Pustaka

Perebutan Wacana di “Republik” NU

Ahad, 24 Agustus 2008 | 23:00 WIB

Judul Buku: Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati
Penulis: As’ad Said Ali
Pengantar: Dr KH Sahal Mahfudz
Penerbit:  LP3ES, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2008
Tebal: (xxiv + 264) halaman
Peresensi: Mashudi Umar


Progresivitas pemikiran kalangan muda dan dinamika yang terjadi di kalangan ulama Nahdlatul Ulama (NU) belakangan ini mungkin tidak terbayangkan oleh KH Ahmad Siddiq, saat pertama merumuskan pentingnya kembali ke Khittah 1926. Saat itu, KH Ahmad Siddiq hanya memimpikan para ulama mendidik santrinya tidak hanya menjadi muqallid a’ma (pengikut buta), tetapi untuk menjadi muqallid lebih baik. Harapan itu sekarang sudah terlampaui, tidak hanaya menjadi muqallid yang lebih baik, tetapi merambah lebih jauh, yaitu mengeksplorasi pendekatan manhaji (metodelogis) dalam meneropong berbagai persoalan kontemporer. Kesan jumud dan antikamajuan yang selama ini melekat pada jamiyyah nahdliyyah, dengan sendirinya terhapus oleh dinamika perkembangan NU selama lebih dari dua dekade belakangan ini.<>

Perkembangan seperti ini tidak dihasilkan secara mudah. Perjuangan gigih KH Achmad Siddiq dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada pertengahan dekade 1980-an dalam meletakkan NU, sebagaimana perjuangan KH Hasyim Asy’ari pada 1926, memberi andil penting dalam mempersiapkan perubahan-perubahan yang terjadi sebelumnya. Doktrin Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi napas organisasi dengan sadar, tidak pernah dikesampingkan, malah diperkukuh dengan memberi visi baru. Dan, muatan baru itu bermula dari gagasan sederhana, bagaimana melakukan kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam klasik.

Seperti memahami definisi fikih sebagai, “al-ilmu bi al-ahkam al-syar’iyah al-amaliyah al-muktasab min adillatiha al-tafshiliyyah” (mengetahui hukum syar’i amaliah yang di gali dari petunjuk-petunjuk yang bersifat global), fikih memiliki peluang yang sangat luas untuk berjalan seiring dengan perkembangan zaman.

Karena itu, paradigma fikih sosial harus didasarkan atas keyakinan bahwa fikih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan dlaruriyah (primer), kebutuhan hajjiyah (sekunder) dan kebutuhan tahsiniyah (terseir). Fikih sosial bukan sekedar alat melihat setiap peristiwa dari kacamata hitam-putih sebagaimana cara pandang fikih yang lazim kita temukan, tetapi fikih sosial juga menjadikan fikih sebagai paradigma pemaknaan sosial.

Gejala kemajuan yang muncul di kalangan muda NU memang semacam konsekuensi yang tidak bisa terhindarkan. Dekade 1980-an adalah awal dari “panen raya” kalangan intelektual di lingkungan NU. Generasi baru yang berpendidikan ganda ini tidak sepenuhnya mampu diserap dalam lingkungan NU yang masih didominasi kalangan ulama tua. Mereka kemudian mencari jalan lain, dengan beraktivitas dalam gerakan mahasiswa, gerakan lembaga swadaya masyarakat dan lainnya. Perkenalan dengan dunia luar pesantren itu ternyata cukup banyak mengubah struktur berpikir kalangan muda NU.

Pergumulan kalangan muda NU dengan gagasan, agenda dan jaringan di luar pesantren dan NU itu, pada akhirnya melahirkan apa yang mereka sebut sebagai gerakan “kultural”. Suatu gerakan yang berbasis pada pengembangan pemikiran dan pemberdayaan masyarakat akar rumput. Dalam kerangka gerakan, agenda aksinya tersusun berdasarkan pemikiran yang lebih konsepsional dalam melakukan pemberdayaan terhadap berbagai masalah mutakhir.

