Risalah Redaksi

Jangan Abaikan Harapan Rakyat

Senin, 25 Oktober 2004 | 10:47 WIB

Masyarakat berharap agar dengan Pemilu baik legislative maupun Pemilu Presiden itu sebagai tonggak untuk memperbaiki kondisi kehidupan di tanah air, karena itu kedua prosesi tersebut walaupun melelahkan, tetapi diikuti sangat antusias oleh masyarakat. Demikian pengumuman hasilnya dinanti dengan hati berdebar, karena sesuatu yang spektakular diharapkan bakal terjadi.

Walaupun hasil kedua Pemilu tersebut secara subtansial biasa saja, tetapi bagi kaum empiris-positivis  ini menunjukkan gejala yang penuh kejutan, sehingga mereka, sebagaimana masyarakat pada umumnya begitu mudah terkecoh oleh perkembangan seolah di sana terjadi perubahan, padahal yang terjadi hanya buah yang menyembur ke sana kemari. Keterkecohan itu begitu melembaga sehingga menjadi mimpi bersama, yang seolah dapat segera diwujudkan di alam nyata.

<>

Obsesi masyarakat terhadap perubahan menuju perbaikan sangat besar, sehingga pada sosok partai dan figure pemimpin harapan tersebut selalu ditumpahkan. Tetapi dalam kenyataannya problem yang dihadapi bangsa ini lebih besar dari kapasitas lembaga yang ada dan para pemimpin yang ada, selain itu tidak semua lembaga dan tidak semua pemimpin peduli dan serius mengatasi persoalan bangsa ini.

Terlihat sekali dalam beberapa bulan terakhir ini harapan masyarakat begitu besar pada Presiden baru, yang dianggap akan membawa keamanan, kedamaian, kemudian akan memperhatikan nasib rakyat, sebagaimana dijanjikan dan dilakukan selama masa kampanye, perubahan tiba-tiba dijadikan sebagai cap pemerintahan baru ini dan rakyat percaya betul bahwa pemerintah akan mampu dengan mudah melakukan tugas tersebut. Tetapi masyarakat lupa bahwa politik bukan gugusan kehendak baik dari sang pemimpin atau kelompok, yang begitu memegang kekuasaan lalu segala rencana bisa djalankan.

Tidak. Politik adalah sebuah struggle of power (pertarungan kekuasaan) dalam pertarungan ini ada yang kalah ada yang menang atau terjadi kompromi, sehingga perubahan dilaksanakan tetapi hanya terbatas, karena itu pembawa gagasan mesti gigih bertarung untuk mendesakkan gagasannya. 

Dalam kaitan ini kita lihat betapa banyak orang kecewa terhadap rezim SBY, baik karena harapan mereka tak tertampung tetapi juga menampilkan kenyataan yang sama sekali berbeda dari perkiraan. Bagaimana mungkin terjadi seorang presiden berlatar belakang tentara yang biasanya adalah seorang nasionalis tulen, tetapi begitu berkompromi dengan ekonomi liberal yang berorientasi pasar bebas yang kapitalistik, yang tidak lain merupakan ide yang dipaksakan oleh IMF.

Demikian hanya biasanya seorang perwira militer yang berjiwa kebangsaan biasanya memegang prinsip pluralisme, tetapi dalam kenyataannya kaum prluralis kecewa karena kabinet yang ditampilkan lebih Islamis, terlebih lagi yang ditampilkan Islam puritan yang biasanya kurang toleran terhadap komunitas lain.

Kedua kenyataan itu pantas membuat banyak orang kecewa, sebab rakyat memilih figure SBY diharapkan mampu menjadi pemimpin yang berjiwa nasional, baik dalam arti tidak menjadi boneka asing, tetapi juga mampu mengatasi primordialisme  suku agama dan ideologi.

Maraknya gerakan Islam garis keras sebagai mana razia yang dilakukan FPI di beberapa tempat hiburan serta penutupan sebuah perguruan Katolik di Jakarta oleh kalangan Islam militan, mengawali peristiwa yang mengawali perjalanan pemerintahan SBY, yang banyak mengakomodasi Islam puritan yang berpotensi menajdi Islam garis keras, akhirnya menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, ternyata pemerintah tidak bisa menjamin keamanan warganya, terutama kalangan minoritas.

Beberapa peristiwa tersebut hendaklah menjadikan peringatan dini bagi rezim ini, agar bisa menjadi pelindung rakyat dari eksploitasi kaum imperialis asing, dan juga mampu melindungi rakyat terutama kalangan monoritas dari penindasan kelompok garis keras yang juga minoritas, yang mengatasnamakan mayoritas. Kalau peringatan dini ini tidak memperoleh perhatian, pemerintah akan mengahadapi banyak masalah, kalau masalah tidak segera diselesaikan, maka pemerintah akan kehilangan legitimasi.

Sementara pemerintah yang kehilanagan legitimasi tidak akan mampu menggerakkan partisipasi rakyat, maka dipastikan program juga tidak akan lancar berjalan. Ini yang perlu dihindarkan, karena itu jangan sampai abaikan harapan rakyat. (MDZ)


Terkait