Risalah Redaksi

Benturan Mikrokosmos-Makrokosmos

Jumat, 2 Juni 2006 | 10:37 WIB

Bagi madzhab fisikawan yang melihat dunia sebagai tatanan yang teratur, maka menyebut alam ini sebagai kosmos. Bagi mazhab yang melihat alam ini sebuah tatanan yang kacau menyebut alam sebagai chaos. Adanya hukum alam yang seolah teratur itu, maka madzhab kosmos lebih dominan. Karena itu masing-masing budaya memiliki pandangan kosmologi, yang meliputi tatanan alam yang menyangkut alam fisik dan metafisik.

Dalam pandangan ini manusia digolongkan sebagai makhluk alam, karena itu disebut mikrokosmos (jagat cilik), sementara alam disebut makrokosmos.(jagat gede) yang keduanya berhubungan sangat erat. Masyarakat dulu selalu menjaga ketertiban alam semesta (jagat gede) dengan melalui penjagaan terhadap jagat cilik (akhlak dan spiritual) manusia. Dalam pandangan ini seluruh perilaku manusia akan memiliki akibat terhadap alam semesta. Mereka tidak berani melanggar aturan kesusilaan baik yang berdasar adat maupun agama, sebab mereka khawatir alam akan murka.

<>

Dalam pemikiran modern yang disemangati oleh zaman pencerahan Eropa, melihat bahwa manusia sebagai makhluk otonom, tidak saja bebas dari alam tetapi bebas dari Tuhan. Alam bukan dianggap makhluk hidup, tetapi dianggap benda mati sebagai alat. Perilaku manusia dianggap tidak mempengaruhi keadaan alam semesta. Pandangan hidup ateis ini menjalar ke seluruh dunia termasuk dunia Islam melalui ilmu pengetahuan, sehingga ilmuwan cenderung ateis, setidaknya sekularis, karena memisah manusia dengan alam dan Tuhan. Peringatan ulama yang ma’rifat seperti Mbah Maridjan yang mampu menghubungkan dua jagat itu diejek orang karena diangap klenik.

Gerakan westernisasi yang gencar, sekularisasi yang marak, serta ateisme yang mulai menggerogoti, membuat manusia tidak memiliki lagi keterikatan dengan agama. Mereka menciptakan moralitas sendiri berdasarkan prinsip kemanusiaan. Kita lihat sendiri bagaimana kalangan Kristen mulai menolak doktrin agamanya. Juga kalangan Islam muncul berbagai gerakan yang merelativisir kebenaran ajaran agama termasuk otentisitas al Quran, kalau membuat moralitas baru, dengan semangat liberal untuk kebebasan individu, yang melabrak seluruh tatanan moral dan agama.

Kebebasan individu ini ternyata tidak hanya mengabaikan persoalan ketuhanan, tetapi juga terbukti mengakibatkan penghancuran pada prinsip kemanusiaan. Moralitas keagamaan diganti dengan moralitas baru yang sebenarnya merupakan tumpukan nafsu dan keserakahan dengan berseragam kemanusiaan.

Di situ tidak lagi ada etika, tidak ada aturan, tidak ada tata tertib, tidak ada muruah, tidak mengenal lagi kepantasan. Manusia menjadi serigala bagi yang lain, saling menerkam saling memangsa. Ketika manusia sebagai jagat cilik sudah tidak teratur (chaos), maka jagat gede juga mulai chaos. Mikrokosmos akhirnya berbenturan dengan makrokosmos, maka lahirlah bencana, akibat ulah manusia.

Tetapi sayangnya para ulama tidak lagi mau menyampaikan misi para nabi secara lengkap. Para ulama hanya membawa kabar gembira (basyir), tetapi tidak mau membawa kabar buruk (nadzir), akan datangnya bencana ketika mereka durhaka, ini sebagai peringatan agar orang menjaga etika. Tetapi sungguh mengagetkan di tengah bencana yang pedih itu Kiai Warson Krapyak berani angkat bicara bahwa bencana ini sebuah peringatan buat warga NU dan termasuk kalangan mudanya yang selama ini berpikir dan bertindak liar mulai meninggalkan ajaran agama, orang tak mengenal batasan, menerobos tabu.

Kiai semestinya tidak hanya berani mengajak pada kebenaran (amar ma’ruf) tetapi sekaligus juga berani melakukan nahi munkar (melarang kemungkaran). Karena tidak sedikit bencana yang diturunkan Tuhan sebagai azab, walaupun sebagian juga sebuah cobaan bagi iman mereka. sebagaimana disebut al Qur’an, “Telah nyata kerusakan di laut dan di bumi akibat ulah tangan manusia”.

Mungkin kerusakan moral terjadi hanya di beberapa orang, tetapi ketika yang lain tidak mau memperingatkan akibatnya bencana menimpa siapa saja, termasuk mereka yang tidak berdosa, demikian menurut al Qur’an. Tanpa adanya kesadaran tentang azab, maka tidak ada perubahan sikap, menusia akan durhaka kembali sehingga akan terus ditimpa melapetaka, ketika tangan manusia masih melakukan perusakan dan melanggar tabu, baik tabu tradisi, tabu budaya dan tabu agama.

Maka di situ saling menasehati, saling memperingatkan menjadi sangat penting, tetapi ketika liberalisme telah merusak hubungan sosial, dan menjadikan manusia sebagai individu yang punya hak yang tak boleh dilanggar, maka prinsip agama menjadi hambar. Itu yang harus ditegakkan kembali. Bagaimanapun manusia sebagai mirkokosmos harus dibina, agar kehidupan sesama manusia kembali harmonis, dan akhirnya tatanan alam kembali harmonis. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait