Risalah Redaksi

Hilangnya para Penggede

Rabu, 28 Juli 2010 | 22:20 WIB

Pada zaman dulu pemimpin itu sering dijuluki sebagai penggede. Karena itu sejak kelahirannya, langkah perjuangannya sampai kematiannya selalu ditandai dengan fenomena alam, seperti letusan gunung, banjir besar, terjadinya gerhana atau gempa bumi. Mereka itu disebut penggede atau pembesar karena memang mereka itu orang besar kepribadiannya, besar dan tinggi moralitasnya serta besar cita-citanya. Semuanya itu kemudian terakumulasi menjadi sebuah kharisma, sehingga kemunculannya selalu dihormati baik kawan maupun lawan.

Sekarang ini tidak ada istilah penggede lagi. Jangankan itu, sebutan pemimpin saja sudah hampir tidak ada. Yang ada hanya sebutan yang sebenarnya sangat sinis yaitu elit. Para pemimpin itu hanya disebut sebagai elite, bukan pemimpin apalagi penggede, karena mereka tidak dianggap pemimpin apalagi pemimpin besar. Hal itu tidak lain karena para pimpinan sekarang tidak memerankan diri sebagai seorang pemimpin yang bisa menjadi panutan dan teladan dan tokoh yang mampu memberi motivasi serta mampu menggerakkan perjuangan.<>

Elite diangap sebutan yang paling pas karena mereka selain tidak mempunyai kapasitas kepemimpinan. Mereka tidak memiliki cita-cita, karena pemikiran mereka hanya sebatas perut, mempimpin hanya untuk memperkaya diri, bukan dilandasi oleh cita-cita besar untuk memajukan bangsa, masyaratak atau agama. Fenomena ini disebut oleh Agus Sunyoto, Wakil Ketua Lesbumi sebagai fenomena sudra, kepemimpinan saudagar, yang hanya mencari untung untuk diri sendiri bukan untuk bangsa dan masyarakatnya. Saat ini hampir semua level kepemimpinan telah dikuasasi oleh orang yang bermental sudra, sehingga yang dipikir hanya untung rugi. Padahal seharusnya seoranag pemimpin bewwatak ksatria, yang mengutamakan sebuah cita-cita perjuangan besar demi kepantingan luhur masyarakat banyak.

Dalam kepemimpinan sudra ini kelompok yang berwatak ksatria apalagi brahmana akan tersingkirkan, karena mereka terlalu peduli dengan moralitas dan cita-cita yang terlampau penuh dengan utopia. Mereka ini dianggap tidak relevan, tidak hanya dilingkungan elit sendiri yang sudah disudrakan dengan semangat pasar. Kalangan masyarakat sendiri yang mentalnya telah berubah jauh dari nilai adat dan tradisi, juga cenderung memilih pemimpin yang berwatak sudra, karena mendatangkan keuntungan jangka pendek.

Dari masyarakat yang jelek tidak mungkin dilahirkan pemimpin yang baik, karena pemimpin lahir dari lingkungan masyarakat sendiri, kecuali para nabi yang diturunkan pada masyarakat yang bermental buruk agar mengubah kebiasaan munkar. Tetapi sekarang ini tidak lagi terjadi ketika masa kenabian sudah berakhir. Karena itu menciptakan masyarakat yang baik sesuai dengan mabadi khoiro ummah (prinsip pengembangan umat), itu sdangat penting bagi upaya melahirkan pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan keteladanan.

Tanpa adanya pemimpin yang bermoral tinggi dan berjiwa besar serta bercita-cita besar, tidak mungkin ada perubahan berarti dalam kehidupan ini. Republik sebesar ini tidak mungkin dipimpin oleh orang berjiwa kecil. Demikian organisasi sebesar NU harus dipimpin orang yang berjiwa besar. Dalam situasi serba semrawut seperti sekarang ini memang sangat dibutuhkan pemimpin besar berkaliber penggede agar mampu mengubah moralitas bangasa dan mampu menciptakan suasana kehidupan yang lebih sehat lebih makmur dan lebih berkeadilan. (Abdul Mun’im DZ)


Terkait