Pustaka

NU Menjawab Tuduhan PKI

Ahad, 16 Maret 2014 | 23:15 WIB

"Saya menjadi Presiden karena mandat dari MPR, dan tidak ada sama sekali mandat untuk membantu eks Tapol. Namun demikian secara kemanusiaan saya membela mereka bahkan sejak tahun 1970 saya telah membela PKI. Sudah ditolong malah mensomasi." 
<>
Dalam peribahasa Jawa, ditulung mentung, demikian ditegaskan Gus Dur atas perilaku eks tapol yang menuduh dan mensomasi perlawanan Banser dan Kiai Nahdlatul Ulama (NU) serta pihak militer (TNI) yang dianggap melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap orang-orang PKI dalam rentang waktu antara tahun 1948-1965. 

Sesungguhnya bukan karakter Gus Dur menunjukkan kebaikan-kebaikan dirinya atau komunitasnya. Namun, hal ini terpaksa dikemukakan oleh Gus Dur sebab NU justru berusaha menyelamatkan akidah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari pemberontakan, bughot atau sikap subversif PKI sendiri yang diikuti serangkaian teror, ancaman dan penyerangan serta pembantaian sehingga mau tidak mau semua pihak melakukan perlawanan. Pemberontakan secara brutal oleh PKI memakan banyak korban tidak hanya dari pihak PKI, tetapi juga dari pihak TNI, sipil, dan kiai-kiai Pesantren. 

Selain itu, Gus Dur juga mengungkapkan demikian karena faktanya banyak dari Kiai NU yang berbesar hati dengan merawat, membesarkan dan mendidik anak-anak korban serangkaian konflik horisontal yang telah terjadi, bahkan sebagian diantara mereka telah menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan berperan di banyak bidang. 

Atas sebagian dasar itulah buku Benturan NU-PKI 1948-1965 diluncurkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang ditulis oleh H. Abdul Mun’im DZ untuk menjawab berbagai tuduhan PKI terhadap NU dan umat Islam Indonesia pada umumnya. 

Buku ini juga mengungkapkan adanya dramatisasi jumlah korban dalam beberapa sejarah yang ada. Dari sekitar belasan atau puluhan ribu menjadi ratusan ribu, bahkan peneliti barat mengasumsikan jumlah korban menyentuh angka hingga satu juta orang (hal. 14). 

Beberapa tulisan yang diterbitkan dan di jual bebas memang sengaja memilih asumsi angka korban paling besar agar memunculkan efek spektakuler. Hingga saat ini, jumlah dibiarkan simpang siur dan masyarakat barat heboh dengan ulah para peneliti mereka sendiri. 

Penulis dan tim peneliti buku Benturan NU-PKI 1948-1965 ini telah melakukan penelusuran dan mengungkapkan adanya proses dramatisasi jumlah korban itu. Bahkan di daerah yang menjadi basis PKI, asumsi jumlah korban yang dimunculkan itu lebih banyak dari jumlah penduduk yang terdata waktu itu.

Ironisnya, sebagai sebuah tragedi yang didalangi PKI sendiri, penelitian korban oleh para orientalis secara kuantitatif hanya cenderung kepada pihak PKI dengan menafikan korban dari kalangan NU dan umat Islam pada umumnya. Jelas hal ini menggiring asumsi publik bahkan PBB ikut terprovokasi bahwa terjadi kejahatan kemanusiaan kepada PKI sehingga menuduh TNI dan NU sebagai penjagal dan menuntut meminta maaf serta mengajukan ke pengadilan internasional.

Secara historiografi, penelitian ini sudah mengalami penyimpangan (deviasi) karena sudut pandang orientalis menempatkan PKI sebagai korban. Padahal masyarakat Indonesia pada umumnya meyakini bahwa PKI adalah pemberontak dengan tujuan mengkomuniskan Indonesia. Bagaimana hasil penelitian semacam ini dianggap ilmiah?! Sehingga PBB dan aktivis-aktivis LSM menuntut NU dan TNI untuk meminta maaf. Bahkan kemudian dipaksa melakukan rekonsiliasi. 

Bagi penulis resensi ini sendiri hal itu sangat lucu, NU itu cinta damai, apalagi kiai-kiai, pesantren, dan warga NU pada umumnya yang tidak bersalah menjadi korban keganasan PKI. Artinya, tanpa disuruh pun, sebagai tanggung jawab sosial kemanusiaan, NU telah menyantuni para korban dari pihak PKI, termasuk anak cucunya yang terlantar. Hal inilah yang akhirnya menghasilkan rekonsiliasi ilmiah dalam istilah penulis buku ini, dan rekonsiliasi dari berbagai aspek pun telah dilakukan.         

Selain itu, NU dituduh sebagai alat TNI. NU paham betul tugas dan kewenangan TNI dalam menjaga keamanan nasional. Oleh sebab itu, NU selalu melakukan koordinasi dengan TNI untuk menjaga keamanan nasional dari pemberontakan (bughot) PKI. Langkah koordinasi inilah yang dianggap, NU adalah alat TNI oleh aktivis dan keturunan PKI. 

Selain itu, buku setebal 239 halaman ini mengetahkan rangkaian peristiwa bagaimana PKI melakukan propaganda, memprovokasi, meneror, dan menyerang NU serta pesantren. Dideskripsikan pula bagaimana NU dan pesantren mempertahankan diri, menyerang balik, dan menangkap mereka yang bersalah dengan menyerahkan kepada aparat keamanan, baik polisi, TNI, maupun kejaksanaan sesuai dengan hukum dan undang-undang yang berlaku. Kalaupun terjadi pembunuhan biasanya itu terjadi dalam posisi perang atau bentrokan massal atau bertarung satu lawan satu.  

Dalam buku ini juga dikemukakan pelurusan tentang permintaan maaf Gus Dur terhadap para korban G30S/PKI yang mengalami kesalahpahaman. Artinya dipahami secara salah. Selain itu, juga megungkapkan sikap NU terhadap propaganda PKI dewasa ini. 

Akhirnya, sesuai dengan endorsement KH. Miftakhul Akhyar, Rais Syuriah PWNU Jawa Timur dalam buku ini, bahwa penulisannya sudah jelas dan proporsional, buku ini sangat penting buat pegangan bagi warga NU dalam menjawab berbagai tuduhan (oleh PKI, pen.) yang dialamatkan kepada para Kiai. 

Judul: Benturan NU-PKI 1948-1965
Penulis : H. Abdul Mun’im DZ
Penerbit: PBNU
Cetakan: II, Maret 2014
Tebal: xvi + 239 halaman
Peresensi: Ummi Khoirunnisa, Warga NU Kabupaten Brebes 


Terkait