Pemilu presiden memang sukses. Penilaian seperti itu kita berikan berdasarkan dua ukuran. Pertama, Pemilu presiden tahap I dan II dapat dilaksanakan dengan aman, meski pada 9 September kemarin sempat meletus peristiwa Bom Kuningan. Kedua, setelah saksi tim kampanye Mega – Hasyim bersedia menandatangani hasil Pilpres II, pada Senin, 4 Oktober, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Dalam Pilpres tahap II, SBY – JK mengungguli perolehan suara pasangan Megawati Soekarnoputri – KH. Hasyim Muzadi sebesar 24.275.646 suara.
Namun, kita tentu menyadari kedua ukuran itu belum menyentuh subtansi demokrasi. Ukuran itu baru menyentuh batas-batas prosedur demokrasi. Dengan kata lain, sukses sebatas tekhnis penyelenggaraan Pemilu.
<>Kita yang memimpikan perwujudan demokrasi secara subtansial tentu menilai sukses tekhnis itu sebagai belum apa – apa. Meski dengan harapan itu, kita tetap tidak perlu merasa risih dengan pujian banyak pihak baik dari luar dan dalam negeri yang mengagumi kesuksesan tekhnis itu. Karena untuk sukses tekhnis dalam arti meminimalisir konflik yang mengakibatkan jatuhnya korban dari rakyat masih tergolong langka bila ditengok dari Pemilu ke Pemilu.
Dengan demikian, Pemilu yang berlangsung aman merupakan refleksi dari kemampuan rakyat belajar dari pengalaman konflik selama ini. Rakyat telah dengan sadar menegosiasikan kepentingan dari dalam dan luar dirinya.
Kesuksesan ini bukan berarti refleksi dari kualitas kerja KPU. Karena bila masuk ke masalah integritas, kita masih menyangsikan integritas lembaga penyelenggara resmi Pemilu itu dengan sejumlah alasan, seperti pengunduran diri Imam B. Prasodjo dan Mudji Sutrisno dari keanggotaan KPU yang masih diragukan kalau hanya karena penyesuaian dengan Undang-Undang Pemilu. Selain itu kontroversi atas keputusan KPU menolak pencalonan KH. Abdurrahman Wahid, tender kotak suara dan tinta yang bermasalah.
Dengan demikian, melalui nalar dalam sistem demokrasi yang sesungguhnya, maka Pemilu memiliki tempat tersendiri. Posisinya berada sebagai bagian dari proses mewujudkan pemerintahan yang benar – benar berpihak kepada rakyat. Produk – produk Pemilu dari mulai anggota DPR terpilih, DPD terpilih, termasuk pasangan Capres dan Cawapres terpilih menjadi bagian yang terkait dari institusi Pemilu itu.
Bila Pemilu kita letakkan dalam posisinya secara bijak. Kita tidak bisa terburu-buru memberikan penilaian, bahwa Pemilu legislatif, dan Presiden pada tahun ini telah sukses. Justeru sebagai institusi demokrasi, sukses tidaknya Pemilu baru bisa dinilai dari wajah pemerintahan dan wakil-wakil rakyatnya selama lima tahun ke depan.
Bila pasangan presiden terpilih—SBY dan Kalla—selama kampanye sebelumnya telah menjanjikan kepada rakyat, bahwa mereka akan berdiri paling depan dalam memberantas korupsi, tidak akan membebani rakyat kecil, atau akan menjamin situasi keamanan yang kondusif di dalam negeri. Benar tidaknya janji itu, kita akan melihat dari format kabinet. Siapa dan bagaimana rekaman sejarah perilaku para menteri dalam kabinet SBY.
Untuk memiliki kemampuan memberantas korupsi. SBY membutuhkan figur Kapolri, jaksa agung, menteri kehakiman dan sekretaris kabinet yang bukan hanya cerdas melainkan juga memiliki keberanian. Kita tidak perlu memasang figur seperti malaikat, profesional dan tidak berorientasi kekuasaan. Figur yang berkarakter seperti ini memang langka, karena dia bukan hanya cerdas, dan berani, melainkan juga jauh dari kepentingan pribadi. Sebab dia tidak berharap kekuasaan lima tahun berikutnya, termasuk tidak takut untuk dipecat.
Taruh saja, figur Kapolrinya standarnya satu tingkat di bawah menteri “malaikat”. Dia berani, cerdas dan menolak membayar uang pengangkatan. Bisa jadi SBY tidak memasang tarif, tapi bagaimana para broker di sekelilingnya? Broker – broker jabatan seringkali di luar kontrol presiden, meski mereka tak jarang berada di sekeliling presiden.
Bila Kapolri dalam kabinet SBY nantinya mendapatkan jabatan dengan membayar sejumlah uang kepada broker tertentu. Sudah dapat dipastikan, Kapolri seperti ini tidak akan mampu menegakkan hukum, meski institusinya sebagai penegak hukum. Sebaliknya, karena dia telah membayar, maka dia akan mengeruk uang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan kekuasaan yang dipegangnya.
Persyaratan ini juga dibutuhkan untuk semua orang yang akan menduduki jabatan menteri dalam kabinet SBY. Selain itu, kita akan dapat melihat apakah SBY tetap akan bertahan kepada format kabinet Zaken, atau kabinet profesional. Jika dia tetap bertahan, tidak semestinya dia merencanakan memekarkan departemen. Misalnya, baru – baru ini dinyatakan bahwa Departemen Perindustrian dan Perdagangan direncanakan dipisah. Masing-masing akan berdiri sendiri.