Dalam konteks inilah, lahir gagasan Islam Trasformatif, Islam Liberal, The Wahid Institute, Rahima, Islam Emansipatoris hingga pada gagasan Islam Postradisionalis, dan lain-lain. Dari komunitas kultural itu, lalu muncul tokoh-tokoh muda brilian dan intelektual seperti Abdul Moqsith Ghazali, Rumadi, Ulil Absar Abdallah, Achmad Suaedy, Abdul Mun’im, Zuhairi Misrawi, Imam Aziz, Imdadun Rahmat, Khamami Zada, Marzuki Wahid, dan lain-lain. Ketika gagasan itu semakin matang, dan kritis benturan langsung dengan pemikiran tradisional ulama NU yang sudah terpatri sebelumnya tidak bisa dihindarkan.

Benturan itu terjadi karena sejak awal gerakan kultural merupakan perlawanan “diam-diam” kalangan muda terhadap kecenderungan umum NU saat itu yang sangat tergoda dengan kehidupan politik. Dalam persepsi mereka, Khittah NU 1926 semestinya menghentikan NU dari kecendrungan politik praktis dan mengkonsentrasikan sepenuhnya pada gerakan keagamaan dan kultural.

Namun, impian ini tidak mudah diwujudkan, dunia politik bagaimana pun tetap memesona. Sejumlah aktivis NU mendapat peluang lebih besar pascakeputusan Khittah 1926 dengan berkiprah pada sejumlah partai politik. Sementara, NU sendiri pernah diletakkan Gus Dur sebagai kekuatan semi oposisi pada masa akhir Orde Baru. Puncaknya, pada masa reformasi, Pengurus Besar NU pernah memfasilitasi terbentuknya sebuah partai politik baru dan NU struktural harus bersusah payah membela Gus Dur tatkala menjadi presiden. Jadi, berpolitik memang seakan kegiatan yang tak kenal lelah, baik yang dilakukan “NU politik” maupun—terkadang—NU struktural”, walaupun tentu dengan modes operandi yang berbeda.

Di tengah membuncahnya aktivitas politik itu, institusi NU seringkali menjadi “korban”. Pemilihan kepala daerah, baik Jawa Timur maupun Jawa Tengah, menjadi fakta, semua pihak merebut suara NU. Bahkan, di Jawa Timur, kader NU potensial sama-sama masuk putaran kedua yaitu, Khofifah Indar Parawansa, Ketua Umum (nonaktif) Pengurus Pusat Muslimat NU, Calon Gubernur, dan Saifullah Yusuf, Ketua Umum (nonaktif) Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, sebagai Calon Wakil Gubernur.

Kecenderungan inilah yang dilawan gerakan kultural. Mereka meletakkan gerakannya sebagai alternatif dari gerakan “NU struktural” maupun “NU politik” yang dianggap mudah membelokkan NU menjadi kekuatan politik.
Jadi, sekarang NU pada dasarnya mempunyai tiga aset penting selain para ulama. Pertama, adalah kalangan terpelajar dan intelektual yang sedang giat menekuni pemikiran keagamaan. Dan, bagaimana menjaga aset ini agar tidak terlepas dan tercerai-berai, apalagi direbut kelompok Islam transnasional, harus tetap menjadikan NU sebagai rumah besar mereka. Kedua adalah kalangan pengusaha dan ketiga adalah politisi yang tersebar di berbagai partai.

Kalimat “inside NU” atau “what’s right with NU” sangat tepat untuk mengapresiasi buku ini. Sebuah buku yang sangat komprehensif dalam membedah jeroan NU, terutama pergolakan pemikiran  yang telah dan sedang terjadi di kalangan generasi muda NU. Pemetaan yang brilian, cerdas dan lugas telah dihadirkan As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang tidak hanya menyoroti dimensi siyasah (politik), tsaqafah (budaya) dan fiqrah (pemikiran), akan tetapi juga dimensi yang sangat mendesak untuk diprioritaskan, yaitu istishadiyah (perekonomian).

Pergumulan anak muda NU dalam berinteraksi dengan neoliberalisme juga terpapar dengan gamplang dalam buku ini. Juga menghadirkan pengamatan cermat tentang perubahan besar yang terjadi pada jantung tradisi NU sebagai buah perubahan di “dunia dalam” dan “dunia luar” yang membawa sintesis kreatif antara tradisi dan inovasi. Sebuah buku penting tentang peta ke-NU-an, ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.

Peresensi adalah Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, Jawa Timur


Terkait