Pustaka

Politik Kontemporer Bagi Pejabat 2009

Senin, 4 Januari 2010 | 05:41 WIB

Judul Buku : Fiqih Siyasah dan Wacana Politik Kontemporer
Penulis : Khoiril Anam, SHI., MSI.
Penerbit : Ide Pustaka
Cetakan : Pertama, 2009
Tebal : 248 hlm
Peresensi : Marsus Ala Utsman*
 
Di tengah-tengah carut-marutnya politik kontemporer yang sedang melanda negara Indonesia dewasa ini, buku Fiqih Siyasah hadir menyeruak membawa angin segar yang berisi analisis komprehensif tentang bagaimana kita berpolitik seharusnya. Dengan beberapa contoh konkrit kekinian dan dalil-dalil syar'i yang dikupas secara empatik dan mendalam. Baik dalam hal politik tentang keislaman, lebih-lebih politik ekonomi yang sekarang marak-maraknya terjadi di Indonesia. Oleh karena itu, di tengah gagap gempitanya arus modernisasi dan globalisasi yang banyak ditandai dengan keterpurukan negara-negara muslim, maka wajar sebagai umat Islam berinisiatif untuk merombak kembali sebagai solusi untuk tegaknya sistem politik yang kian runtuh di negara kita ‘Indonesia.’<>

Buku ini ditulis dengan gigih dan mencermati pola gerakan politik-politik dari masa-masa awal hingga bagaimana menjawab berbagai persoalan yang kerap kaitanya dengan sistem pemerintahan, dan masalah-masalah realitas yang terjadi saat ini. Selain itu dalam buku ini juga memuat berbagai teori yang dilengkapi dengan wacana politik kontemporer sebagai perpaduan antara teori dan praktik serta dipandu dengan berbagai dalil-dalil syariat yang cukup rasional.

Kaum intelektual dan orang-orang Islam di berbagai kalangan hendaknya meneriakkan suara mereka untuk menyerukan kesetaraan dalam menikmati kemerdekaan dan hak asasinya. Terkait dengan kondisi umat Islam sekarang ini yang mengalami keterbelakangan, terutama keterbelakangan moral akibat sistem pemerintahan sekuler yang jauh dari nilai-nilai syariat. Sebenarnya kesetaraan nilai-nilai itulah yang merupakan jalan sesungguhnya menuju kedamaian sosial, stabilitas nasional, dan tatanan dunia baru dalam rangka memerangi kezaliman, kejahatan, dan permusuhan.

Di tengah ramainya perdebatan tentang persoalan politik, ada baiknya bagi para pejabat-pejabat baru agar mempertimbangkan solusi sebagian umat Islam yang berpandangan bahwa salah satu solusi keterbelakangan tersebut mungkin bisa ditempuh dengan menegakkan kembali sistem kekhilafahan yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat. Namun, yang menjadi titik permasalahan dalam mengembalikan nilai-nilai politik Islam yang tertuang dalam syariat, kadang terlalu reaksioner dan vulgar, sehingga tidak jarang mendapat perlawanan dari berbagai pihak, terutama bagi mereka yang lebih mengedepankan substansi dalam memahami hukum Islam.

Dalam persoalan politik, seakan-akan para pemuda (Islam) tidak diberi ruang untuk menentukan arah masa depan bangsa. Ini bisa kita lihat dari sikap para generasi tua yang selalu melakukan politik komoditas terhadap pemuda. Dengan terpilihnya para pajabat-pejabat baru 2009, harapan besar bagaimana agar pemuda tidak hanya diberi posisi sebagai alasan strategis saja untuk menjalankan program tim dengan sukses. Pemuda dalam hal ini hanyalah alat, dan sebuah objek, bukan subjek yang berhak menentukan arahnya sendiri. Mungkin inilah penyebab salah satunya, dari sikap apatis terhadap politik yang selama ini menjalar pada sebagian pemuda di negara kita.

Sebuah tuntutan yang sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana penguasa umat Islam memanfaatkan aparaturnya justru untuk memata-matai dan mengintimidasi masyarakatnya sendiri. Penulis pun mengupas habis tinjauan syariat dan fiqih termasuk pertimbangan maslahat dan mafsadat (kebaikan dan kerusakan) berparlemen. Selain itu juga banyak mengupas berbagai keterangan-keterangan yang tercantum dalam al-Qur’an.
Pada prinsipnya bahwa, kekuatan pertama kali yang harus dimiliki oleh para pengatur jalannya sistem politik adalah kekuatan akidah dan keimanan, berikutnya, barulah kekuatan persatuan dan ikatan antara suatu kelompok dengan kelompok yang lain.

*Peresensi adalah mahasiswa jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Terkait