisme. Selamat membaca!
Di tengah kepungan terorisme yang terus mengancam kehidupan, buku ini menyingkap dambaan akan Tuhan yang lain dari sudut korban. Karenanya, meskipun diuraikan dengan singkat dan padat, buku ini mampu menghadirkan wahana refleksi akan cinta kemanusiaan tanpa tapal batas, yang pada akhirnya akan menggugah kesadaran kita sebagai umat manusia, bahwa penghargaan akan hidup harus ditempatkan sebagai posisi utama.

*) Peresensi adalah Pustakawan Pada MTs Ali Maksum PP. Krapyak Yogyakarta dan Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS).


Terkait