Risalah Redaksi

Isra’ Mi’raj dari Imanensi Ke Transendensi

Selasa, 14 September 2004 | 10:17 WIB

Isra’-Mi’raj terjadi setelah berbagai persoalan besar dunia Arab terjadi, termasuk berbagai peristiwa yang terjadi dalam keluarga besar Nabi Muhammad SAW yang tergabung dalam keluarga Bani Hasyim. Karena itu peristiwa ini sangat penting artinya tidak hanya bagi umat manusai tetapi juga bagi pengalaman social dan spiritual Nabi sendiri, yang ini kemudian membentuk wataknya di kemudian hari sebagai Nabi yang memiliki semangat juang tinggi untuk membebaskan umatnya dari segala macam kejahiliahan.

Isra’ adalah sebuah perjalanan empiris antara dataran Mekah hingga Masjidil Aqsha Palestina, sebuah perjalanan untuk melihat realitas dunia, yang saat itu diwarnai dengan berbagai kekerasan, penghisapan dan penipuan baik oleh bangsa Arab, Bangsa Israel, bangsa Persia maupun bangsa Romawi. Realitas empirik itu kemudian oleh Nabi direfleksikan melalui proses yang disebut dengan Mi’raj (naik dari tanah Palestina menuju Langit). Maka sebenarnya Islam digerakkan melalui proses Isra’-Mi’raj atau sebuah aksi dan refleksi yang kemudian diterjemahkan  kembali menjadi aksi sehingga aksi yang dilakukan benar-benar terarah. Itulah yang disebut dengan kebenaran religius yang bila diaplikasikan bernilai sebagai amal saleh.

<>

Keseimbangan antara imanensi dan transendensi antara aksi dan refleksi itulah yang menciptakan ketakwaan. Sementara dunia kita sekarang ini hanya dipenuhi dengan aksi, penuh dengan kesibukan dan aktivitas, tetapi kemudian kehilangan orientasi, kehilangan makna dan kehilangan arah dan tujuan, maka semua aktivitas menjadi hampa dan sia-sia. Hal ini terjadi dalam lingkungan kita, bagaimana sebuah gagsan penting dijalankan misalnya upaya penegakan hukum, pemerintahan yang bersih, peduli pada kaum lemah, tetapi yang terjadi hukum semakin menjadi barang dagangan, kekuasaan hanya menjadi sarana penjarahan asset negara, demikian kaum lemah semakin dilupakan nasibnya.

Demikian juga kemajuan bangsa yang selalu ramai dislogankan tetapi dalam kenyataannya pendidikan tidak dikembangkan, tetapi malah dijadikan sebagai sarana perdagangan, maka pengembangan kreativitas pembenihan nilai-nilai etis menjadi terhenti. Ketika sarana pembudayaan dan media pemberadaban manusia telah dikomersialisasikan, maka kebudayaan akan mengalami kemerosotan, demikian moralitas akan mengalami dekadensi. Semua terjadi seolah menjadi kelaziman yang tidak perlu diganti, karena memang selama ini dunia hanya dipenuhi dengan aksi, tetapi kering refleksi.

Melalui Isra’-Mi’raj ini perlu dikembangkan proses imanensi dan transesndensi, pengembangan yang seimbang antara aksi dan refleksi, sehingga nilai-nilai yang diyakini kebenarannya bisa dijalankan, demikian pulan aktivitas yang dijalankan bisa diarahkan dan dinilai secara kritis melalui proses refleksi. Dengan proses itu tidak hanya menjadikan aktivitas bermakna secara social, tetapi juga bernilai secara spiritual. Persoalan social mendapatkan nilai ukhrawi , inilah yang dimaksud dengan tindakan beragama yang bernilai sacral.

Saat ini masyarakat didera oleh berbagai kesibukan, sehingga tidak punya waktu luang untuk berefleksi, merefleksikan tindakan yang telah dan akan dijalankan, juga merefleksikan konsisi social yang berkembang dengan proses itu masyarakat akan terhindar dari kebuntuan, penyimpanagan dan sebagainya. Kebuntuan berpikir mengakibatkan orang mencari jalan pintas. Ingin kaya ditempuh dengan korupsi dan manipulasi, untuk memperoleh keadilan ditempuh dengan melakukan terror dan berbagai tindakan kekerasan.  Ingin berkuasa lalu ditempuh dengan cara menyuap dan melakukan represi. Maka melalui proses Isra' Mi’raj ini masyarakat bisa berbenah diri, sesuai dengan makna dan filosofi dari proses yang dialami oleh Nabi. (MDZ)
***

 


Terkait