Pustaka

Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan

Senin, 30 Juni 2014 | 07:02 WIB

‘Tembok Berlin’ yang selama ini memisahkan Muhammadiyah dan NU membuat jarak yang cukup lebar. Tembok ini sejatinya bukanlah masalah yang besar, hanya saja tembok yang dimaksud adalah khilafiyyah pada masalah  furu’ yang sering menjadi kambing hitam persoalan dalam masyarakat muslim Indonesia. Sehingga pada kondisi-kondisi tentu kedua ormas tersebut nampak sulit untuk mencapai kata bersatu.<>

Ratusan juta orang yang bernaung dalam ormas Muhammadiyah dan NU barangkali bakal berubah dan tergugah seiring diterbitkannya buku “Muhammadiyah itu NU: Dokumen Fiqih yang Terlupakan”. Buku yang ditulis oleh Mochammad Ali Shodiqin ini benar-benar suara dari dalam Muhammadiyah sendiri, bukan intervensi atau kepentingan dari pihak-pihak tertentu.

Bahwa pada dasarnya, dulu Muhammadiyah itu sama persis dengan NU, demikian pula sebaliknya. Namun berita besar ini menyimpan dilema, sebab jika disampaikan akan menurunkan hujah fitnah yang dapat menyuburkan benalu perongrong ukhuwah. Kalau tidak disampaikan, seolah menggelapkan kebenaran yang sepatutnya didakwahkan kepada yang berhak. Jadi dilema ini bagaikan makan buah simalakama (hlm. 2). 

Bermula ketika penulis mendapatkan kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 dari tokoh Muhammadiyah di Yogyakarta. kemudian ia merasa terpanggil untuk menyampaikan sejarah tersebut, lalu  berinisiatif untuk menerbitkannya menjadi sebuah buku.

Kitab Muhammadiyah 1924, yang aslinya ditulis dengan bahasa Jawa dan huruf Arab pegon. Bahasa Jawa memang tak bisa dihindari kalau membahas periode awal Muhammadiyah di pusat kebudayaan Jawa, yaitu Kesultanan Yogyakarta (hlm. vii).

Kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 yang dikarang dan diterbitkan oleh Bagian Taman Pustaka Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1924 sesungguhnya bukan hanya warisan berharga kaum Muhammadiyah saja, melainkan juga bagi NU. Kitab itu juga kitabnya NU. Isinya sama dengan kitab-kitab pesantren yang banyak diajarkan dalam dunia NU (hlm. 12). Masalahya hanyalah satu hal, bahwa di tahun 1924 itu, NU belum lahir, karena NU lahir tahun 1926. Dua tahun setelah kitab itu terbit. Dan hingga hari ini, isi ajaran fiqih yang diajarkan kitab itu masih terpelihara sebagai amalan orang NU. Amalan itu pula yang telah turun-temurun sejak ratusan hingga ribuan tahun lalu di perairan Nusantara ini, yaitu fiqih mazhab Syafi’i. Jadi walaupun NU belum lahir, namun ulama-ulama pesantren yang kemudian mendirikan NU itu tiap harinya mengamalkan ajaran fiqih, sebagaimana yang ada di dalam kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 (hlm. 13).

Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, yaitu menyampaikan ajaran Islam yang sudah ada kala itu di Kesultanan Yogyakarta yang menganut mazhab Syafi’i, bukan berdakwah dengan mengarang ajarannya sendiri dari mulai nol. Pertanyaan mengapa bisa demikian? Dalam buku ini dijelaskan bahwa setelah meninggalnya Kiai Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammmadiyah pada tahun 1912, generasi Muhammadiyah pada beberapa masa selanjutnya tercampur dengan paham Wahabi imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintahan Ibnu Saud di negeri Arab pada saat itu. Untuk itu, pada tahun 1926 NU lahir untuk merespon pemerintahan yang membawa paham Wahabi tersebut.

Metamorfosis Muhammadiyah setidaknya dapat dibagi menjadi empat masa, yaitu Masa Syafi’i tahun 1912-1925; masa pembauran Syafi’i-Wahabi tahun 1925-1967; masa Himpunan Putusan Tarjih (HPT) tahun 1967-1995; dan masa pembauran HPT-Globalisasi tahun 1995 hingga kini (hlm. 16).

Penerbitan HPT cetakan ke-1 dilakukan oleh Kiai Badawi tahun 1967. Penerbitan HPT ini sekaligus memulai babak baru sejarah (tarikh tasyri’) fiqih Muhammadiyah yaitu pada masa Himpunan Putusan Tarjih. Hingga cetakan ke-4, yakni pada tahun 1974 di dalamnya memuat 9 buah putusan Muktamar Tarjih 1972 di Pekalongan yang memuat salah satunya adalah penghapusan qunut (hlm. 82). Tidak dimuatnya qunut ini dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan, sekaligus untuk perbaikan menurut putusan Muktamar Tarjih tahun 1972. Dengan demikian, seiring hilangnya keraguan dan adanya keyakinan umat serta kebiasaan shalat subuh tanpa qunut maka terhapus pula sejarah bahwa di masa lalu Muhammadiyah pernah melaksanakan qunut sebagaimana qunut-nya umat Islam lain (hlm. 119).

Masih banyak lagi hasil Himpunan Putusan Tarjih, di antaranya masalah menyentuh lawan jenis, niat membaca “ushalli”, shalawat tanpa Sayyidina, mengacungkan jari saat duduk tahiyat, zikir setelah salam, azan Jum’at satu kali, shalat ‘Id di lapangan, dan lain-lain.

Sementara itu, isi kitab Fiqih Muhammadiyah 1924 memuat bab-bab ubudiyah, misalnya Bab Bersuci yang rinciannya meliputi persoalan air, najis, dan tata cara penyuciannya. Bab shalat yan cakupannya meliputi waktu shalat, rukun, sunnah, pembatalan. Bab Jama’ah yang membahas makruhnya jamaah, dan bab-babnya lainnya.

Guna menghadirkan cita rasa sejarah asli masa kiai Dahlan itu, bagi pembaca luar Jawa dan juga generasi Jawa masa kini yang sudah tidak nyambung dengan Jawanya. Maka buku ini disuguhkan dengan tidak  menghilangkan bahasa Jawa, melatinkan teks Arabnya, kemudian mengindonesiakannya. Jadi komposisi bahasa Jawa sekitar 20 persen, dan bukti keaslian ajaran Kiai Dahlan yang bertutur bahasa Jawa dalam kesehariannya.

Yang jelas, buku ini tujuannya bukan untuk menyalahkan satu sama lain. Namun untuk memadamkan api yang selama ini membakar jarak antara Muhammadiyah dan NU. Harapannya masing-masing dapat memahami perbedaan untuk melahirkan persatuan yang lebih erat bagi Indonesia.Judul : Muhammadiyah Itu NU! Dokumen Fiqih yang Terlupakan

Penulis : Mochammad Ali Shodiqin
Penerbit : Noura Books (PT. Mizan Publika)
Cetakan : I, Februari 2014
Tebal : xxii + 310 halaman
ISBN : 978-602-1306-01-1
Peresensi : Muhammad Zidni Nafi’, alumni Ma’had Qudsiyyah Kudus, Ketua CSS MORA (Community of Santri Scholars of Ministry of Religious Affairs) UIN SGD Bandung 2013-2014.


Terkait