Judul : Islamku, Islam Anda, Islam Kita
Penulis : Abdurrahman Wahid
Penerbit : Wahid Institute, Jakarta
Cetakan : I, 2006
Saya sudah tidak ingat lagi, kapan nama Gus Dur terinternalisasi dalam diri saya. Sejak di pesantren dulu, nama beliau tiba-tiba saja melekat dalam ingatan saya sebagai sosok “dewa” yang dengan lihai menggelitik sosok-sosok lain yang mengaku sebagai dewa.
<>Saya pernah membayangkan, “Bagaimana jika sosok Gus Dur hadir dalam majlis sidang Wali Songo ketika membahas soal kesesatan ajaran Syekh Siti Jenar?”
Ya, seandainya saja Gus Dur hadir dalam majlis tersebut sambil membawa buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Agama Masyarakat Negara Demokrasi, sangat mungkin cerita mengenai Syekh Lemah Abang tidak akan berakhir seperti yang banyak ditulis banyak buku. Bagaimana tidak, buku ini mengajak pembacanya untuk merenungi kembali soal Islam dengan prespektif yang sangat “membumi”.
Dengan bahasa yang sederhana, dalam buku “Islamku..”, Gus Dur menolak formalisasi agama untuk mencegah diskriminasi dan penindasan dalam kelas-kelas sosial.
Dan tentu saja sidang para wali tersebut akan mendengarkan tiap ucapan Gus Dur dengan saksama, kemudian merenungkannya dengan kejernihan jiwa.
Terlepas dari setuju atau tidaknya para wali dengan pemikiran Gus Dur, Kanjeng Sunan Kalijaga dan wali-wali lainnya pasti menghargai pemikiran beliau dengan bijaksana.
Tapi sayang, itu hanya andai-andai saya belaka. Sebab, bagaimanapun Gus Dur telah meyelesaikan darma-nya di kehidupan saat ini. Di tengah orang-orang yang enggan untuk mendengarkan ucapan yang hadir dari kedalaman jiwa sang Bapak Pluralisme Indonesia.
Selamat jalan, Gus… Selamat jalan, Sang Guru Bangsa…(Pekik Nursasongko, alumni Pesantren Krapyak Yogyakarta, sekarang bekerja sebagai staf editorial PT Intan Pariwara)