Penulis : Dr KH Said Aqil Siroj
Penerbit : Pustaka irVan, Tangerang
Cetakan : Kedua, 2008
Tebal : 473 halaman
Peresensi : Mashudi Umar*
Dunia tasawuf bukan hanya sekedar perbincangan soal moralitas. Jika moralitas terpotret dari wujud perilaku manusia secara fisik, tasawuf menekankan hakikat moralitas itu sendiri. Pada dimensi tasawuf, sebuah moralitas masih dipersoalkan; apakah berdasarkan diri pada ketulusan, keikhlasan semata mengharap kerelaan Tuhan (mardhatillah) atau sebaliknya? Dunia lahiriah mungkin cukup dengan suatu tindakan konkret yang selaras dengan etika formal yang kemudian secara yuridis dianggap sah. Namun dunia batin adalah sebuah penjelajahan dan pelatihan yang terus menerus dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan putus asa.<>
Pembedaan antara lahiriah dan semesta batin memang sangat lembut dan halus (lathif). Dunia lahiriah mungkin saja mudah ditangkap karena memang tampak di mata. Akan tetapi siapa sangka, bahwa dunia batin begitu menyemesta, mendalam, berliku, dan penuh tebing rahasia. Meski demikian bukan berarti agama terlalu rumit untuk dipahami, sebagaimana Sabda Rasulullah, ‘ad-din yusron’ (agama itu kemudahan).
Karena agama melihat manusia pada dimensi tubuh dan jiwanya. Agama merumuskan tatanan, aturan serta petunjuk yang bersifat konprehensif dan holistik bagi tubuh dan jiwa manusia. Artinya bahwa manusia mempunyai keharusan-keharusan ntuk berdisiplin sekaligus menyadari bahwa jiwanya secara mutlak membutuhkan keilahian.
Dalam dunia tasawuf, ada pepatah yang sangat populer “man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu”, artinya barang siapa yang mengetahui dirinya, maka ia akan mengetahui tuhannya.
Tasawuf sebenarnya merupakan bagian dari penelaahan rahasia dibalik teks-teks Ilahiah. Secara ringkas Al-Qur’an menjelaskan konsepsi tasawuf dalam bentuk dorongan manusia untuk menjelajahi dan menundukkan hatinya serta tidak tergesa-gesa untuk puas pada aktivitas dan ritual yang bersifat lahiriah.
Menurut Imam Jakfar Al-Shadiq, cara mengenali dan mendekati Allah adalah melalui mujahadah atau kesungguhan hati-sebagaimana perilaku para ahli makrifat.
Dengan demikian, bisa dikatakan tasawuf adalah suatu “revolusi spritual” (saurah ruhiyah), tidak seperti dimensi keagamaan lainnya, tasawuf akan selalu memperbaharui dan menyemai kekosongan jiwa manusia. Kelimpahruahan materi yang mewarnai kehidupan dunia bukanlah dianggap hal yang sangat penting. Sebaliknya kelimpahruahan hatilah yang menjadi penopangnya. Sang sufi adalah mereka yang kaya hatinya, tapi tidak pasif terhadap kenyataan hidup. Kehidupan di dunia ini bagi sang sufi adalah sebuah fakta yang tidak bisa dihindari dan diingkari.
Teladan-teladan kesufian bisa dilihat dalam sejarah Islam seperti khalifah Umar Ibn Abdul Aziz, seorang raja yang bersikap asketis atau zuhud, Jabir Ibn Hayyan, Junaid Al-Baghdadi atau dikenal dengan pangeran sufi, Abu Hasan Asy-Syadzili dan lain-lain. Ini menunjukkan bahwa para sufi sesungguhnya tidaklah berjarak total dari dunia. Sang sufi hanya memagari dunia melalui medium training sehingga tercapai ketenangan dan keteduhan jiwa (an-nafsu al-muthmainnah).
Penjelajahan yang begitu mendalam yang dilakukan para pakar sufi inilah yang kerapkali memicu perbedaan pandangan. Perbedaan ini terjadi bukan karena pertentangan ide, melainkan lebih pada perbedaan dalam pendalaman hati menuju pengenalan dan kedekatan kepada Allah. Logika yang linear dan baku barangkali akan sulit menerima kata-kata yang muncul yang dianggap kontroversi seperti perkataan Al-Hallaj “ana al-haq” (Akulah Allah Yang Maha Benar) atau ucapan Abu Yazid Al-Busthami “subhani” (Mahasuci Aku). Kata-kata yang terucap spontan dari hasil kondisi ekstasis yang dialami sang sufi ini disebut syatahat. Sementara syatahat itu sendiri sering menimbulkan reaksi dan bahkan juga kecaman dari sebagian orang yang tidak senang.
Dalam sejarah Islam, bagaimana kita bembaca Al-Hallaj, akan paham hululnya itu harus menanggung resiko eksekusi yang luar biasa keji dari penguasa saat itu. Putusan eksekusi ini ternyata berdasarkan legetimasi dari para fuqaha mazhab Zhahiri yang dikenal sangat tekstualis. Sesungguhnya Al-Hallaj dikenal sebagai sufi yang sangat berpihak kepada rakyat kecil dan membela kaum minoritas seperti Syi’ah Qaramithah dan kaum nom-Muslim.
Di era modern ini, berbagai krisis menimpa kehidupan manusia, mulai dari krisis sosial, krisis struktural sampai pada krisis spritual. Modernitas dengan segenap kemajuan tekhnologi dan pesatnya industrialisasi membuat manusia kehilangan orientasi. Kekayaan materi kian menumpuk, tapi jiwa dibiarkan kosong. Seiring dengan logika dan orientasi yang kian modern, kerja dan materi lantas menjadi aktualisasi kehidupan masyarakat.
Ekses negatif dari modernitas inilah yang menjadi salah satu pemicu bagi tumbuhnya hasrat pada spritualisme. Ketika kehidupan begitu melelahkan, kebudayaan melahirkan kegersangan ruhaniah dan pendulumpun berbalik. Spritualisme menjadi sangat digemari oleh mereka yang dahulu menolak prinsip-prinsip ruhani dalam hidup. Manusia lantas menggemari kearifan tradisional yang mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan pada dimensi fitrahnya yang menebar harum semerbak hidup bermakna. Sehingga dalam Islam tasawuf sebagai primadona.
Disamping membahas soal tasawuf, buku ini dilengkapi dengan wacana-wacana kontemporer untuk menambah dan mengemplementasikan dunia tasawuf ke realitas sosial. Seperti makna terorisme dan jihad yang belakangan ini marak kembali, ini penting diaktualisasikan pemahamannya, supaya tidak salah memahami bagi umat Islam. menurut pandangan Kiai Said, Islam diturunkan ke bumi ini sebagai pedoman untuk umat manusia dalam mengemban misi idealnya sebagai khalifah Allah.
Dengan kata lain, Islam dituntut untuk selalu menjaga keharmonisan hidup di tengah karakter yang ada dalam dirinya: ifsad fil-ard (cendrung membuat kerusakan dimuka bumi) dan safk al-dimak (berpotensi konflik antar sesamanya). Sehingga cita-cita Islam sebagai rahmat lil’alamin benar-benar terwujud di muka bumi ini. Kehadiran buku ini penting untuk dibaca dan diaktualisasikan dalam kehidupan nyata baik oleh mahasiswa, masyarakat, pendidik dan pelaku tasawuf itu sendiri sebagai bahan referensi dan kekayaan wacana.
*Peresensi adalah mantan redaktur eksekutif majalah AL-FIKR IAI Nurul Jadid Paiton, Probolinggo