Risalah Redaksi

Hentikan Pesta Pora !

Rabu, 25 Agustus 2004 | 11:27 WIB

Pengumuman RAPBN 2005 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada Senin, (16/8) dalam momen Pidato Kenegaraan (konvensi) masih menyisahkan tanda tanya. Sejumlah analis ekonomi dan keuangan pun mempertanyakan logika dari asumsi makro ekonomi yang digunakan dalam menyusun RAPBN 2005.

Mereka  menilai RAPBN ini sangat tidak realistis, karena tampak spekulatif, kontradiktif, kontraktif dan konservatif.  Dianggap spekulatif karena unsur-unsur  dan asumsi yang ditetapkan tanpa memperhitungkan resiko dan kecenderungan yang terjadi. Karena beberapa asumsinya jelas-jelas bertentangan dengan kenyataan. Alhasil, kemungkinan besar angka yang berlaku akan jauh dari kenyataan.

<>

Pada saat ini,  tingkat suku bunga dan harga minyak mentah di dunia yang cenderung naik,  seakan tidak dijadikan dasar perhitungan.

Fenomena suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang saat ini mencapai sekitar 7,3 persen, cenderung terus mengalami kenaikan sejalan dengan  Kenaikan suku bunga di pasar global yang didera inflasi akibat meroketnya harga minyak mentah. Meski demikian, justeru asumsi suku bunga SBI di RAPBN 2005 hanya ditetapkan sebesar 6,5 persen.

Sementara harga minyak terus mengalami kenaikan, di mana telah ditunjukkan dalam seminggu yang lalu, minyak mentah yang telah menembus 46 dollar AS per barrel hanya kurang dari seminggu telah hampir menembus 50 dollar AS per barrel. Di sinilah kemudian kita bertanya-tanya mengenai penyebab pemerintah dan DPR mengabaikan kecenderungan laju harga minyak mentah di dunia dalam menetapkan asumsi harga minyak di RAPBN tahun mendatang.

Kita pun tak bisa mengingkari, bahwa RAPBN 2005 bersifat kontradiktif antara lain karena penetapan belanja modal tidak cukup mendukung asumsi pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dalam RAPBN 2005 memang lebih besar dibanding APBN 2004 yang hanya 4,8 persen. Meski demikian, keduanya menetapkan dukungan belanja modal yang sama besar, yaitu dua persen dari PDB.

Orang awam pun bisa mafhum, bahwa asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi dalam APBN 2004, lebih meyakinkan, karena dengan target pertumbuhan ekonomi lebih rendah, tetapi dana yang dikucurkan pemerintah untuk belanja pembangunan lebih besar, atau sama besar dengan yang ditetapkan dalam RAPBN 2005.

Menjadi wajar bila ada sejumlah pakar ekonomi dan anggaran melihat asumsi antara target pertumbuhan dengan belanja modal dalam RAPBN 2005 sangat kontradiktif. Kontradiksi, yang dekat dengan kemustahilan itu digambarkan orang seperti usaha keras roda belakang mobil untuk bisa mendahului roda depan. Mungkinkah itu bisa terjadi?

Kita pun sulit mengingkari, bahwa RAPBN 2005 bersifat kontraktif atau menekan perkembangan ekonomi masyarakat, karena dana yang ditarik dari masyarakat lebih besar daripada yang dikembalikan. Angka-angka dalam RAPBN 2005 menunjukkan perbandingan antara besarnya pungutan dana masyarakat dengan yang dibelanjakan kembali. 

Contohnya, target  penerimaan dalam negeri Rp 377, 9 triliun, sedangkan belanja negara Rp 394,8 triliun dan pembayaran bunga utang sebesar Rp63,99 triliun, sehingga dana yang dikembalikan ke masyarakat hanya Rp 330,81 triliun. 

Untuk kesekian kalinya pula kita melihat bahwa RAPBN 2005 dianggap konservatif. Asumsi yang ditetapkannya masih sama dengan skema APBN yang sudah - sudah,  masih bertumpu pada upaya menjaga stabilitas makro ekonomi dan keberlanjutan fiskal secara ketat dengan mengorbankan fungsi yang sebenarnya penting dari pemerintah, yaitu memberikan rangsangan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih memadai, namun justeru fungsi ini tidak tampak. Akhirnya mereka memvonis, RAPBN 2005 sangat konservatif !

Ujung dari pandangan kritis masyarakat terhadap asumsi-asumsi RAPBN tahun 2005 adalah dugaan politis, tentang masalah - masalah sosial ekonomi yang mungkin sengaja ditinggalkan pemerintahan sekarang kepada pemerintahan dari presiden hasil pemilihan 20 September 2004 yang akan datang.

Apakah dengan demikian pemerintahan yang berkuasa saat ini salah, karena dengan sengaja ingin meninggalkan bom waktu bagi pemerintahan terpilih pada akhir bulan yang akan datang. Ataukah sebaliknya, para pengamat ekonomi dan anggaran tersebut terlalu berburuk sangka?

Agaknya kita perlu lebih cermat, dengan tetap meragukan akan kebenaran dugaan negatif tersebut kepada diri kita masing-masing.  Sebab kalau dicermati, pemerintahan pimpinan Megawati Soekarnoputri juga memiliki peluang yang sama besar untuk memenangkan Pilpres II, 20 September mendatang. Sehingga sulit dipercaya bahwa pemerintahan yang berkuasa saat ini ingin menjerat pemerintahan yang mungkin masih akan dipimpinnya kembali dalam periode 2004-


Terkait