Kalau zaman dulu ketika persenjataan tentara kita masih lemah dan personelnya terbatas, kita selalu mampu meredam pemberontakan dalam waktu yang sangat singkat, bisa dihitung dalam bilangan hari. Lihat misalnya pemberontakan DI-TII dan PRRI Permesta, dengan persenjataan lebih canggih bisa ditaklukkan oleh tentara dan masyarakat secara cepat. Tetapi kini setelah persenjataan semakin canggih dan personel semakin banyak, tetapi tak satu pun kerusuhan bisa diatasi, seperti yang terjadi di Ambon dan poso.
Melihat kenyataan itu maka tidak aneh ketika menerima rombongan dari Poso Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi memperingatkan mereka tentang adanya bisnis konflik di wilayah mereka. Ini bisa jadi proyek perang, bisa jadi sebuah konspirasi internasional untuk mempersiapkan gerakan sparatis dan ada yang mengindikasikan bahwa adu domba itu dilakukan oleh para pemilik modal untuk membangun basis industri mereka di sana.
<>Sangat aneh pemberontakan di wilayah yang sangat kecil itu sulit diatasi oleh sebuah tentara atau kepolisian nasional. Penyelundupan senjata dari luar negeri masuk begitu bebas seperti sebuah negeri yang tanpa pemerintahan tanpa pertahanan. Demikian juga penduduk daerah yang sangat sedikit itu sulit dikuasasi oleh pasukan keamanan nasional. Memang ada sedikit orang yang diuntungkan oleh konflik tersebut, karena itu berusaha terus dipertahankan, tetapi ribuan manusia dikorbankan dalam konflik tersebut.
Sangat ironis sebuah daerah yang kaya akan tambang sejak dari nikel, tembaga, emas, fosfat dan sebagainya, tetapi penduduknya merana didera perang saudara. Mereka begitu mudah diadu domba atas nama agama, maka dengan selimut agama itulah kepentingan kapital menjadi tertutupi sehingga bisa beroperasi dengan aman. Persoalan ekplorasi, eksploitasi bahkan relokasi penduduk berjalan tanpa mereka rasakan.
Sayangnya kalanagan LSM dan ormas termasuk kalangan perguruan tinggi melihat persoalan sangat simplistik, hanya dipermukaan, sehingga hanya konflik agama yang mereka lihat. Tetapi konflik ekonomi yang mendasari tidak pernah disentuh sama sekali. Karena itu apa yang ditengarai ketua Umum PBNU tentang adanya bisnis konflik itu perlu dicermati. Bila salah mediagnosa maka akan salah terapi, maka ketika konflik hanya dilihat sebagai persoalan agama maka solisinya adalah pemahaman keagamaan yang moderat, multukultural dan toleran. Tetapi bila yang terjadi adalah konflik kepentingan kapital, maka persoalannya menjadi lain, penyelesaiannya buka pengenalan pluralisme, tetapi memutus jaringan konspirasi yang mengendalikan konflik tersebut.
Semuanya itu bisa dilakukan kalau pemerintah dan negara memiliki kedaulatan penuh. Tetapi kalau negara dengan kadaulatan yang tidak utuh dengan sistem pertahanan yang bobol seperti Indonesia ini, maka konflik tersebut akan terus berkepanjangan, biarkan para ulama dan pendeta berkhotbah ribuan kali tentang kerukunan, tetapi senjata dan kemarahan terus dikipas, maka perang akan terus terjadi.
Dalam situasi begini Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah masih mencari solusi di luar masalah yakni dengan membangun pesantren yang moderat, dengan harapan bisa melerai konflik. Persoalan konflik antar agama itu bisa dilerai, tetapi persoalan adanya campour tangan asing terutama para pemilik modal itu yang harus dikontrol pemerintah. Sehingga persoalan konflik ini ada di tangan pemerintah sendiri, pertama bagaimana bisa memutus jaringan internasional konflik dan kedua memutus jaringan bisnis konflik seperti yang telah ditengarai.
Kepergian Ketua Umum PBNU bersama beberapa pejabat pemerintah untuk mengunjungi Iran dan Syiriah adalah dalam upaya meredam konflik internasional. Sebab semua konflik termasik di Ambon dan Poso berdimensi internasional, karena itu perlu dilokalisir. Demikian upaya penyelesaian ketegangan di Timur Tengah akan turut meredakan konflik di negeri ini. Saat ini dunia sedang diambang bahaya pertikaian antara Sunni-Syiah, sejak di Palestina, Libanaon, Syiria, Irak dan sebagainya. Kalau ini dibiarkan dunia Islam yang lain juga akan dipecah boleh oleh berbagai konflik antar agama. Bila ini terjadi tentu akibatnya sangat memilukan.
Selama ini dunai Islam belum pernah bersatu padu, tetapi setidaknya tidak terpecah dalam konflik, tetapi kalau diciptakan konflik di dunia Islam untuk memecah persatuan Islam, maka kehidupan dunia ini akan kacau. Karena itu sejak dini gejala itu harus diantisipasi, segala bentuk hasutan harus dihindari, termasuk menghindari perasaan benar sendiri. Dunia Islam telah cukup terbeban ketika didera isu terorisme, isu itu harus segera diakhiri, dengan tindakan dan bukti nyata. Dengan demikian kerukunan bisa tetap dijaga, persahabatan terus bisa dijalin, sehingga peradaban Islam bisa terus berkembang.
Dari perang saudara di Lebanon di Poso dan di Ambon, mestinya pemerintah harus lebih tegas menghadapi pertikaian seperti itu. Dengan dalih takut melanggar HAM lalu membiarkan pembantaian berjalan, bukankah membiarkan pembantaian juga termasuk pelanggaran kemanusiaan. Semuanya itu sebenarnya bisa diatasi dengan cepat, kalau perlu dengan kekerasan, bukankah perdamaian dalam keondisi seperti itu harus diciptakan melalui perang.
Dengan melihat pengalaman yang mengenaskan itu, masihkah kita enggan untuk berdamai dengan masih mempertahankan konflik, bahkan membisniskannya. Keterlambatan pemerintah dalam menyelesaikan konflik atau kekurangtegasannya bisa menjadi bagaian dari upaya mempertahankan konflik, sebab semakin lama akan semakin dalam lukanya dan semakin sulit diselesaikannya. Kesatuan dan keutuhan negara serta perdamaian masyarakat haruslah menjadi tujuan utama dalam mengatasi persoaln konflik itu. Karena itu seluruh kekuatan harus dikerahkan untuk menjaga perdamaian. (Mun’im DZ)